Rabu, 27 April 2011

KEHIDUPAN RAKYAT TANI DI BALIK MODERNITAS (Melihat Kembali Desa Sriharjo di Pedesaan Jawa Lebih Dekat)

Oleh: Mahsun Muhammad


Realitasnya, tidak sulit untuk menemukan bahwa upaya pembangunan yang dilakukan dengan tujuan pemberdayaan ternyata menyumblim menjadi pemerdayaan. Pendekatan bottom up juga acap kali berhenti mboten up, dan subsidi bagi RTM, Takyat Tani Miskin, mudah merubah wajah menjadi ajang korupsi” (M. Maksum Machfoedz 2010).
Kutipan di atas ingin menjelaskan bagaimana kebijakan-kebijakan pangan pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan yang terjadi di desa, terutama yang dialami oleh masyarakat tani miskin, selama ini hanyalah sebagai ajang politisasi, membangun citra dan ladang korupsi belaka, dari pada sebagai upaya untuk melakukan pembanguan di desa. Pemerintah lebih sering meninak bobokkan masyarakat bawah melalui berbagai program bantuannya demi melanggengkan kekuasaannya.
Tulisan ini ingin membahas tentang kehidupan rakyat tani miskin yang ada di pedesaan Jawa, tepatnya di Desa Sriharjo Bantul, Yogjakarta. Kajian ini dianggap penting, untuk mengetahui sejauh mana kehidupan rakyat tani sebagai tulang punggung atau ujung tombak dalam menyidiakan bahan pangan negara di balik kemegahan pembangunan yang telah berjalan di negeri ini. Seperti yang kita maklumi bersama bahwa secara umum kehidupan rakyat tani kita masih dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, meskipun negara kita telah bebas dari penjajahan kolonial berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak jarang kita temui bahwa rakyat tani kita masih mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Di sisi lain kita mendapatkan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang hidup dengan berlimpah harta, sampai-sampai kehabisan pikir mau kemana uang mereka dibelanjakan.
Dalam kajian ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada kondisi perekonomian masyarakat tani Sriharjo. Kajian ini akan dilakukan dengan meneropong kembali kajian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1984) terhadap kehidupan masyarakat Sriharjo pada tahun 70-an. Di mana kehidupan masyarakat Sriharjo pada masa itu, menurut kedua penulis sebagian besar masyarakatnya menggantungkan nasip dalam bidang pertanian, khususnya tanaman padi. Sedangkan lahan tanah yang tersedia dalam jumlah kuantitas yang sedikit, hal demikian yang membuat mayoritas masyarakat Sriharjo pada saat itu hidup di bawah garis kemiskinan. Pertanyaannya, apakah kondisi yang demikian masih dialami oleh masyarakat tani Sriharjo di era modernisasi? Di mana sebagian besar kehidupan masyarakat dunia telah mengalami perubahan dan ditandai dengan kemajuan teknologi dan pembangunan dalam segala bidang. Kalaupun ada perubahan, perubahan seperti apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani Sriharjo?
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, kajian ini akan dilakukan. Adapun untuk mendapatkan temuan yang otoritatip dalam kajian ini, maka metode pengumpulan data yang digunakan bagi analisis tulisan ini adalah metode observasi lapangan dengan cara wawancara. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data melalui pembacaan literatur yang relevan dengan kajian ini. Dari hasil wawancara dan pembacaan literatur ini, akan dilakukan analisis secara kritis, sehingga hasilnya akan dapat mendeskripsikan keadaan atau kondisi sebenarnya sesuai dengan fokus kajian yang ditetapkan.
Guna mensistematikkan tulisan, pembagiannya disusun seperti berikut ini. Pertama, penulis akan mengurai kembali secara singkat kehidupan masyarkat Sriharjo pada tahun 70 an sebagaimana yang dijelaskan oleh Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1984). Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal kondisi, yang kemudian dapat diperbandikan dengan keadaan masyarakat Sriharjo pada masa sekarang. Kedua, bembahasan akan melihat perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Sriharjo di masa sekarang. Di sini akan dijelaskan bagaimana berubahan yang terjadi baik dalam ranah struktur masyarakatnya, kultur dan lingkungan desa Sriharjo. Ketiga, penulis akan membahas kehidupan masyarakat tani Sriharjo, terutama dalam bidang perekonomian mereka. Keempat, kesimpulan dan penutup, yang akan mengambil inti sari dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini.

