Jumat, 10 Juni 2011

BOSISME DAN DEMOKRASI DI ARAS LOKAL (Studi Kasus Kemenangan Herman Deru dalam Pilkada OKU Timur Tahun 2010)

Studi ini mengkaji demokrasi di aras lokal dan kehadiran “orang kuat” (bosisme) dalam pilkada. Dalam kajian ini penulis memfokuskan pada hadirnya orang kuat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur sebagai daerah pemekaran yang baru berumur tujuh tahun. Kehadiran orang kuat dalam pemilu kada pasca lahirnya UU No. 32 tahun 2004 hapir marak terjadi di beberapa daerah yang ada di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa liberalisali politik dan pemilu kada langsung telah membuka kran baru bagi seluruh lapisan masyarakat di tingkat lokal untuk ikut perkompetisi dalam pemilu kada, serta menandai runtuhnya cengkraman militer dalam dunia politik.
Ironisnya, ketika pilkada langsung yang bebas diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat hanya dilihat sebagai bentuk pemenuhan dan tuntutan regulasi dimana prosedur-prosedur demokrasi menjadi lebih penting dibanding subtansi demokrasi itu sendiri, maka dapat sangat terbuka kemungkinan pilkada yang hanya diwarnai oleh kompetisi antar elit dan tawar menawar kepentingan semata dalam bahasa lainnya oligarki oleh elit politik atas demokrasi prosedural (Mubarok 2008, h. 52). Di sinilah bos lokal (orang kuat) hadir ikut serta mewarnai proses demkorasi oligarki di tingkat lokal. Demokrasi oligarki merupakan bentuk pembajakan (hijacking) institusi politik formal negara oleh institusi politik informal, demi kepentingan segelitir elit politik.
Lebih lanjut, hadirnya “orang kuat” (bos lokal) dalam pilkada pasca reformasi telah memberikan warna tersendiri dalam proses demokrasi yang terjadi di tingkat lokal. Kehadiran mereka dalam pandangan sebagian besar sarjana dianggap dapat menciderai proses demokrasi yang sedang berlangsung. Ini yang menjadikan “orang kuat” dalam pilkada selalu disetigmatisasi sebagai hal yang negatif (lihat Sidel 2005; Migdal 1988, 2001; Hidayat 2007). Asumsi ini di dasarkan pada maraknya praktik pemburuan rente dan korupsi yang dilakukan oleh “orang kuat” lokal melalui kontrolnya terhadap proses pengelolaan pemerintahan daerah, termasuk economical resources yang ada di daerah. Kehadiran orang kuat dalam pilkada lebih sebagai upaya mereka untuk mengamankan sumber-sumber daya daerah agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri dari pada menurut aturan-aturan resmi atau perundang-undangan yang dibuat oleh pelaksana peraturan yang lebih tinggi. Upuya untuk menguasai alokasi sumberdaya ini mereka lakukan dengan cara menempatkan anggota keluarga, kroni-kroninya dalam jabatan strategis atau bahkan menempatkan dirinya sendiri dalam jabatan tertinggi yang ada di daerah (Sidel 2005).
Bertolak dari latar belakang di atas, dengan mengangkat kasus kemenangan Herman Deru, sebagai bos lokal, untuk kedua kalinya dalam pilkada Kabupaten OKU Timur, penulis ingin menunjukkan “wajah baru” dari bos lokal dalam mengelola tata pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam kajian ini penulis ingin mengatakan bahwa kehadiran “orang kuat” dalam pilkada tidak selamanya memiliki stereotip negatif sebagaimana yang dibayangkan oleh para sarjana di atas. Argumen awal yang akan dibangun dari studi ini adalah bahwa sebagai bos lokal di Kabupaten OKU Timur, Herman Deru dapat menunjukkan kinerjanya dengan baik selama memimpin pemerintahan daerah OKU Timur, sehingga dalam pencalonan untuk kedua kalinya pada tahun 2010 yang lalu ia dapat meraup suara kemenangan mencapai 95 persen dari total suara pemilih yang ada. Ini dapat diasumsikan bahwa kepemimpinan Herman Deru pada masa sebelumnya telah dianggap sukses oleh masyarakat setempat. Untuk membuktikan kebenaran akan argumen di atas, ada dua pertanyan inti yang akan dijawab dalam studi ini: pertama, apa yang menyebabkan Herman Deru dapat meraup suara hingga 95 persen dalam pilkada di OKU Timur? Kedua, adakah relevansi Herman Deru sebagai bos lokal dengan kemenangannya dalam kontestasi pilkada di OKU Timur?
Guna menjawab kedua pertanyaan di atas, dalam metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis melakukan wawancara via telpon dengan beberapa informan yang menurut penulis memiliki kapasitas untuk menjelaskan permasalahan yang menjadi kajian studi ini. Selain itu, informasi dari koran lokal dan internet termasuk menjadi sumber data dalam studi ini. Hal itu semua dilakukan karena waktu dan kondisi yang tidak mengizinkan penulis untuk terjun langsung ke lapangan mencari data.
Adapun guna mensistematikkan tulisan, pembagiannya disusun seperti berikut ini. Pertama, penulis akan memberikan elaborasi teoritis tentang konsep bosisme yang dikembangkan oleh Joel Miqdal dan John T Sidel. Kedua, akan dibahas tentang Herman Deru dan kesuksesannya dalam memimpin OKU Timur. Ketiga, menjelaskan tentang lahirnya bosisme (orang koat), pola kerja dan perannya dalam pilkada di OKU Timur. Keempat atau terakhir, kesimpulan.

Refleksi Teoritik Tentang Bosisme
Ide “bosisme” pada awalnya digunakan oleh Joe Miqdal atas fenomena “orang kuat lokal” yang berhasil melakukan kontrol sosial dan penguasaan resources di Dunia ke Tiga. Migdal (1988) melihat bahwa para bos lokal telah berhasil menempatkan diri dan anggota keluarga mereka ke dalam jabatan-jabatan penting pemerintahan lokal guna menjamin alokasi economical resources dan political resources agar tetap berjalan sesuai dengan aturan main yang mereka kehendaki ketimbang aturan-aturan main yang dikehendaki oleh institusi formal, seperti kebijakan dan perundang-undangan baik yang dibuat oleh pemerintah lokal atau pun pemerintah pusat (Sidel 2005, h. 73).
Untuk mejelaskan argumennya tersebut, Migdal memberikan tiga argumen mendasar yang memiliki keterkaitan erat. Pertama, Migdal melihat bahwa berhasilnya orang kuat lokal menempatkan dirinya ke dalam jabatan-jabatan penting dan memiliki pengaruh yang besar atas masyarakat hingga dapat dikatakan melebihi para pemimpin negara dan para birokrat lokal, dikarenakan oleh terciptanya struktur masyarakat yang mirip jaringan. Di mana struktur ini telah terbentuk dan menghamblur sejak pemerintahan kolonial dan berlangsung ke dalam perekonomian kapitalis dunia dan kelas-kelas pemilik tanah besar. Ke dua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan cara menempatkan diri sebagai “penolong” bagi penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang membutuhkan. Atau dengan kata lain, orang kuat lokal menciptakan relasi patron-klien dengan masyarakat setempat guna melanggengkan posisi mereka. Dengan cara ini lah kemudian orang kuat lokal mendapatkan legitimasi dan dukungan dari masyarakat setempat. Ke tiga, Migdal melihat bahwa keberhasilan orang kuat lokal dalam menguasai sumber daya lokal baik politik maupun ekonomi telah merintangi dan membatasi otonomi dan kapasitas negara untuk melakukan perubahan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini menjadikan negara lemah dalam melakukan kontrol sosial. Selain itu, juga memperbesar kekacauan dan ketakterkendalian tatanan sosial di tingkat lokal (Sidel 2005, h. 73-74).
Dari gagasan Migdal di atas dapat dipahami bahwa hadirnya orang kuat lokal dalam penguasaannya atas local resources lebih disebabkan oleh lemahnya struktur negara dalam mengontrol sistem ekonomi dan politik. Dan struktur ini juga diperkuat oleh sistem patronase yang diciptakan oleh tuan tanah besar yang mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial pada masa yang lampau. Sistem patron-klien dan struktur pemerintah yang dibangun “mirip jaringan” ini lah yang kemudian dalam istilah Migdal telah menciptakan kondisi dan struktur sosial yang dapat melanggengkan dan memberikan keberhasilan orang kuat lokal untuk tetap menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik.
Bertolak belakang dengan gagasan Mingdal tentang orang kuat lokal (bosisme) di Dunia ke Tiga sebagaimana diuraikan di atas, Sidel (2005) dengan mengkaji fenomena orang kuat lokal di tiga negara, yakni: Filipina, Thailand dan Indonesia ingin menunjukkan bahwa pola kekuasaan orang kuat lokal di Dunia ke Tiga bukanlah merupakan bentuk atau cermin dari kekuatan dan ketahanan dari “hubungan patron-klien” dan “elit pemilik tanah”, tetapi lebih pada mewakili keganjilan struktur kelembagaan negara. Selain itu, Sidel ingin menunjukkan bahwa keberadaan para bos lokal tidak lah merintangi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dikatakan Migdal, hal ini seperti yang terjadi di Filipina.
Gagasan Sidel ini (2005, h. 80) ditunjukkan dengan kemajuan yang dialami sejumlam provinsi seperti Cavite dan Cebu yang berhasil memajukan perekonomian lokal dengan cara menarik pemodal asing berbasis Manila untuk menanamkan modal sejak pemulihan pemilihan umum demokrasi sesudah 1986. Ini semua menurut pengamatannya tidak terlepas dari langkah-langkah besar yang dilakukan oleh para bos lokal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal. Fenomena ini menunjukkan langkah lebih maju dibandingkan Filipina saat berada di bawah rezim otoriter yang menjadikan sistem pemerintahan yang jauh lebih terpusat dan otonom dari pengaruh masyarakat, yang akhirnya Filipina mengalami kemunduran dramatis pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.
Lebih lanjut, Sidel (2005) melihat bahwa para bos lokal yang memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukanlah dari kepemilikan tanah pribadi tetapi dari sumber-sumber negara dan perdagangan, dan banyak dari mereka golongan politikus dan “elite bertanah” itu yang mengumpulkan pundi-pundi kekayaan termasuk pemilikan tanah besar justru didapatkan setelah mereka memasuki atau menduduki jabatan, dan bukan sebelumnya.
Kemudian dalam perkembangannya, para bos lokal menjadi tumbuh subur dan tidak lagi bersandar pada kepemilikan tanah besar atau hubungan patron-klien sebagai penyangga kekuasaan mereka. Akan tetapi, para bos lokal itu melakukan kontrol terhadap pejabat terpilih untuk mendapatkan akses dan monopoli atas pengaturan sumber dan hak-hak istimewa negara. Sehingga acap kali untuk melanggengkan kekuasaannya para bos lokal melakukan kolusi dan perselingkuhan dengan para birokrat dan penegak hukum guna menjaga dan menutupi tindakan mereka yang keluar jalur perundang-undangan. Bahkan dalam pemilihan umum, mereka acap kali melakukan pembelian suara pemilih, kekerasan, intimidasi dan kecurangan dalam penghitungan suara dengan bekerja sama dengan mesin-mesin lokal demi melangengkan jabatan yang telah mereka miliki sebelumnya (Sidel 2005, h. 79).
Dari apa yang digagas oleh Sidel di atas, dapat dipahami bahwa kemunculan dan semakin menguatnya bos-bos lokal dalam menguasai resources pada dasarnya adalah dikarenakan lemahnya negara dalam memfungsikan perannya. Selian itu, ingin menunjukkan kalau bos-bos lokal langgeng mempertahankan eksistensinya dalam jabatan-jabatan bublik bukan karena kepemilikan tanah yang besar yang dimiliki sebelumnya, tetapi keberhasilan mereka dalam menjalin hubungan yang mirip jaringan kepada para birokrat atau pemerintah yang berkuasa. Pertanyaannya bagaimana kemudian bosisme di Indonesia?
Kehadiran orang kuat lokal (bosisme) dalam jabatan-jabatan publik di Indonesia mulai marak setelah runtuhnya rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini dikareanakan Rezim Orde Baru yang sangat sentralistik dan menerapkan cengkramannya hingga ke tingkat desa dengan menggunakan organisasi militer untuk mengontrol tatanan sosial, tidak memungkinkan para bos lokal untuk muncul dipermukaan pada masa sebelumnya. Dengan runtuhnya rezim otoriter dan beralih pada rezim reformasi menghantarkan orang-orang loka yang dulunya mendapatkan manfaat dari sistem yang dibangun Orde baru, seperti para pengusaha, Jawara, preman dan lainnya mulaui mengokohkan kekuasaan barunya atas tatanan sosial yang ada untuk mendapatkan alokasi economical resources dan political resources.
Dalam kasus bosisme di Indonesia Sidel (2005) melihat bahwa penggunaan kekerasan dan pembelian suara dalam pemilu juga terjadi sebagaimana di Filipina dan Thailand untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini Sidel memberi contoh peran bos lokal di Kota Medan, Jawa Tengah dan Lombok. Selain itu, kebanyakan bos-bos lokal guna melanggengkan kekuasaan maupun tetap terjaga atau aman sumberdaya ekonomi lokal yang mereka kusai, juga membangun hubungan erat dengan klik-klik pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian.
Dari gagasan Migdal dan Sidel tentang peran bos lokal di dunia ke tiga sebagaimana dibahas di atas, penulis pada makalah ini lebih cenderung untuk menggunakan dan merujuk konsep tentang bos lokal yang diusung oleh Sidel. Hal ini tidak terlepas dari realitas di lapangan yakni di OKU Timur, di mana pola bos lokal dalam memerankan dirinya dalam dunia politik dan ekonomi memiliki persamaan dengan gagasan yang diusung oleh Sidel. Meskipun juga terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Akan tetapi penulis melihat paling tidak di antara gagasan bos lokal dari kedua sarjana di atas, gagasan dan konsep Sidel lah yang lebih cocok dan mendekati untuk digunakan sebagai kerangka analisis dalam melihat pola bos lokal yang ada di Kabupaten OKU Timur.
Meskipun pada kenyataannya dalam tulisan ini penulis ingin menunjukkan wajah baru dari pola bos lokal pasca reformasi dalam mengelola pemerintahan daerah. Sehingga melalui tulisan ini penulis inginmenunjukkan kerangka analisis baru dalam melihat pola bos lokal di era demokratisasi di tingkat lokal yang telah berjalan sejak keruntuhan rezim Orde Baru.