Masa Kelam Sriharjo di Abad 20 Akibat Kemiskinan Struktural
Indonesia yang terkenal dengan sebutan negara agraris terutama pasca kemerdekaan dari kolonial, menghantarkan sebagian besar masyarakatnya, termasuk Sriharjo, untuk menggeluti bidang pertanian guna mencukupi kebutuhan hidupnya, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pulau Jawa. Sebagian besar dari petani Indonesia yang tinggal di Jawa adalah bertani dalam bidang cocok tanam. Kebutuhan air untuk tanamannya masih mengandalkan air dari tadah hujan, terutama tanaman seperti padi.
Selain itu, di sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk Sriharjo, beras merupakan makanan poko sehari-hari. Tidak seorang pun petani yang menganggap dirinya kecukupan jika tidak dapat mendapatkan tanaman padi yang dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Inilah yang kemudian menjadikan sebagian besar masyarakat Indonesia banyak yang menggantungkan dirinya dalam bidang pertanian.
Desa Sriharjo juga termasuk masyarakatnya yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, terutama padi. Melalui teknologi tradisional yang mereka memiliki pada dasarnya sudah menghantarkan mereka untuk hidup yang kecukupan dengan mengelola tanah yang mereka miliki. Karena bagi masyarakat tani Sriharjo yang hidup pada masa 70-an sampai akhir abad dua puluh, kehidupan yang dianggap cukup bagi meraka adalah jika dapat mengolah tanah Seluas 0,7 hektar sawah tadah-hujan dan sebidang tanah darat, misalkan 0,3 hektar, di mana mereka dapat menanam kelapa, buah-buahan dan pohon-pohon lainnya, sayuran sekadarya, rempah-rempah dan keperluan rumah tangga lainnya. Melalui satu hektar tanah yang petani miliki, pada umumnya seorang petani sudah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa tenaga luar pun untuk membantu mengelola tanah yang dia miliki (Singarimbun 1984, h. 3).
Masyarakat Sriharjo sebelum mengenal pengairan modern, pupuk atau bibit unggul dan jalan raya, para petani mengetahui bahwa mereka dapat memperoleh penghasilan dari tanahnya yang cukup untuk menghidupi keluarganya secara sederhana tapi makan cukup, sederhana tapi pakaian cukup dan sederhana tapi ada rumah untuk berteduh (Singarimbun 1984, h. 4-5). Ini artinya selama masih ada tanah yang kosong bagi masyarakat Sriharjo, meraka akan dapat hidup dengan layak sesuai kelayakan yang mereka pahami, di mana mereka dapat memenuhi segala kebutuhan sehari-hari mereka tanpa kesusahan.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka tanah kosong yang dapat ditanami seharusnya juga bertambah. Tetapi logika ini tidak berjalan, karena yang terjadi pertambahan penduduk menjadikan semakin sempit tanah yang ada. Desa Sriharjo termasuk daerah yang memiliki lahan pertanian yang sempit, dan di sisi lain pertambahan penduduk semakin meningkat dari hari-kehari. Hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Singarimbun dan Penny (1984) bahwa dalam jangka waktu 70 tahun, penduduk telah meningkat hampir tiga kali lipat. Akibatnya di Sriharjo luas tanah rata-rata per keluarga telah menciut menjadi kurang dari seperempat hektar dan sekitar dua pertiga penduduk tidak memperoleh pendapatan yang memungkinkan mereka makan nasi sepanjang tahun.
Dari sinilah awal kemiskinan masuk dalam kehidupan masyarakat Sriharjo. Di mana mereka mulai kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka dikarenakan lahan pertanian yang menjadi tumpuhan hidup mereka semakin lama semakin menyempit. Hal ini yang mengakibatkan di Sriharjo pada saat itu ada ditemukan rakyat yang tidak dapat panen pada waktunya, karena mereka telah memanen terlebih dahulu dan memakan sebelum padi itu matang. Ini menandakan bahwa pada saat itu masyarakat Sriharjo, terutama yang berprofesi sebagai petani, berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk menyiasati semakin menyempitnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka masyarakat Sriharjo dalam mempertahankan pendapatan mereka sedapat-dapatnya, mereka mulai mengurangi luas tanah yang ditanami padi agar dapat menanam tanaman-tanaman lain, seperti kelapa yang buahnya difungsikan untuk dijadikan gula kelapa. Selain itu, mereka juga turut menggundulkan bukit-bukit di sekitarnya dan akhirnya menimbulkan erosi yang cukup membahayakan kehidupan.
Kemiskinan yang terjadi di Sriharjo pada masa pertengahan dan akhir abad 20 adalah diakibatkan oleh banyak hal. Penulis melihat bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat tani Sriharjo selain masalah struktural juga karena masalah mental masyarakatnya pada saat itu. Di mana kebanyakan masyarakatnya memiliki mental yang selalu berpangku pada sektor pertanian saja, tidak pernah mau melihat keluar untuk melakukan inovasi-inovasi lain yang dapat menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tetapi hal demikian juga perlu kita maklumi, karena pendidikan mereka yang rendah sulit untuk menghantarkan mereka dapat berpikir lebih maju ke depan.
Dari data yang penulis dapatkan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Sriharjo pada saat itu yang memiliki pendidikan setingkat SD dan SMP saja masih jarang, kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan sekolah. Dalam perkembangannya, sekitar tahun 80-an masyarakat yang mengenyam pendidikan setingkat SMU pun juga masih sedikit. Hal ini dikarenakan kebanyakan mereka berpandangan bahwa setelah sekolah tinggi pun nanti yang dicari juga kerja, maka lebih baik langsung kerja saja ketika anak sudah memasuki umur dewasa. Ini tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Sriharjo yang berprofesi sebagai petani padi, yang menurut pandangan mereka tidak membutuhkan pengetahuan dari sekolah untuk mengelola sawah guna ditanami padi.[1]
Kemudian permasalahan struktural yang menjadikan masyarakat Sriharjo semakin miskin adalah berbagai kebijakan pembangunan pemerintahan Soeharto yang lebih berorientasi ke pusat kota dari pada ke desa. Pada masa rezim Soeharto dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan pasca kemerdekaan, pemerintah lebih banyak menggebu-gebu untuk melakukan pembangunan di pusat-pusat kota, terutama di daerah Jawa. Inilah yang kemudian menjadikan masyarakat yang tinggal dipedesaan menjadi terlupakan. Selain itu, kebijakan-kebijakan pangan yang dibuat oleh pemerintah juga tidak berpihak kepada masyarakat tani, tapi lebih berpihak kepada kepentingan pasar. Faktor struktural inilah menurut penulis yang lebih mendominasi penyebab dari samakin miskinnya masyarakat Sriharjo. Hal ini tidak mukin terjadi kalau saja pemerintahan Soeharto pada saat itu mau memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakt tani yang ada di desa-desa. Memberikan mereka keahlian-keahlian lain yang dapat mereka gunakan untuk mempertahankan kehidupan mereka, dari tanntangan zaman.
Ketergantungan masyarakat Sriharjo terhadap pertanian yang tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan tanah yang luas untuk dapat ditanami, menjadikan masyarakat yang miskin semakin miskin. Kondisi yang demikian, menyebabkan sebagian besar anak muda Sriharjo memilih keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan, seperti pergi keluar negeri menjadi TKI di Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan lain-lain.