Herman Deru (Orang Kuat Lokal) dan Kesuksesannya dalam Memimpin OKU Timur
Herman Deru adalah Bupati OKU Timur Sum-Sel yang menjabat untuk ke dua kalinya. Ia adalah termasuk seorang pengusaha yang cukup sukses dan terkaya di OKU Timur dengan kekayaan yang dia miliki lebih dari Rp 17,77 miliar, Sebagian besar adalah harta tidak bergerak, senilai Rp Rp 16.383.113.000. Ia diketahu memiliki perkebunan baik karet maupun sawit yang sangat luas. Selain itu, dia juga terkenal sebagai seorang pengusaha kaya raya yang bergerak dibidang kontruksi bangunan (Sriwijaya Post, 17 Mei 2010).
Sebagai seorang yang cukup kaya dan terpandang, Herman Deru sebelum menjabat sebagai seorang bupati, ia juga didapatkan sebagai seorang yang cukup disegani di daerahnya. Guna melindungi kekayaan yang ia miliki, dirinya juga membangun hubungan yang kuat dengan para preman yang ada di OKU Timur, bahkan ia juga termasuk orang yang disegani dan ditakuti oleh kalangan preman maupun perampok yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa Sumatera Selatan, terutama di daerah Kecamatan Blitang Kabupaten OKU Timur dulunya termasuk daerah yang sangat rawan akan kejahatan, perampokan dan tindakan premanisasi. Herman Deru melalui kekayaan yang ia miliki dan bangunan jaringan yang cukup kuat baik dengan kalangan preman dan kepolisian, menjadikan dirinya orang yang sangat disegani di kalangan masyarakat. Selain itu, dirinya juga terkenal dengan orang yang sangat memberikan perhatian kepada masyarakat cilik. Sampai-sampai ketika diundang acara kenduren oleh masyarakat bawah biasa ia pun akan menghadirinya. Hal ini ia lakukan baik ketika ia belum menjadi Bupati OKU Timur maupun sesudahnya (wawancara via telpn dg Andik warga OKU).
Dengan melihat kekayaan, pengaruh dan jaringan yang ia bangun ini lah, penulis mengklasifikasikan Herman Deru sebagai bos lokal sebagaimana yang dibayangkan oleh Sidel. Di mana istilah “bos” dipahami sebagai pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis abadi terhadap koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing (Sidel 2005, h. 78). Dalam hal ini Herman Deru, sebagai bos lokal, juga memiliki kekuasaan untuk mengelola kekayaan ekonomi yang ada di daerahnya. Terlebih sejak dirinya menjadi Bupati pada tahun 2004 sampai sekarang, semakin memperluas geraknya dalam mengelola kekayaan tanah pribadi maupun sumber-sumber ekonomi lain yang ia miliki.
Sebagai seorang bos loka yang menduduki jabatan orang nomor satu di OKU Timur, Herman Deru meskipun memiliki jaringan yang kuat dengan para preman lokal tidak menjadikan dirinya menggunakan tindakan-tindakan represif, kekerasan maupun pengumpulan masa untuk mendapatkan suara pada saat pemilu berlangsung. Berdasarkan keterangan yang penulis dapatkan dan saksikan sendiri, wilayah OKU Timur sejak tahun 2004 hingga sekarang berada dalam kondisi yang cukup aman dan tingkat keamanannya semakin lama semakin membaik. Karena sebagai seorang bupati dirinya termasuk berhasil untuk mengendalikan para preman dan perampok lokal untuk tidak melakukan kekerasan dan perampokan kepada warga OKU Timur maupun yang lainnya. Jaringan yang cukup kuat baik dengan kalangan preman, militer dan kepolisian yang telah ia bangun sejak lama, tidak menjadikan Herman Deru untuk memanfaatkan mereka dalam menggalang suara atau memperkuat legitimasi alokasi sumberdaya ekonomi dan melanggengkan jabatan yang ia miliki. Akan tetapi sebaliknya, dengan jeringan yang ia bangun denga para preman dan kalangan keamanan itu melah menjadikannya untuk mengendalikan dan mengontrol mereka agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melukai atau merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, keberhasilan dalam mengendalikan bahkan menumpas tindakan para preman dan perampok ini telah menjadi simbol dan modal tersendiri dari keberhasilan Herman Deru dalam memimpin di OKU Timur. Kesuksesan dirinya sebagai bupati pertama OKU Timur dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat yang tinggal di wilayah setempat menjadikan dirinya berhasil untuk menjadi bupati untuk ke dua kalinya dengan meraup suara lebih dari 95 persen suara. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Herman Deru di OKU Timur mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat bukan karena permainan uang dan jaringan dengan para preman yang ia kembangkan, tetapi murni dari dukungan masyarakat yang merasa puas dengan kepemimpinan dirinya.
Selain itu, Herman Deru dalam pilkada tahun 2010 yang lalu dirinya juga berhasil membangun kesadaran masyarakat tentang politik. Ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah partisipasi pemilih yang datang ke TPS atau ikut memilih dalam pilkada di OKU Timur yang diadakan pada 5 Juni 2010 yang lalu, dan total pemilih yang telah menggunakan haknya mencapai 91, 11 persen dan tingkat kecerdasan pemilih 98,61 persen. Keberhasilan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu kada serta tingginya suara yang didapatkan oleh Herman Deru dengan pasangannya Cholid Mawardi membuat pasangan ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) (Sriwijaya Post 17 Mei 2010).
Keberhasilan lain yang telah dicapai Herman Deru sebagai orang kuat lokal yang telah menduduki jabatan sebagai Bupati OKU Timur sejak tahun 2005 – sekarang adalah keberhasilannya dalam mengentaskan atau mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah yang ia pimpin tersebut. selain itu, ia juga berhasil menggalakkan pembangunan mulai dari infrastruktur jalan sampai bangunan-bangunan lainnya. pembangunan jalan dengan aspal juga telah dilakukan hingga ketingkat-tingkat pedesaan. Dan fasilitas-fasilitas untuk masyarakat seperti puskesmas yang cukup memadai juga telah hadir di pedesaan-pedesaan yang cukup plosok sekali pun.
Guna memajukan daerah OKU Timur, sebagai daerah pemekaran baru, Herman Deru juga termasuk bupati yang berhasil menciptakan lapangan pekerjaan baru yang cukup. Hal ini ia lakukan dengan mendatangkan berbagai investor baik dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri (wawancara dengan Aris 15 Februari 2011) . Bahkan Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatra Selatan (Sumsel), juga menjadi sentra industri gula di Indonesia, di mana pabrik gula milik Grup Salim melalui anak perusahaannya, PT Laju Perdana Indah, di daerah OKU Timur telah mulai beroperasi sejak April 2010 (Trijaya FM Palembang 2010).
Dengan berbagai keberhasilan yang dicapai oleh OKU Timur selama kepemimpinan Herman Deru (bos lokal) sebagaimana diuraikan di atas, menjadikan dirinya menerima berbagai penghargaan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tanda penghargaan yang ia dapatkan, bahkan tercatat hingga 29 lebih jenis penghargaan dari negara, dari angka ini 18 penghargaan langsung diberikan Presiden SBY di istana negara. Dan ia juga mendapatkan penghargaan berupa Satya Lencana Wirakarya untuk bidang keluarga berencana dari presiden RI. Berkaitan dengan ini, Herman Deru mengatakan bahwa penghargaan Satya Lencana Wirakarya diberikan Presiden RI karena keberhasilannya sebagai Bupati menurunkan angka kemiskinan (Pra sejahtara) dari 12,81 persen di tahun 2008 kini menjadi 10 persen di tahun 2009. Menurutnya, penurunan ini bukan diukur seberapa banyak kondam atau alat kontrasepsi di sebarkan tetapi tingakt kesehajteraan masyarakat yang menjadi ukuran. "Kerja keras dilakukan sejak menjabat bersama mitra kerjadi OKU Timur (Sriwijaya Post 28 Februari 2011).
Apa yang dilakukan oleh Herman Deru sebagai “orang kuat lokal” yang telah berhasil menguasai kekuasaan di daerah OKU Timut, dapat menunjukkan bahwa tidak selamanya bos lokal itu memiliki stereotip negatip sebagaimana dalam pandangan Migdal dan Sidel dalam melihat peran bos-bos lokal di dunia ke tiga. Orang kuat lokal yang ada di OKU Timur ini ketika memegang tampuk kekuasaan malah menunjukkan tindakan dan kinerjanya yang cukup bagus dalam membangun dan mengendalikan tatakelola pemerintahan daerah. Dirinya sudah tidak lagi mengandalkan kekerasan dan money politics dalam mendapatkan dukungan suara pada saat pemilu kada berlangsung. Akan tetapi, dengan kemajuan dalam bidang pembangunan dan keberhasilannya dalam memberikan keamanan, serta meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat menjadikan masyarakat OKU Timur memilihnya kembali untuk menjadi bupati yang kedua kalinya atau untuk memenangkan dalam kompetisi pilkada.