Kemiskinan masyarakat tani Sriharjo lebih didominasi oleh para petani kecil. Bagi para petani kecil mengalami kesulitan untuk dapat membeli bibit-bibit unggul kelas satu yang dapat mendapatkan hasil yang bagus, selain itu mereka juga tidak mampu membeli pupuk yang bagus untuk tanaman padi mereka, kalau pun dapat membeli hanya sedikit. Ini lah yang kemudian menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan hasil gabah yang banyak dan bagus. Kebanyakan yang dapat menikmati bibit unggul dan pupuk yang berkualitas tinggi hanyalah para petani yang memang memiliki lahan tanah pertanian yang luas. Lebih lanjut, kebanyakan dari para petani kecil yang menanam padi tidak untuk dimakan sendiri tetapi untuk dijual guna mencukupi kebutuhan sehari-hari selain makan nasi. Oleh karena itu, mereka dalam kelompok yang disebut sebagai petani kecil ini tidak sanggup kalau harus makan nasi terus setiap harinya dan mereka harus mencari alternatif makanan lain yang lebih murah untuk dapat dikonsumsi setiap harinya (Singarimbun 1984, h. 45). Berbeda kemudian dengan para petani kecil, para petani yang memiliki lahan lebih luas menanam padi tidak hanya untuk dijual saja tapi juga untuk dikonsumsi sendiri.
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat tani Sriharjo pada masa-masa itu pada dasarnya telah dapat dijadikan gambaran bagaimana kondisi masyarakat tani kecil di pedesaan Jawa. Penulis melihat bahwa kemiskinan ini tidak hanya terjadi di desa Sriharjo saja tetapi juga dialami oleh penduduk lain di belahan Indonesia. Permasalahannya adalah bagi daerah yang sangat jauh dengan perkotaan terlebih di luar pulau Jawa sangat sulit untuk dijangkau untuk diketahui. Kalau pun ada peneliti yang akan terjun di sana pastinya juga akan berpikir-pikir terlebih dahulu. Ini karena disamping membutuhkan biaya yang relatif mahal, juga alat transportasi yang sulit untuk sampai ketujuan. Contoh kecil dari ini adalah daerah pedalaman yang ada di Papua atau Kalimantan pada saat itu.
Dari penjelasan di atas, penulis melihat bahwa kemiskinan  yang dialami oleh masyarakat tani pada dasarnya terjadi tidak hanya dikarenakan oleh mental masyarakatnya  saja, tetapi dikarenakan bentukan dari struktur sosial yang ada pada saat itu. Selain itu, negara juga memiliki peran serta yang besar dalam melanggengkan kemiskinan itu dalam kehidupan masyarakat tani di pedesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan pemerintahan Soeharto dalam soal pangan masih banyak yang lebih membela kepentingan para pengusaha sebagai kroni-kroninya dari pada kehidupan wong cilik. Tidak heran kalau Prof. M. Maksum Machfoedz (2010) menyebut rakyat tani miskin yang ada di Jawa sebagai korban terorisme pembangunan nasional.

Kondisi Desa Sriharjo di Abad 21 Mulai Menemukan Wajahnya
Kehidupan masyarakat Sriharjo di abad ke-21 tepatnya di tahun 2011 saat penulis melakukan penelitian lapangan sudah mengalami perubahan yang  derastis baik dari segi struktural, kultural maupun likungan desa kalau dibandingkan dengan kondisi Sriharjo pada pertengahan abad 20 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penelitian Masri Singarimbun (1984). Berubahan kondisi masyarakat Sriharjo tidak terlepas dengan pembangunan infrastruktur jalan, di mana dulunya masih murni dari tanah dan rimbun kini telah berubah menjadi aspal (makadam), yang dimulai pembangunananya sekitar tahun 1985-an. Selain itu juga dibarengi dengan masuknya energi listrik pada tahun 1980-an yang dapat membantu masyarakat setempat dalam memfasilitasi kebutuhan hidup mereka.[2]
Kemajuan infrastruktur jalan memudahkan masyarakat Sriharjo yang nota bene tinggal di pedesaan Jawa pedalaman untuk dapat pergi ke kota mencari kebutuhan hidup mereka. Lebih lanjut, pembangunan jalan melalui proyek aspal jalan tidak hanya diperuntukkan jalan pusat desa saja tapi juga jalan-jalan yang ada dipelosok-pelosok desa Sriharjo, hampir seluruh jalan yang ada dilingkungan pedukuhan Sriharjo saat ini telah teraspal dengan makadam. Dengan adanya jalan-jalan yang ada dipelosok desa yang telah teraspal ini pun juga mempermudah masyarakat untuk melakukan aktifitas (kegiatan desa) dalam musim penghujan, terlebih pada musim kemarau.