Lahirnya Bosisme, Pola Kerja dan Perannya dalam Mengelola Pemerintahan di OKU Timur
Lahirnya bos lokal di OKU Timur hampir sama dengan kelahiran bos-bos lokal dibeberapa daerah. Di mana ketika krisi ekonomi terjadi pada tahun 1997 dan berujung pada jatuhnya Soeharto yang menandai runtuhnya rezim otoriter, maka liberalisasi politik dengan ditandai dengan pemilihan kepala daerah dan pejabat legislatif secara langsung oleh rakyat dan dapat diikuti oleh seluruh warga negara mulai lahir seiring dengan hadirnya rezim reformasi. Pada masa ini lah para bos-bos lokal di beberapa daerah Indonesia, termasuk di OKU Timur mulai menampakkan dirinya kepermukaan untuk ikut berkompetisi dalam memperebutkan jabatan-jaban publik yang dulunya dikuasai oleh militer dan para birokrat.
Herman Deru, sebagai orang kuat lokal, juga ikut menikmati liberalisasi politik yang terjadi pasca reformasi 1998 ini. Sebagai orang kuat loakal, dirinya termasuk orang yang telah memiliki kekayaan yang cukup besar di daerahnya sebelum menjabat sebagai bupati. Luasnya tanah perkebunan karet dan kelapa sawi telah ia miliki sebelum dirinya menjabat sebagai bupati. Selain itu, dirinya juga sebagai pengusaha besar lokal yang bergerak dalam jasa kontruksi bangunan yang memiliki alat-alat pembangunan sendiri. Kemudian dengan modal ekonomi yang cukup besar serta kepercayaan masyarakat, karena dirinya terkenal dimata masyarakat akan kebaikannya, maka pada saat OKU Timur dimekarkan dari daerah induknya OKU Induk pada tahun 2003 yang ditetapkan dengan undang-undang nomor 37 tahun 2003, dan diadakan Pilkada OKU Timur secara langsung Herman Deru akhirnya memenangkan kompetisi pada pemilu kada tersebut. Kemenangannya ini ia dapatkan setelah mengalahkan tiga pasangan kandidat lainnya.
Dengan berbagai kesuksesan dan kemajuan yang berhasil ia bawa atas OKU Timur sebagaimana di jelaskan pada bagian sebelumnya, akhirnya pada pemilu kada yang kedua kalinya di OKU Timur pada tanggal 5 Juni 2010 Herman Deru bersama pasangannya Cholid Mawardi berhasil mengalahkan pasangan Marsyal Rustam Wahab- Rustaman dengan perolehn suara yang cukup memuaskan lebih dari 95 persen dari total suara yang ada. Hal ini juga pada dasarnya juga tidak lepas dengan banyaknya parpol besar yang mengusung dirinya untuk kembali menjadi bupati OKU Timur di antaranya, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera dan didukung dengan banyak parpol-parpol kecil lainnya (Berita Lampung, 7 Juni 2010).
Dukungan yang cukup besar dari parpol-parpol besar kepada Herman Deru menunjukkan kalau ia adalah orang yang memiliki pengaruh yang besar, serta jaringan yang cukup luas dalam dunia ekonomi dan politik keberbagai kelompok. Pertanyaan kemudia, bagamana bos lokal ini menjalankan bisnisnya disaat dirinya selama memegang tampuk kekuasaan nomor satu di Kabupaten OKU Timur?
Meskipun Herman Deru (bos lokal) tidak melakukan kekerasan dan money politics dalam mendapatkan dukungan suara untuk memenangkan Pilkada dan melanggengkan kekuasaannya, tetapi dalam mengendalikan bisninya Herman Deru memiliki pola yang hampir mirip atau bahkan bisa dikatakan dengan kajian Agustino (2011), Hadiz (2005) dan Sidel (2005) tentang bos-bos lokal dalam mendapatkan monopoli atas kekayaan negara. Hal ini dapat dilihat dari tender proyek pembanguna jalan yang ada hampir semua di OKU Induk didapatkan atau dijalankan oleh perusahaan kontruksi yang dimiliki oleh herman Deru. Dengan kata lain, pembangunan seperti prasarana jalan hampir semuanya dikerjakan dengan menggunakan alat-alat seperti buldoser dan lainnya yang dimiliki oleh Bupati.
Penulis melihat hal demikian dilakukan demi tetap terjaganya alokasi ekonomi tetap di tangan bupati. Sealin itu, Herman Deru juga menempatkan kroni-kroni dan keluarganya dalam jabatan-jabatan penting di daerahnya. Tidak hanya itu, bahkan anaknya yang perempuan juga didorong maju untuk mewakili OKU Timur di DPD pusat Jakarta. Dengan modal ketenaran dan kewibawaan orang tuanya, anaknya pun dapat lolos dari kompetisi dalam memperebutkan kersi sebagai DPD. Bahkan berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dia mendapatkan suara terbanyak untuk daerah Sumatra Selatan.
Dari penjelasan di atas memberikan kepada kita bagaimana gambaran atau bentuk yang cukup unik dari bosisme lokal. Di mana bosisme di OKU Timur sudah mulai menunjukkan wajah barunya untuk menjadi lebih baik dibandingkan pola-pola kerja bos-bos lokal di daerah-daerah yang lain. Meskipun dalam alokasi sumber ekonomi masih melakukan monopoli atas kekayaan negara di tingkat lokal. Tetapi menurut penulis setidaknya Herman Deru, sebagai bos lokal, sudah menunjukkan kinerjanya yang cukup bagus dalam mengelola pemerintahan daerah OKU Timur yang baru saja dimekarkan. Hal ini lah yang kemudian menjadikan OKU Timur masuk dalam jajatan daerah pemekaran yang tergolong sukses.
Selain itu, fenomena ini juga memberikan gambaran dari corak demokratisasi di tingkat lokal Indonesia dengan wajah barunya yang berbeda. Di mana liberalisasi politik yang merupakan bentuk konsekuensi logis dari dugunakannya demokrasi sebagai sistem politi, yang memberikan hak yang sama pada warga negara untuk berkompetisi menduduki jabatan-jabatan publik termasuk kepala daerah tapi masih saja kita dapatkan seseorang yang dapat mendulang suara hampir 100 persen. Di mana biasanya seperti di kebanyakan daerah dan negara lainnya, dengan adanya persaingan yang bebas dan adil cukup sulit dan jarang untuk mendapatkan suara yang dominan, sebagaimana yang didapatkan oleh Herman Deru.

Kesimpulan
Dari pembahasan panjang sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kemenangan Herman deru sebagai bos lokal dalam pemilu kada untuk ke dua kalinya di OKU Timur, lebih dari pada karena keberhasilannya untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat daerah setempat. Selain itu, dijuga telah berhasil memajukan daerah yang ia pimpin selama lima tahun sebelumnya dan tanpa menggunakan kekerasan sebagaimana bos-bos lokal yang ada di daerah-daerah lainnya.
Adapun dari segi teoritis, dari tulisan ini dapat menunjukkan kepada kita bahwa tidak selamanya bos lokal dalam mendapatkan dan mempertahan kekuasaannya harus menggunakan masa, kekerasan dan politik uang, sebagaimana kajian Migdal dan Sidel.[]

Daftar Bacaan
Mubarok, Ahmad Husni 2008, Pilkada dan Shadow State, dalam Gregorius Sahdan dkk (Ed), Negara Dalam Pilkada Dari Collapse State ke Weak State, IPD Press, Yogyakarta.
Sidel, John T. 2005, Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailan dan Indonesia, dalam John Harriss dkk (Ed), Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, Demos, Jakarta.
Hadiz, Vedi R. 2005, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, LP3ES, Jakarta.
Hidayat, Syarif 2007, ‘Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten’, dalam Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Internet
“Herman Deru Raih 29 Penghargaan Negara” dalam Sriwijaya Post - Senin, 9 November 2009.
“OKU Timur Jadi Sentral Industri Gula” dalam Trijaya FM Palembang, 18 Januari 2010.
“OKU Timur Terbaik dari 238 Kabupaten Pemekaran di Indonesia” dalam Buana sumsel, 6 januari 2010.
“Bupati dan Wabub OKU Timur mendapat Penghargaan rekor Muri” dalam Berita Lampung, 8 Juni 2010.

Sabtu, 21 Mei 2011

Renungan Hidup singkat dalam Beragama

Benarkah kalau Tuhan sudah mengatakan KUN atas kehidupan hambanya maka semua kan terjadi dengan demikian yg dikehendaki? Lalu di mana kuasa manusia untuk menentukan langkahnya dengan akal,pikiran, hati dan ilmu yg ia miliki atas dirinya sendiri. Memang ini berdebatan klasik antara kelompok ahlul kalam Jabariyah dan Qadariyah. Kelompok Jabariyah mengatakan bahwa segala hal atas kehidupan manusia telah ditentukan oleh Tuhan, sedangkan Qadariyah melihat bahwa manusia dapat menentukan masa depannya dengan akal dan ilmu yg ia miliki dari Tuhannya. Pertanyaanya di mana dirimu kawan2 menempatkan posisi di antara keduanya??

Sebagian orang melihat ini tidak perlu didiskusikan karena bisa mengarah akan kekufuran, ini pandangan yg cukup dangkal bagi saya. Karena segala sesuatu perlu didiskusikan dan digali dalilnya sehingga mendpatkan pengetahuan yg lauas akan sebagian ilmu Tuhan. Beragama, beribadah dan melakukan hal lainnya jika dilandasi dengan pengetahuan akan menjadikan orang yang menjalaninya akan menjadi lebih khusuk dan inklusiv.

Acap kali individu mengalami keresahan atas hidupnya, mungkin karena berbagai ujian maupun cobaan yang diterimanya. Keresahan ini lah yg kemudian menjadikan seorang individu tadi mengalami kekosongan hati dan dapat berimbas pada kondisi stres. keresahan terjadi tidak lain dikarenakan tidak adanya pengetahuan akan takdir Tuhan, termasuk pengetahuan akan tindakan dirinya di dunia ini apakah atas kehendaknya sendiri atau atas kehendak Tuhan.

Dari sini mari kita mulai mempelajari dan merenung dengan menggali pengetahuan akan kehidupan yang kita jalani dengan berangkat dari diri sendiri dan menuju pada keilmuan Tuhan atas segala alam dan isinya...

Rabu, 04 Mei 2011

THE REAL GANGS OF NEW YORK Sudut Gelap Perpolitikan Amerika Yang Tak Terungkap


Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan sudut gelap dunia perpolitikan di Kota New York Amerika sebelum memasuki era modern dan demokrasi. Di mana tulisan ini disandur dari sebuah film yang berjudul “The Real Gangs of New York”. Film ini juga terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Herbert Asbury “The Gangs of New York”. Kota New York di abad ke 19 dipenuhi dengan konflik antar geng yang berasal dari kelas bawah. Konflik antara geng yang berasal dari para imigran Irlandia dan geng yang berasal dari penduduk asli kota New York.
Melalui tulisan ini juga akan dibahas bagaimana para kelompok geng yang ada di New York ini dipelihara dan dikendalikan oleh segelintir elit politik yang berkuasa untuk memenuhi ambisi-ambisi politik dan ekonomi mereka. Kemiskinan dan kebodohan masyarakat kelas bawah New York yang sebagian besar tergabung sebagai anggota kelompok geng ini telah dimanfaatkan oleh sekelompok elit untuk mencapai kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok, termasuk dalam melanggengkan kekuasaannya.
Lebih lanjut, tulisan ini juga akan melakukan perbandingan dengan realitas perpolitikan yang terjadi di tingkat lokal Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa penggunaan kelompok-kelompok kuat atau gengster oleh para elit politik sebagaimana yg terjadi di New York pada abad ke 19 juga terjadi di Indonesia, khususnya di tingkat lokal. Di mana proses demokrasi yang berlangsung di tingkat lokal pasca reformasi masih kita temui dibeberapa daerah yang menggunakan kelompok-kelompok kekerasan (premanisme) untuk melakukan manufer politik mereka, meskipun ini tidak separah yang terjadi di Kota New York. Berangkat dari latar belaka di atas tulisan ini dibuat untuk mempelajari dinamika politik yang terjadi di sebuah negara yang dalam proses memasuki dunia modernitas, proses peralihan kekuasaan dan baru akan mengenal nilai-nilai demokrasi, atau pun sudah dalam proses deepening democracy seperti halnya Indonesia.

Lahirnya Geng dan Penyebab Kekerasan
Mayoritas geng-geng yang ada di New York adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah kumuh perkotaan, termasuk orang-orang yang dalam derajat kehidupannya tergolong masyarakat yang cukup miskin. Karena kebodohan mereka, menjadikan mereka saling membunuh untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak adanya keahlian lain menghantarkan mereka menjadi preman dan akhirnya mengelompok menjadi sekelompok geng yang pekerjaan rutin sehari-harinya adalah melakukan kerusakan, perkelahian dan menjarah toko-toko yang ada. Hal itu mereka lakukan adalah sebagai cara mereka dalam bertahan hidup.
Lebih parahnya lagi pemerintahan yang ada hanya memberikan perhatian kepada mereka yang memiliki duit atau kelompok masyarakat kaya. Hukum yang ada juga menunjukkan sangat tajam pada kalangan masyarakat miskin, dan menjadi tumpul ketika berhadapan dengan masyarakat yang kaya. Selain itu, kehadiran polisi hanya mengawasi agar tidak terjadi pelecehan yang dilakukan kelompok orang-orang miskin terhadap kelompok orang-orang kaya yang ada di kota New York pada saat itu. Fenomena inilah yang kemudian menjadikan kebanyakan masyarakat miskin bergabung dengan para geng untuk mencari perlindungan dari kekerasan yang mengancam mereka dari kelompok-kelompok geng yang lainnya.
Tindakan para polisi yang berfungsi sebagai penjaga malam dan pelindung orang-orang kaya inilah yang akhirnya juga menjadi pemicu dari kalang geng yang memang berasal dari kalangan kelas bawah menjadi bertindak semakin brutal. Hampir setiap hari terjadi kerusakan dan pembunuhan di mana-mana. Sehingga kebrutalan dan kebiadaban para geng yang ada di New York inilah yang menjadikan rumah-rumah menjadi cepat tua sebelum waktunya karena telah ditinggal pergi oleh penghuninya yang merasa sudah tidak aman lagi untuk tinggal di rumah mereka. Hampir setiap hari kehidupan mereka dihantui rasa ketakutan karena ulah para geng yang selalu menciptakan kerusuhan dan kerusakan terhadap rumah-rumah warga.
Kemiskinan yang menjangkiti kehidupan masyarakat imigran Irlandia dan lainnya di New York menjadikan mereka selain masuk dalam lingkaran para gengster, juga menjadikan mereka berpartisipasi sebagai relawan pemadam kebakaran sebagai nilai tambah untuk mendapatkan distribusi ekonomi demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Karena bagi kelompok geng yang dapat datang terlebih dahulu di lokasi kebakaran maka akan mendapatkan hadiah dari perusahaan asuransi berupa uang. Hadiah berupa uang inilah yang akhirnya menjadi memicu konflik lebih besar antar geng, karena mereka berebut untuk datang kelokasi kebakaran lebih dahulu. Akhirnya, seringkali akibat konflik yang terjadi antara geng pada saat terjadi kebakaran, gedung-gedung habis terbakar sedangkan pertarungan antar geng juga belum usai.
Penyebab lain timbulnya konflik antar geng juga dapat dilihat dari masuknya agama katolik di New York. Di mana saat kelompok katolik pertama tiba di New York, warga Irlandia mulai curiga dan tak mempercayai orang Amerika. Inilah yang menjadikan konflik besar terjadi antara geng yang berasal dari imigran Irlandia dan masyarakat Amerika asli terjadi yang menganut agama katolik. Dan masalah terbesar yang menyebabkan mereka berkonflik adalah dimana pendatang Irlandia dianggap lebih rendah  dari manusia. Dan itu merefleksikan kepercayaan umum masyarakat Amerika bahwa masyarakat pendatang Irlandia itu rasnya berbeda dari mereka. Bahwa mereka inferior dalam hal ras, agama dan lainnya.
Dari penjelasan di atas pada intinya dapat ditarik benang merah, bahwa yang menyebabkan lahir dan timbulnya konfik antar geng adalah kemiskinan struktural yang diciptakan oleh elit-elit politik yang berkuasa demi melanggengkan kekuasaan dan tetap tercapainya ambisi-ambisi mereka.

Konflik Antar Geng dan Permainan Elit Politik
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa permasalahan mendasar dari lahirnya konflik adalah karena kemiskinan struktural yang menjangkiti kehidupan masyarakan kaum bawah yang hidup diperkampungan yang cukup kumuh, terutama Imigran dari Irlandia. Hal ini semua pada dasarnya adalah rekayasa yang dilakukan oleh kalangan elit politik demi mendapatkan keuntungan pribadi mereka.
Imigran Irlandia yang dari kampung asalnya memiliki kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang buruk seperti tradisi kekerasan, kelompok rahasia dan geng yang ada di pedesaan serta terkenal sebagai tuan tanah, dan ketika datang ke New York mereka melakukan hal yang sama. Tindak kekerasan yang dipilih oleh para imigran dari Irlandia sebagai jalan hidupnya ini pada dasarnya adalah desakan dari lingkungan yang ada. Di mana lingkungan tempat tinggal yang kumuh, hidup serba miskin, sikap polisi yang diskrikminatif terhadap mereka dan ditambah pemerintah New York yang tidak memperhatikan kehidupan mereka, semakin menjadikan imigran Irlandia dan masyarakat lainnya yang tinggal di daerah kumuh tadi nekad untuk memilih jalan kekerasan sebagai jalan hidup.
Kondisi pertarungan para gengster ini lah yang mewarnai kehidupan Kota New York di abad ke 19 M. Dari data yang ada menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok geng besar yang menguasai kota New York. Pertama, adalah kelompok geng yang berasal darai rakyat asli New York Amerika, dan kedua adalah geng yang berasal dari orang Irlandia dan imigran. Dan geng-geng terpenting ini menjadi alat para politisi. Mereka menjadi tukang pukul dan preman. Karena ini adalah mata pencaharian mereka sebagai masyarakat miskin. Dimana yang mereka jual adalah otot dan mereka pun mendapat keuntungan dari judi. Di antara salah satu geng yang cukup terkenal pada saat itu adalah Dead Rabbits (gengnya orang-orang terkenal dan amat tangguh), anggota geng ini terkenal dengan kesiapannya untuk mati ketika berangkat berperang.
Kehidupan para geng selain melakukan tindak kekerasan, mereka juga memiliki pekerjaan lain yakni sebagai sukarelawan pemadam kebakaran sebagaimana telah dijelaskan dibagian sebelumnya. Ketergantungan mereka terhadap profesi sukarelawan kebakaran yang apabila datang terlebih dahulu mendapatkan hadiah berupa uang tersebut, membuat para geng itu melakukan perlawanan terhadap pemerintah disaat pemerintah akan membuat kelompok pemadam kebakaran yang profesional, dan perlawanan itu terjadi sampai 25 tahun berlangsung. Ini menunjukkan bahwa tidak adanya alternatif pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh mayarakat kelas bawah yang ada di New York pada saat itu. Dan profesi mereka sebagai tukang pukul dan sukarelawan pemadam kebakaran dipertahankan oleh mereka sebagai lahan untuk mencari penghidupan. Hal ini lah yang kemudian di pertengahan abad ke-19 geng di New York menjadi amat dominan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat kebanyakan ikut bergabung dalam kelompok geng untuk mempertahankan hidup mereka. Dan salah satu alasan lain orang bergabung dengan geng adalah apabila ada terjadi kebakaran tidak ditangkap karena ada sangsi terhadap kebakaran bagi orang yang dekat dengan lokasi dan tidak tergabung dengan para geng yang menjadi sukarelawan pemadam kebakaran.
Kehidupan masyarakat New York di atas menunjukkan kondisi pemerintahan yang rapuh dan tidak memiliki kehidupan tertib sosial yang baik. Hal demikian diperparah lagi dengan para politisi yang mengambil untung dengan keberadaan mereka. Kemiskinan dan kebodohan para anggota geng ini seringkali dibohongi dan dimobilisasi saat akan ada pemilihan wali kota New York. Kemiskinan yang dialami oleh anggota geng ini menjadikan mereka mudah untuk dibeli agar mendukung salah seorang politisi untuk maju sebagai kandidat pemilihan wali kota. Dan kebanyakan yang menjadi pejabat tinggi di New York pada saat itu adalah berasal dari ketuang geng itu sendiri yang terjun di dunia politik atau sebagai politisi.
Hal demikian yang menyebabkan perkembangan geng-geng di new York semakin hari semakin kuat, meskipun kepolisian telah dibentuk oleh pemerintah. Karena pada dasarnya mereka mendapatkan dukungan kekuasaan dari para politisi-politisi yang korup. Sampai tahun 1855 diperkirakan 30000 orang di New York berhutang jasa pada pimpinan geng. Dan melalui mereka inilah, pimpinan partai demokrat seperti Tammany Hall dan penduduk asli Amerika memperoleh kekuasaan.
Di sisi lain juga terdapat penduduk asli Amerika yang dikenal dengan sebutan Know Nothing adalah partai politik orang kulit putih yang lahir di Amerika yang termasuk anti terhadap imigran asal Irlandia. Ini adalah partainya Bill Poole, salah satu tokoh terkenal New York. Ia termasuk salah satu tokoh yang menghentikan imigran datang dari Irlandia. Salain itu dia adalah petarung jalanan yang terkenal, terlibat dalam perjudian dan mengelola penjualan minuman keras. Kematiannya pun karena bertarung dengan geng asal Irlandia untuk membela Amerika.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masing-masing kelompok geng pada dasarnya memiliki pelindung atau didukung oleh para politisi yang duduk sebagai pejabat pemerintah. selian itu, realita di atas menunjukkan bahwa kehadiran geng dan konflik antar geng sengaja diciptakan oleh aktor-kator elit politik untuk menutupi tindakan kejahatan mereka atau korupsi mereka terhadap harta negara demi memperkaya diri pribadi atau kelompok mereka. Dari sini dapat kita lihat bahwa para politisi tahu betul bahwa ketika masyarakat yang ada berada dalam keadaan konflik baik karena persinggungan ras maupun karena perebutan lahan pekerjaan karena kelaparan, mereka akan lupa urusan-urusan politik dan tidak peka lagi kalau para pejabat yang ada telah melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan termasuk kehidupan masyarakat yang ada. Tidak heran kemudian pada paruh kedua pertengan abad ke-19 korupsi marak terjadi di New York. Dan salah satu politisi terkorup adalah William Tweed yang menjabat sebagai Wali Kota New York pada saat itu. Dia sendiri adalah pimpinan geng yang mesuk dunia politik hanya bertujuan untuk mengendalikan geng dalam jumlah yang lebih besar, serta ingin meraup uang negara dari profesinya tersebut. hal ini lah yang kemudian menjadikan New York sebagai wilayah yang terjangkit penyakit koronis yang disebut korupsi mulai dari tingkat atas sampai bawah pada saat itu.
Oleh karena itu, geng yang ada di New York pada saat itu adalah merupakan mesin politik yang sangat efektif pagi para ketua geng yang memasuki duni politik. Dan kebanyakan dari mereka berhasil menduduki jabatan publik dengan mesin politik yang mereka bangun melalui kelompok-kelompok geng atau preman. Selain sebai mesin politik, acap kali geng diperalat oleh elit politik untuk digunakan menekan pihak-pihak tertentu agar menuruti keinginan si poltisi. Semua rangkaian di atas, pada dasarnya ingin menggambarkan bagaimana dinamika perpolitikan di tingkat lokal Amerika pada abad ke-19 M. Di mana Amerika masih belum memasuki dunia modern dan menganut sistem demokrasi.

Melihat Indonesia Sebagai Perbandingan
Apa yang terjadi di New York pada abad ke-19 M. ini kalau kita amati dengan dalam-dalam pada dasarnya juga sedikit terjadi di dalam dinamika politik lokal yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru. Hal ini dapat kita lihat konflik Ambon, Poso dan antara suku Dayak dengan suku Madura di Kalimatan juga merupakan konflik-konflik antar kelompok yang disebabkan berebut eksistensi dan lahan dalam mencari penghidupan makanan. Selain itu konflik yang terjadi di Indonesia pada masa lalu itu juga lebih disebabkan oleh permasalahan politik. Artinya, konflik yang terjadi di daerah-daerah Indonesia pada dasarnya dikendalikan oleh segelintir elit politik yang memiliki kepentingan di balik itu semua.
Penggunaan kekerasan atau preman dalam dunia politik juga terjadi di tingkat lokal Indonesia. Hal ini dapat kita lihat di daerah Banten, di mana keberadaan para jawara acap kali digunakan oleh elit politik untuk melakukan penekanan-penekanan terhadap pihak tertentu untuk mengikuti keinginan elit politik tersebut. para jawara yang ada di banten dengan kekuatan yang mereka miliki baik beruapa modal ekonomi maupun yang lainnya telah banyak mempengaruhi jalannya pemerintahan yang ada di Provinsi Banten. Mereka tidak saja menguasai proyek-proyek pemerintah, tapi juga dapat mengintervensi kebijakan pemerintah (Hidayat 2007). Selain itu, acap kali para tokoh-tokoh jawara dengan membawa anak buahnya menghadiri rapat-rapat yang dilakukan oleh anggota DPRD dengan mengguanakan seragam jawara mereka. Kehadiran mereka itu kebanyakan apabila DPRD membahan permasalahan yang memiliki kaitan dengan permainan-permainan yang dilakukan oleh kalangan jawara dalam dunia bisnis (Hidayat 2007, h. 299).
Selain kasus Banten, kita juga dapat melihat kasus yang terjadi di Lombok. Di mana para politisi seringkali memanfaat kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan politik mereka. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kelompok elit politk yang ada di Lombok berusaha untuk merangkul atau memanfaatkan kelompok organisasi yang disebut Pamswakarsa,  sebuah kelompok organisasi yang dibentuk untuk mengamankan Lombok dari para pencuri. Dalam perkembangannya, kerena kelompok-kelompok ini semakin bertambah, menjadikan para elit atau aktor daerah maupun nasional berusaha merekrut para pemimpin-pemimpin milisi dan masa mereka untuk mendukung agenda politis maupun ekonomi mereka. Lebih lanjut, juga dilaporkan bahwa pada tahun 2003 calon bupati merekrut jaringan para pencuri yang teroganisir sekaligus milisi antikejahatan untuk menunjukkan bahwa mereka berdampingan mendukung kandidat yang sama dalam dalam pemilihan umum (MacDougall 2007).
Dari beberapa fenomena di atas menunjukkan bahwa realita politik lokal Indonesia pasca reformasi juga diwarnai dengan aksi-aksi dari para politisi yang hampir mirim dengan yang terjadi di New York pada abad ke-19 M. Di mana para elit politik masih sering kali memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang berbasis masa untuk dijadikan alat dari agenda politis mereka. Acap kali para politisi tersebut mengatas namakan kepentingan rakyat dan akan membela kepentingan kelompok yang mereka mobilisasi, padahal itu semu para politisi lakukan hanya untuk melancarkan tersampainya hasrat politik mereka semata, yakni meraup kekayaan politik dan ekonomi negara.
Epilog
Dari seluruh rangkaian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi antar geng di New York pada dasarnya adalah diakibatkan oleh kemiskinan struktural yang dilanggengkan oleh para elit politik guna menutupi kebobrokan pemerintahan dan tindakan korupsi mereka atas harta negara. Keberadaan para geng yang memiliki anggota yang besar acap kali dimobilisasi oleh elit politik yang ingin masuk dalam jabatan-jabatan publik. Selain itu, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam membentuk tata pemerintahan yang baik.
Dari apa yang terjadi di New york abad 19 M. tersebut memiliki kemiripan dengan yang terjadi di tingkat lokal Indonesia pasca reformasi. Di mana penggunaan kekuatan-kekuatan preman dan mobilisasi mereka oleh elit politik demi kepentingan mereka pribadi atas kekuasaan politik dan ekonomi masih mewarnai perpolitikan Indonesia di tingkat lokal. Kasus Banten dan Lombok dapat dapat dijadikan untuk melihat permasalahan ini.[] By Mahsun Muhammad

Daftar Bacaan

Hidayat, Syarif 2007, ‘Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten’, dalam Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
MacDougall, John M. 2007, ‘Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok’, dalam Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Rabu, 27 April 2011

KEHIDUPAN RAKYAT TANI DI BALIK MODERNITAS (Melihat Kembali Desa Sriharjo di Pedesaan Jawa Lebih Dekat)

Oleh: Mahsun Muhammad


Realitasnya, tidak sulit untuk menemukan bahwa upaya pembangunan yang dilakukan dengan tujuan pemberdayaan ternyata menyumblim menjadi pemerdayaan. Pendekatan bottom up juga acap kali berhenti mboten up, dan subsidi bagi RTM, Takyat Tani Miskin, mudah merubah wajah menjadi ajang korupsi” (M. Maksum Machfoedz 2010).
Kutipan di atas ingin menjelaskan bagaimana kebijakan-kebijakan pangan pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan yang terjadi di desa, terutama yang dialami oleh masyarakat tani miskin, selama ini hanyalah sebagai ajang politisasi, membangun citra dan ladang korupsi belaka, dari pada sebagai upaya untuk melakukan pembanguan di desa. Pemerintah lebih sering meninak bobokkan masyarakat bawah melalui berbagai program bantuannya demi melanggengkan kekuasaannya.
Tulisan ini ingin membahas tentang kehidupan rakyat tani miskin yang ada di pedesaan Jawa, tepatnya di Desa Sriharjo Bantul, Yogjakarta. Kajian ini dianggap penting, untuk mengetahui sejauh mana kehidupan rakyat tani sebagai tulang punggung atau ujung tombak dalam menyidiakan bahan pangan negara di balik kemegahan pembangunan yang telah berjalan di negeri ini. Seperti yang kita maklumi bersama bahwa secara umum kehidupan rakyat tani kita masih dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, meskipun negara kita telah bebas dari penjajahan kolonial berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak jarang kita temui bahwa rakyat tani kita masih mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Di sisi lain kita mendapatkan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang hidup dengan berlimpah harta, sampai-sampai kehabisan pikir mau kemana uang mereka dibelanjakan.
Dalam kajian ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada kondisi perekonomian masyarakat tani Sriharjo. Kajian ini akan dilakukan dengan meneropong kembali kajian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1984) terhadap kehidupan masyarakat Sriharjo pada tahun 70-an. Di mana kehidupan masyarakat Sriharjo pada masa itu, menurut kedua penulis sebagian besar masyarakatnya menggantungkan nasip dalam bidang pertanian, khususnya tanaman padi. Sedangkan lahan tanah yang tersedia dalam jumlah kuantitas yang sedikit, hal demikian yang membuat mayoritas masyarakat Sriharjo pada saat itu hidup di bawah garis kemiskinan. Pertanyaannya, apakah kondisi yang demikian masih dialami oleh masyarakat tani Sriharjo di era modernisasi? Di mana sebagian besar kehidupan masyarakat dunia telah mengalami perubahan dan ditandai dengan kemajuan teknologi dan pembangunan dalam segala bidang. Kalaupun ada perubahan, perubahan seperti apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani Sriharjo?
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, kajian ini akan dilakukan. Adapun untuk mendapatkan temuan yang otoritatip dalam kajian ini, maka metode pengumpulan data yang digunakan bagi analisis tulisan ini adalah metode observasi lapangan dengan cara wawancara. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data melalui pembacaan literatur yang relevan dengan kajian ini. Dari hasil wawancara dan pembacaan literatur ini, akan dilakukan analisis secara kritis, sehingga hasilnya akan dapat mendeskripsikan keadaan atau kondisi sebenarnya sesuai dengan fokus kajian yang ditetapkan.
Guna mensistematikkan tulisan, pembagiannya disusun seperti berikut ini. Pertama, penulis akan mengurai kembali secara singkat kehidupan masyarkat Sriharjo pada tahun 70 an sebagaimana yang dijelaskan oleh Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1984). Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal kondisi, yang kemudian dapat diperbandikan dengan keadaan masyarakat Sriharjo pada masa sekarang. Kedua, bembahasan akan melihat perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Sriharjo di masa sekarang. Di sini akan dijelaskan bagaimana berubahan yang terjadi baik dalam ranah struktur masyarakatnya, kultur dan lingkungan desa Sriharjo. Ketiga, penulis akan membahas kehidupan masyarakat tani Sriharjo, terutama dalam bidang perekonomian mereka. Keempat, kesimpulan dan penutup, yang akan mengambil inti sari dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini.

Masa Kelam Sriharjo di Abad 20 Akibat Kemiskinan Struktural
Indonesia yang terkenal dengan sebutan negara agraris terutama pasca kemerdekaan dari kolonial, menghantarkan sebagian besar masyarakatnya, termasuk Sriharjo, untuk menggeluti bidang pertanian guna mencukupi kebutuhan hidupnya, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pulau Jawa. Sebagian besar dari petani Indonesia yang tinggal di Jawa adalah bertani dalam bidang cocok tanam. Kebutuhan air untuk tanamannya masih mengandalkan air dari tadah hujan, terutama tanaman seperti padi.
Selain itu, di sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk Sriharjo, beras merupakan makanan poko sehari-hari. Tidak seorang pun petani yang menganggap dirinya kecukupan jika tidak dapat mendapatkan tanaman padi yang dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Inilah yang kemudian menjadikan sebagian besar masyarakat Indonesia banyak yang menggantungkan dirinya dalam bidang pertanian.
Desa Sriharjo juga termasuk masyarakatnya yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, terutama padi. Melalui teknologi tradisional yang mereka memiliki pada dasarnya sudah menghantarkan mereka untuk hidup yang kecukupan dengan mengelola tanah yang mereka miliki. Karena bagi masyarakat tani Sriharjo yang hidup pada masa 70-an sampai akhir abad dua puluh, kehidupan yang dianggap cukup bagi meraka adalah jika dapat mengolah tanah Seluas 0,7 hektar sawah tadah-hujan dan sebidang tanah darat, misalkan 0,3 hektar, di mana mereka dapat menanam kelapa, buah-buahan dan pohon-pohon lainnya, sayuran sekadarya, rempah-rempah dan keperluan rumah tangga lainnya. Melalui satu hektar tanah yang petani miliki, pada umumnya seorang petani sudah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa tenaga luar pun untuk membantu mengelola tanah yang dia miliki (Singarimbun 1984, h. 3).
Masyarakat Sriharjo sebelum mengenal pengairan modern, pupuk atau bibit unggul dan jalan raya, para petani mengetahui bahwa mereka dapat memperoleh penghasilan dari tanahnya yang cukup untuk menghidupi keluarganya secara sederhana tapi makan cukup, sederhana tapi pakaian cukup dan sederhana tapi ada rumah untuk berteduh (Singarimbun 1984, h. 4-5). Ini artinya selama masih ada tanah yang kosong bagi masyarakat Sriharjo, meraka akan dapat hidup dengan layak sesuai kelayakan yang mereka pahami, di mana mereka dapat memenuhi segala kebutuhan sehari-hari mereka tanpa kesusahan.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka tanah kosong yang dapat ditanami seharusnya juga bertambah. Tetapi logika ini tidak berjalan, karena yang terjadi pertambahan penduduk menjadikan semakin sempit tanah yang ada. Desa Sriharjo termasuk daerah yang memiliki lahan pertanian yang sempit, dan di sisi lain pertambahan penduduk semakin meningkat dari hari-kehari. Hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Singarimbun dan Penny (1984) bahwa dalam jangka waktu 70 tahun, penduduk telah meningkat hampir tiga kali lipat. Akibatnya di Sriharjo luas tanah rata-rata per keluarga telah menciut menjadi kurang dari seperempat hektar dan sekitar dua pertiga penduduk tidak memperoleh pendapatan yang memungkinkan mereka makan nasi sepanjang tahun.
Dari sinilah awal kemiskinan masuk dalam kehidupan masyarakat Sriharjo. Di mana mereka mulai kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka dikarenakan lahan pertanian yang menjadi tumpuhan hidup mereka semakin lama semakin menyempit. Hal ini yang mengakibatkan di Sriharjo pada saat itu ada ditemukan rakyat yang tidak dapat panen pada waktunya, karena mereka telah memanen terlebih dahulu dan memakan sebelum padi itu matang. Ini menandakan bahwa pada saat itu masyarakat Sriharjo, terutama yang berprofesi sebagai petani, berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk menyiasati semakin menyempitnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka masyarakat Sriharjo dalam mempertahankan pendapatan mereka sedapat-dapatnya, mereka mulai mengurangi luas tanah yang ditanami padi agar dapat menanam tanaman-tanaman lain, seperti kelapa yang buahnya difungsikan untuk dijadikan gula kelapa. Selain itu, mereka juga turut menggundulkan bukit-bukit di sekitarnya dan akhirnya menimbulkan erosi yang cukup membahayakan kehidupan.
Kemiskinan yang terjadi di Sriharjo pada masa pertengahan dan akhir abad 20 adalah diakibatkan oleh banyak hal. Penulis melihat bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat tani Sriharjo selain masalah struktural juga karena masalah mental masyarakatnya pada saat itu. Di mana kebanyakan masyarakatnya memiliki mental yang selalu berpangku pada sektor pertanian saja, tidak pernah mau melihat keluar untuk melakukan inovasi-inovasi lain yang dapat menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tetapi hal demikian juga perlu kita maklumi, karena pendidikan mereka yang rendah sulit untuk menghantarkan mereka dapat berpikir lebih maju ke depan.
Dari data yang penulis dapatkan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Sriharjo pada saat itu yang memiliki pendidikan setingkat SD dan SMP saja masih jarang, kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan sekolah. Dalam perkembangannya, sekitar tahun 80-an masyarakat yang mengenyam pendidikan setingkat SMU pun juga masih sedikit. Hal ini dikarenakan kebanyakan mereka berpandangan bahwa setelah sekolah tinggi pun nanti yang dicari juga kerja, maka lebih baik langsung kerja saja ketika anak sudah memasuki umur dewasa. Ini tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Sriharjo yang berprofesi sebagai petani padi, yang menurut pandangan mereka tidak membutuhkan pengetahuan dari sekolah untuk mengelola sawah guna ditanami padi.[1]
Kemudian permasalahan struktural yang menjadikan masyarakat Sriharjo semakin miskin adalah berbagai kebijakan pembangunan pemerintahan Soeharto yang lebih berorientasi ke pusat kota dari pada ke desa. Pada masa rezim Soeharto dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan pasca kemerdekaan, pemerintah lebih banyak menggebu-gebu untuk melakukan pembangunan di pusat-pusat kota, terutama di daerah Jawa. Inilah yang kemudian menjadikan masyarakat yang tinggal dipedesaan menjadi terlupakan. Selain itu, kebijakan-kebijakan pangan yang dibuat oleh pemerintah juga tidak berpihak kepada masyarakat tani, tapi lebih berpihak kepada kepentingan pasar. Faktor struktural inilah menurut penulis yang lebih mendominasi penyebab dari samakin miskinnya masyarakat Sriharjo. Hal ini tidak mukin terjadi kalau saja pemerintahan Soeharto pada saat itu mau memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakt tani yang ada di desa-desa. Memberikan mereka keahlian-keahlian lain yang dapat mereka gunakan untuk mempertahankan kehidupan mereka, dari tanntangan zaman.
Ketergantungan masyarakat Sriharjo terhadap pertanian yang tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan tanah yang luas untuk dapat ditanami, menjadikan masyarakat yang miskin semakin miskin. Kondisi yang demikian, menyebabkan sebagian besar anak muda Sriharjo memilih keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan, seperti pergi keluar negeri menjadi TKI di Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan lain-lain.
Kemiskinan masyarakat tani Sriharjo lebih didominasi oleh para petani kecil. Bagi para petani kecil mengalami kesulitan untuk dapat membeli bibit-bibit unggul kelas satu yang dapat mendapatkan hasil yang bagus, selain itu mereka juga tidak mampu membeli pupuk yang bagus untuk tanaman padi mereka, kalau pun dapat membeli hanya sedikit. Ini lah yang kemudian menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan hasil gabah yang banyak dan bagus. Kebanyakan yang dapat menikmati bibit unggul dan pupuk yang berkualitas tinggi hanyalah para petani yang memang memiliki lahan tanah pertanian yang luas. Lebih lanjut, kebanyakan dari para petani kecil yang menanam padi tidak untuk dimakan sendiri tetapi untuk dijual guna mencukupi kebutuhan sehari-hari selain makan nasi. Oleh karena itu, mereka dalam kelompok yang disebut sebagai petani kecil ini tidak sanggup kalau harus makan nasi terus setiap harinya dan mereka harus mencari alternatif makanan lain yang lebih murah untuk dapat dikonsumsi setiap harinya (Singarimbun 1984, h. 45). Berbeda kemudian dengan para petani kecil, para petani yang memiliki lahan lebih luas menanam padi tidak hanya untuk dijual saja tapi juga untuk dikonsumsi sendiri.
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat tani Sriharjo pada masa-masa itu pada dasarnya telah dapat dijadikan gambaran bagaimana kondisi masyarakat tani kecil di pedesaan Jawa. Penulis melihat bahwa kemiskinan ini tidak hanya terjadi di desa Sriharjo saja tetapi juga dialami oleh penduduk lain di belahan Indonesia. Permasalahannya adalah bagi daerah yang sangat jauh dengan perkotaan terlebih di luar pulau Jawa sangat sulit untuk dijangkau untuk diketahui. Kalau pun ada peneliti yang akan terjun di sana pastinya juga akan berpikir-pikir terlebih dahulu. Ini karena disamping membutuhkan biaya yang relatif mahal, juga alat transportasi yang sulit untuk sampai ketujuan. Contoh kecil dari ini adalah daerah pedalaman yang ada di Papua atau Kalimantan pada saat itu.
Dari penjelasan di atas, penulis melihat bahwa kemiskinan  yang dialami oleh masyarakat tani pada dasarnya terjadi tidak hanya dikarenakan oleh mental masyarakatnya  saja, tetapi dikarenakan bentukan dari struktur sosial yang ada pada saat itu. Selain itu, negara juga memiliki peran serta yang besar dalam melanggengkan kemiskinan itu dalam kehidupan masyarakat tani di pedesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan pemerintahan Soeharto dalam soal pangan masih banyak yang lebih membela kepentingan para pengusaha sebagai kroni-kroninya dari pada kehidupan wong cilik. Tidak heran kalau Prof. M. Maksum Machfoedz (2010) menyebut rakyat tani miskin yang ada di Jawa sebagai korban terorisme pembangunan nasional.

Kondisi Desa Sriharjo di Abad 21 Mulai Menemukan Wajahnya
Kehidupan masyarakat Sriharjo di abad ke-21 tepatnya di tahun 2011 saat penulis melakukan penelitian lapangan sudah mengalami perubahan yang  derastis baik dari segi struktural, kultural maupun likungan desa kalau dibandingkan dengan kondisi Sriharjo pada pertengahan abad 20 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penelitian Masri Singarimbun (1984). Berubahan kondisi masyarakat Sriharjo tidak terlepas dengan pembangunan infrastruktur jalan, di mana dulunya masih murni dari tanah dan rimbun kini telah berubah menjadi aspal (makadam), yang dimulai pembangunananya sekitar tahun 1985-an. Selain itu juga dibarengi dengan masuknya energi listrik pada tahun 1980-an yang dapat membantu masyarakat setempat dalam memfasilitasi kebutuhan hidup mereka.[2]
Kemajuan infrastruktur jalan memudahkan masyarakat Sriharjo yang nota bene tinggal di pedesaan Jawa pedalaman untuk dapat pergi ke kota mencari kebutuhan hidup mereka. Lebih lanjut, pembangunan jalan melalui proyek aspal jalan tidak hanya diperuntukkan jalan pusat desa saja tapi juga jalan-jalan yang ada dipelosok-pelosok desa Sriharjo, hampir seluruh jalan yang ada dilingkungan pedukuhan Sriharjo saat ini telah teraspal dengan makadam. Dengan adanya jalan-jalan yang ada dipelosok desa yang telah teraspal ini pun juga mempermudah masyarakat untuk melakukan aktifitas (kegiatan desa) dalam musim penghujan, terlebih pada musim kemarau.
Selain kemajuan infrastruktur jalan, kemajuan lain juga didapatkan dari bentuk-bentuk perumahan masyarakatnya. Di mana dulu pada tahun 70-an saat Masri Singarimbun melakukan penelitian kondisi perumahan masyarakat Sriharjo sebagian besar masih terbuat dari bambu, kini kondisi tersebut telah berubah. Penulis mendapatkan sebagian besar kondisi perumahan di Sriharjo sedah tidak dari bambu tapi dari batu bata dan kayu. Ini menandakan kalau kehidupan masyarakat Sriharjo sudah mengalami kemakmuran. Pertanyaannya, apakah itu benar bahwa kondisi perumahan yang bagus sudah menggambarkan tingkat kehidupan yang kecukupan atau mapan? Pertanyaan ini akan dijawab pada bagian berikutnya.
Di sisi lain, penulis mendapatkan bahwa di sekitar jalan pusat desa Sriharjo sekarang sudah dapat ditemui warung-warung yang berarsitek modern, seperti Alfa Mart, Indo Mart dan lain-lain. Selain itu, penulis juga mendapatkan sudah banyak mayarakat yang mengunakan jasa pencucian baju seperti Loundry. Fenomena ini menandakan hampir 70 persen kondisi masyarkat Sriharjo sudah ada dalam kondisi yang mapan. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan sudah ada (untuk tidak mengatakan banyak) masyarakat yang menggunakan alat trasnportasi pribadi berupa mobil dan terutama sepedah motor. Lebih dari itu penulis pun juga mendapatkan beberapa masyarakat sriharjo yang menggunakan Parabola sebagai antena TV mereka. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan sarana pendidikan?
Cukup berbeda jauh dengan masa di mana Masri Singarimbun melakukan penelitian. Kalau pada masa itu sangat sulit ditemukan orang yang berpendidikan tinggi setingkat SMU di Sriharjo, sekarang masyarakatnya terutama anak muda sudah relatif banyak yang mengenyam pendidikan setingkat Universitas atau sarjana. Penulis mendapatkan sudah terdapat beberapa institusi pendidikan yang berdiri di Sriharjo mulai dari tingkat pendidikan anak-anak (TK) sampai tingkat menengah atas (SMU). Selain itu, desa Sriharjo juga memiliki institusi pendidikan untuk anak usia dini yang sudah berhasil menjadi percontohan dan memenangkan lomba juara satu tingkat provinsi.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan telah tumbuh dalam pikiran masyarakat Sriharjo. Masyarakat Sriharjo sudah mulai dapat melihat bahwa pentingnya pendidikan untuk menyongsong masa depan menjadi lebih baik. Ini tentu berbeda dengan main set berpikir masyarakat dulu, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang melihat pendidikan dengan sebelah mata. Perubahan cara pikir atau pandang terhadap pentingnya pendidikan ini tentu tidak lepas dengan kemajuan bidang ekonomi dalam masyarkat Sriharjo. Artinya, sebagian besar masyarakat Sriharjo sudah berada dalam taraf mapan kehidupan ekonomi sehari-harinya. Kondisi yang demikian ini akhirnya menghantarkan Sriharjo menemukan wajah barunya yang lebih cerah dibanding kehidupan di abad 20 yang lalu.
Perubahan kondisi ekonomi menjadi lebih baik ini tidak terlepas dari upaya sebagian masyarakat Sriharjo yang mau merubah main set berpikirnya sebagai petani menjadi pengusaha. Di mana penulis mendapatkan bahwa kebiasaan masyarakat Sriharjo membuat peyek[3] untuk dijadikan lauk makan sehari-hari ini, kemudian dijadikan sebagai bisnis. Artinya, masyarakat Sriharjo membuat peyek secara besar-besaran untuk dijual belikan kepada masyarakat lainnya baik yang tinggal di desa Sriharjo maupun desa-desa lainnya.
Bisnis peyek ini telah digeluti oleh masyarakat Sriharjo sejak tahun 2001 atau lima tahun sebelum adanya bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Hadirnya bisnis peyek ini benar-benar telah merubah sebagian kondisi perekonomian mayarkat Sriharjo. Bisnis peyek ini didirikan oleh masyarakat Sriharjo sendiri. Ada dua jenis pembisnis peyek, yakni pembisnis kecil dan pembisnis besar. Di mana pembisnis kecil ini memproduksi peyek untuk disetor kepada para pembisnis besar yang ada di Sriharjo, dan dari para pembisnis besar inilah peyek didistribusikan hingga keluar daerah. Dari data yang penulis dapatkan hanya terdapat lima industri peyek yang bersekala besar, dari lima industri inilah yang berhasil menyedot kariawan-kariawan yang berasal dari Sriharjo sendiri, tetapi kariawan yang dipekerjakan di sini adalah para ibuk-ibuk. Ini bisa dikatakan bahwa produksi peyek adalah termasuk golongan pekerjaan sampingan para ibuk-ibuk rumah tangga.
Pergeseran sebagian masyarakat Sriharjo yang dulunya menggantungkan hidupnya kepada bidang pertanian dan sekarang beralih kepada usaha peyek menjadikan hidup mereka berubah menjadi lebih baik. Hal ini juga dipermudah dengan adanya pinjaman bank yang masuk ke desa, dan bagi para pengusaha peyek Sriharjo memiliki peluang untuk meminjamnya. Dengan adanya tambahan modal dari bank ini, para pengusaha peyek relatif punya modal untuk menjadikan usahanya menjadi lebih besar. Meskipun dalam perjalanan proses pengembaliannya juga tidak sedikit yang mengalami kemacetan karena jalannya bisnis yang tidak selalu lancar.
Selain adanya bisnis peyek yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat Sriharjo, juga terdapat bantuan dari pemerintah pusat berupa PNPM Mandiri. Dana PNPM ini juga memberikan manfaat tersendiri bagi Sriharjo untuk membantu masyarakat kecil yang ada, meskipun seringkali dana ini digunakan oleh pejabat desa tidak pada fungsinya. Selain dana PNPM juga terdapat bantuan dana lainnya dari berbagai instansi baik pemerintah mapun swasta pasca tragedi gempa bumi yang ikut meluluh lantakkan desa Sriharjo. Sriharjo termasuk daerah yang dekat dengan pusat gempa yang terjadi pada tahun 2006 lalu, di mana telah meluluh lantakkan daerah Yogyakarta. Sriharjo termasuk desa yang tergolong mengalami kerusakan parah akibat gempa tahun 2006 silam.
Dampak yang diakibatkan dengan adanya gempa tersebut telah menelan puluhan korban jiwa meninggal dan kerusakan yang cukup parah bagi rumah-raumah penduduk Sriharjo. Berdasarkan data yang ada mencapai 89 korban jiwa meninggal di Sriharjo akibat gempa, selain itu untuk dukuh Pelemadu hanya tersisa 3 rumah yang tidak roboh tapi retak-retak akibat kena gempa.[4] Dalam waktu sekejap bencana gempa ini telah merubah kehidupan Sriharjo, kerusakan terjadi di mana-mana. Kini masyarakat Sriharjo, khususnya masyarakat tani miskin tidak hanya diajak untuk memikirkan bagaimana mencari makan untuk bertahan hidup tapi juga bagaimana caranya memperbaiki rumah-rumah yang pada hancur ini.
Melihat kondisi masyarakat Sriharjo yang begitu mengenaskan, bantuan untuk menolong datang dari berbagai penjuru baik dari instansi pemerintah langsung maupun dari kalangan NGO. Bantuan ini datang tidak hanya berupa pertolongan fisik semata tapi juga berupa material dan sosial yang datang dari berbagai kalangan untuk mengurangi beban penderitaan masyarakat Sriharjo sebagai korban akibat gempa.
 Pemerintah turun dengan memberikan bantuan untuk membangun rumah yang berukuran cukup sedang dari beton dengan bentuk uang sebesar 20 samapi 25 juta per keluarga. Dari uang tersebutlah sebagian besar masyarkat sriharjo membangun rumahnya kembali, menjadi perumahan yang berasal dari batu bata hampir sebagian besarnya. Selain itu juga mendapatkan bantuan dari berbagai NGO baik dalam negeri maupun internasional. Tidak heran kalau sekarang kita jumpai mayoritas rumah yang ada di Sriharjo sudah tembok semua, ini berkat bantuan yang datang pasca bencana gempa bumi.
NGO yang datang pasca gempa bumi tidak hanya untuk memberikan bantuan berupa materi, tapi juga memberikan bantuan berupa tenaga pendampingan bagi masyarakat yang membuka usaha baik usaha yang sifatnya kelompok maupun mandiri. Dengan adanya pendampingan dari NGO ini diharapkan dapat mempermudah jalannya para pembisnis kecil desa ini memulai usaha. Pertanyaannya, bagaimana nasib para petani pasca gempa? Tetap saja mereka kembali ke sawah seperti semula untuk menggarap lahan yang mereka punya, maupun lahan yang mereka sewa dari tuan tanah. Para petani di sini, khususnya petani kecil, masih saja sebagai golongan yang serba kekuarangan. Mereka termasuk golongan masyarkat miskin Sriharjo dari jumlah penduduk sekarang yang mencapai kurang lebih 9800 jiwa. Untuk lebih jelas bagaimana kondisi masyarakat tani miskin Sriharjo di masa sekarang (masa yang lebih dikenal dengan zaman Modern) dalam pembahasan berikutnya akan penulis ulas lebih dalam.

Masyarakat Tani Sriharjo Tergilas Kemajuan Modernitas
Modernitas sering kali diidentikkan dengan kemajuan dalam bidang teknologi baik industri maupun komunikasi. Sehingga negara yang memasuki apa yang disebut sebagai “kondisi modernitas” akan berupaya untuk melakukan pembangunan menjadi lebih maju dalam segala bidang. Kemajuan tentu juga bertujuan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara yang mengalami modernisasi. Modernitas dalam bidang teknologi tidak lain adalah membantu manusia dalam mengatasi permasalah-permasalahan dalam mengatur hidupnya. Begitu halnya dengan kemajuan dalam teknologi pertanian diharapkan juga memberikan nilai tambah atau lebih membantu masyarakat tani untuk menjadi lebih maju dalam mengurus pertaniannya, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat tani Sriharjo memanfaatkan kemajuan teknologi pertanian yang dihasilkan dari proses modernitas ini?
Berbeda mungkin dengan masyarakat tani di belahan dunia lainnya, yang dengan hadirnya kemajuan teknologi pertanian dapat menambah produktifitas mereka dalam menghasilkan padi. Masyarakat tani padi Sriharjo masih saja dalam kondisi yang miris kehidupannya. Kemajuan teknologi tidak menjadikan perekonomian mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagai masyarakat tani miskin mereka tidak sanggup untuk mendatangkan alat-alat canggih sebagaimana yang ada di daerah lainnya untuk memanen hasil tanaman maupun membajak sawah yang mereka akan tanami. Karena kepemilikan lahan sawah yang sempit dan berpenghasilan yang relatif sedikit memaksa mereka untuk mencangkuli sawah mereka sendiri sebelum padi ditanam. Selain itu, mereka dalam memanen padi masih saja menggunakan cara-cara tradisional sebagaimana mayarakat tani dulu hidup.
Pada saat penulis survei di lokasi penelitian, penulis masih mendapatkan petani padi yang masih menggunakan cara yang sangat tradisional dalam memanen padi. Di mana mereka dalam melepaskan padi dari tangkainya tidak lagi menggunakan alat seperti Dos atau pengilingan yang dibawa oleh mobil, tapi mereka pukul-pukulkan batang padi yang terbundal itu pada suatu kayu supaya padi itu rontok dari batangnya. Hal ini menurut kita mungkin sangat lucu di era modern ini masih saja ada yang menggunakan cara-cara yang demikian seperti masyarakat primitif, tapi beda dengan sebagian masyarakat tani Sriharjo. Hal demikian adalah termasuk cara yang mudah mereka lakukan dan lagi tidak membutuhkan biaya yang mahal. Data yang penulis dapatkan pun menjelaskan bahwa masyarakat yang melakukan pekerjaan memanen atau memukulkan tangkai padi ke kayu tadi juga bukan merupakan buruh yang sengaja disewa oleh pemilik tanaman padi, akan tetapi mereka adalah sekelompok orang yang berasal dari Sriharjo sendiri yang tidak memiliki pekerjaan, maka dengan cara itu mereka bisa mendapatkan batang padi atau rumput dari batang padi tersebut untuk dijual guna mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tidak heran kalau di beberapa sudut jalan terdapat seongkok rumput yang dijual oleh masyarakat Sriharjo guna mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sebenarnya mereka sadar bahwa mereka sekarang hidup di zaman modern di mana berbagai bentuk alat canggih untuk pertanian sudah tersedia. Tetapi apalah daya bagi mereka, hasil dari panen sawah mereka tidak mencukupi untuk menyewa alat-alat yang canggih tersebut, traktor misalnya atau alat pemanen modern seperti yang biasa digunakan oleh masyarakat tani yang memiliki tanah cukup luas atau masyarakat tani yang tergolong kaya dibelahan pulau Jawa lainnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahawa kondisi masyarakat tani Sriharjo masih mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak adanya pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang untuk makan memaksa mereka untuk tetap mengerjakan lahan sawah yang semakin sempit, meskipun sering kali hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pembibitan sampai pemanenan padi. Bertambahnya jumlah penduduk semakin tahunya menjadikan lahan tanah yang dapat mereka tanami menjadi semakin sempit karena dipenuhi dengan perumahan anak cucu mereka. Kondisi ini lah yang kemudian penulis sebut sebagai kondisi petani miskin Sriharjo yang tergilas oleh kemajuan modernitas. Artinya, dimana kemajuan zaman mengitari kehidupan mereka tapi mereka tetap saja hidup dalam kondisi yang serba ketertinggalan baik dalam mencukupi kebutuhan hidupnya maupun dalam menggunakan alat-alat pertanian masih mengguanakan cara-cara yang tradisional. Kemajuan modernitas menjadi menggilas mereka karena sebagai rakyat tani yang hidup di zaman modern ini, mereka tidak dapat menikmati dan mengimbangi kemajuan tersebut.
Di sisi lain, penulis juga mendapatkan sebagian masyarkat Sriharjo yang sehari-harinya harus mencari kayu untuk dijadikan arang. Kayu ini mereka dapatkan dari tempat yang cukup jauh di pegunungan yang ada di pinggiran Sriharjo. Upaya pembuatan arang untuk dijual ke pasar ini juga merupakan salah satu usaha masyarakat Sriharjo dalam mempertahankan hidup mereka di balik harga segala sesuatu semakin hari semakin mahal, terutama bahan-bahan makan untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun demikian masyarakat tani Sriharjo masih saja dalam kondisi yang mines dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan yang masih menjerat kehidupan masyarakat tani Sriharjo ini menurut penulis menunjukkan kalau negara telah melakukan kesalahan terbesarnya. Negara telah abai terhadap kehidupan mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mencukupi kebutuhan hidup warganya sebagaimana tercantum dalam UUD 45. Selain itu, dengan adanya kemiskinan yang masih dirasakan oleh masyarakat tani sebagai tulang punggung dalam menyediakan bahan makanan bangsa, ini menunjukkan kalau negara masih belum menjalankan tugasnya untuk memenuhi hak ekonomi terhadap setiap warga negara yang ada di dalamnya. Padahal dalan Konvenan tentang hal-hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diamanatkan pada negara untuk menjalankannya, pada bagian III, artikel 11, disebutkan bawa (Baswir, dkk. 2003, h. 51-52):
Negara mengakui kewajiban menjunjung hak fudamental bagi semua untuk bebas dari kelaparan untuk itu negara, secara individual maupun bersama-sama menjalankan program spesifik yang dibutuhkan  yaitu; meningkatkan metode produksi, konservasi dan distribusi pangan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin ilmu pengetahuan dan teknologi melalui deseminasi pengetahuan atas pangan, pertanian dan dengan pengembangan atau reformasi sistem afraria sebagai sarana untuk mencapai pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang paling efisien; mempertimbangkan masalah-masalah atas negara-negara pengimpor pangan dan negara-negara pengekspor pangan untuk bersama-sama menjamin distribusi pangan dunia yang adil
Dari kadungan kutipan konvenan di atas, dapat dipahami bahwa permasalahan pangan adalah merupakan tanggungjawab dari negara untuk memenuhinya. Selain itu, negara juga memiliki tanggungjawab untuk melakukan perbaikan metode produksi yang dibutuhkan oleh petani melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, dan negara harus mengatur permasalahan struktural sepertihalnya mekanisme  dalam distribusi sampai pembenahan sistem agraria secara adil.
Untuk mengurusi permasalahan dalam negeri terkait dengan hak atas pangan dan pendistribusian komoditinya juga telah diatur oleh penguasa melalui tata niaga pangan. Perwakilan penguasaha dalam tata niaga pangan adalah sebuah institusi yang dikenal dengan nama Badan Urusan Logistik (Bolog). Melalui Bulog, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan harga beras dan impor beras, impor kedelai dan lain-lain. Dalam hal ini Bulog berperan dominan dalam stabilitas harga, distribusi dan penimbunan komoditi pangan utama. Pada pelaksanaannya Bulog banyak bekerja sama dengan perusahaan swasta di tingkat nasional mapun di tingkat regional (Dolog) (Baswir, dkk. 2003, h. 61).
Acap kali kebijakan negara dalam melakukan impor beras besar-besaran, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat tani karena beras yang mereka jual menjadi murah karena harus bersaing dengan harga beras bulog yang datang dari luar, dari segi kualitas kadang lebih baik dan lebih murah. Ini yang menjadikan masyarakat tani padi menjadi banyak ruginya dari pada untung. Hal ini karena hasil yang mereka dapatkan sering kali tidak pernah mencapai target, karena biaya produksi lebih mahal dari pada hasil yang didapatkan. Selain itu, harga pupuk yang semakin hari semakin mahal menjadikan rakyat tani kecil semakin tercekik. Hal ini juga diakibatkan oleh kebijakan pangan pemerintah yang lebih memihak terhadap kepentingan pasar atau para pengusaha. Pemerintah tidak lagi begitu peduli dengan nasip petaninya yang hidup dibawah garis kemiskinan hingga tergilas dengan arus modernitas sekalipun.
Perhatian pemerintah terhadap kehidupan ratkyat tani miskin yang tinggal di desa selama ini masih setengah hati atau kurang optimal. Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui berbagai programnya seperti BLT, PNPM Mandiri, dana raskin dan sejenis bantuan sosial lainnya tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat tani miskin desa. Sudah seharusnya pemerintah lebih mengamankan kehidupan petani kita terlebih petani padi sebagai ujung tombak dalam mencukupi pangsa pangan bangsa ini.
Kehidupan masyarakat tani miskin Sriharjo yang hidup dibawah gilasan arus modernitas ini, dalam pandangan penulis juga dialami oleh mayarakat tani lainnya yang tinggal dipenjuru negeri ini. Akibat mahalnya harga pupuk dan benih padi serta kebijakan pangan pemerintah yang lebih memihak ke pasar ini, pada dasarnya juga dirasakan oleh masyarakat tani yang tinggal di daerah lainnya.
Oleh karena itu, dalam mengentaskan kemiskinan yang dihadapi para petani tidak sekedar membuat kebijakan-kebiajakan dan program-program seperti di atas saja, di mana lebih banyak mengandung unsur politisasi yang sifatnya sangat tidak proposional semata dari pada upanya benar-benar mengentaskan kemiskinan (Machfoedz 2010, h. 115). Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap desa sebagai agenda pembangunan nasional. Tidak seharusnya masyarakat desa hanya dijadikan komoditas politik saja, tapi harus dijadikan sebagai tempat berpijak awal dalam melakukan pembangunan negara demi kemajuan sebuah bangsa yang disebut sebagai Indonesia. Dalam artian, pembangunan tidak harus selamanya dilakukan dari atas tapi sudah waktunya dilakukan dari bawah.
Pengalaman berbagai negara dalam menggunakan pendekatan pembanguan dari atas menunjukkan adanya kegagalan dan ketimpangan yang ditimbulkan oleh pembangunan macam itu. Kini pemerintah harus sadar bahwa supaya berhasil suatu negara harus berpusat pada rakyat. Yang dituju adalah pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini mengandaikan adanya partisipasi dan kebebasan dalam keseluruhan proses pembangunan itu (Korten & Syahrir (Ed.) 1988). Ini artinya, dalam mengambil kebijakan pembangunan pemerintah harus tahu apa yang diinginkan rakyatnya dan itu dilihat dari kacamata rakyat bukan kacamata negara.

Epilog
Dari uraian panjang di atas dapat diambil sebuah itisari bahwa kehidupan masyarakat Sriharjo secara umum sudah mengalami perubahan yang lebih maju dari pada sebelumnya, perubahan ini nampak sekali kalau kita bandingakn hasil penelitian Masri Singarimbun yang telah dibukukan tersebut dengan hasil penelitian yang penulis dapatkan ini tentang kondisi Sriharjo. Akan tetapi kehidupan yang dialami oleh masyarakat tani dan buruh tani, khususnya petani padi masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan kalau kita bandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal demikian tidak terlepas oleh kebijakan pemerintah yang selama ini masih berpihak kepada pasar, dan pembangunan pun lebih berorientasi kota dari pada desa.
Hadirnya industri peyek di Sriharjo telah membantu mengurangi beban para petani padi lainnya, karena dengan hadirnya industri ini dapat membantu kehidupan sebagian kecil para petani dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena dengan adanya industri peyek dapat menjadikan istri-itri para petani mendapat pekerjaan sampingan untuk membantu suami mereka, ini karena mayoritas yang bekerja diindustri peyek adalah kalangan wanita. Dengan demikian ada sedikit perbaikan dalam kehidupan petani Sriharjo meskipun masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.[]

Daftar Bacaan
Baswir, Revrisond dkk. 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM, Jakarta.
Korten, D.C. dan Syahrir 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Machfoedz, Mochammad Maksum 2010, Rakyat Tani Miskin Korban Terorisme Pembangunan Nasional, Aditya Media, Yogyakarta.
Singarimbun, Masri dan D.H. Penny 1984, Penduduk dan Kemiskinan Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Bhratara  Karya Aksara, Jakarta.


[1] Data ini penulis dapatkan setelah melakukan dialog bersama teman-teman kuliah lapangan bersama bapak Ngadiran Kades Desa Sriharjo pada tanggal 17 April 2011.
[2] Data diperoleh dari hasil wawan cara dengan sekdes desa Sriharjo bersama teman-teman kuliah lapangan pada hari minggu tanggal 17 April 2011.
[3] Makanan yang dibuat dari tepung yang disertai dengan kacang tanah dan kemudian digoreng.
[4] Data diperoleh dari hasil wawan cara dengan sekdes desa Sriharjo bersama teman-teman kuliah lapangan pada hari minggu tanggal 17 April 2011. Sekdes adalah termasuk warga Pelemadu yang juga terkena dampak gempa dan rumahnya termasuk salah satu dari ke tiga rumah yang tidak roboh akibat gempa bumi tahun 2006 silam.