Selain kemajuan infrastruktur jalan, kemajuan lain juga didapatkan dari bentuk-bentuk perumahan masyarakatnya. Di mana dulu pada tahun 70-an saat Masri Singarimbun melakukan penelitian kondisi perumahan masyarakat Sriharjo sebagian besar masih terbuat dari bambu, kini kondisi tersebut telah berubah. Penulis mendapatkan sebagian besar kondisi perumahan di Sriharjo sedah tidak dari bambu tapi dari batu bata dan kayu. Ini menandakan kalau kehidupan masyarakat Sriharjo sudah mengalami kemakmuran. Pertanyaannya, apakah itu benar bahwa kondisi perumahan yang bagus sudah menggambarkan tingkat kehidupan yang kecukupan atau mapan? Pertanyaan ini akan dijawab pada bagian berikutnya.
Di sisi lain, penulis mendapatkan bahwa di sekitar jalan pusat desa Sriharjo sekarang sudah dapat ditemui warung-warung yang berarsitek modern, seperti Alfa Mart, Indo Mart dan lain-lain. Selain itu, penulis juga mendapatkan sudah banyak mayarakat yang mengunakan jasa pencucian baju seperti Loundry. Fenomena ini menandakan hampir 70 persen kondisi masyarkat Sriharjo sudah ada dalam kondisi yang mapan. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan sudah ada (untuk tidak mengatakan banyak) masyarakat yang menggunakan alat trasnportasi pribadi berupa mobil dan terutama sepedah motor. Lebih dari itu penulis pun juga mendapatkan beberapa masyarakat sriharjo yang menggunakan Parabola sebagai antena TV mereka. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan sarana pendidikan?
Cukup berbeda jauh dengan masa di mana Masri Singarimbun melakukan penelitian. Kalau pada masa itu sangat sulit ditemukan orang yang berpendidikan tinggi setingkat SMU di Sriharjo, sekarang masyarakatnya terutama anak muda sudah relatif banyak yang mengenyam pendidikan setingkat Universitas atau sarjana. Penulis mendapatkan sudah terdapat beberapa institusi pendidikan yang berdiri di Sriharjo mulai dari tingkat pendidikan anak-anak (TK) sampai tingkat menengah atas (SMU). Selain itu, desa Sriharjo juga memiliki institusi pendidikan untuk anak usia dini yang sudah berhasil menjadi percontohan dan memenangkan lomba juara satu tingkat provinsi.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan telah tumbuh dalam pikiran masyarakat Sriharjo. Masyarakat Sriharjo sudah mulai dapat melihat bahwa pentingnya pendidikan untuk menyongsong masa depan menjadi lebih baik. Ini tentu berbeda dengan main set berpikir masyarakat dulu, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang melihat pendidikan dengan sebelah mata. Perubahan cara pikir atau pandang terhadap pentingnya pendidikan ini tentu tidak lepas dengan kemajuan bidang ekonomi dalam masyarkat Sriharjo. Artinya, sebagian besar masyarakat Sriharjo sudah berada dalam taraf mapan kehidupan ekonomi sehari-harinya. Kondisi yang demikian ini akhirnya menghantarkan Sriharjo menemukan wajah barunya yang lebih cerah dibanding kehidupan di abad 20 yang lalu.
Perubahan kondisi ekonomi menjadi lebih baik ini tidak terlepas dari upaya sebagian masyarakat Sriharjo yang mau merubah main set berpikirnya sebagai petani menjadi pengusaha. Di mana penulis mendapatkan bahwa kebiasaan masyarakat Sriharjo membuat peyek[3] untuk dijadikan lauk makan sehari-hari ini, kemudian dijadikan sebagai bisnis. Artinya, masyarakat Sriharjo membuat peyek secara besar-besaran untuk dijual belikan kepada masyarakat lainnya baik yang tinggal di desa Sriharjo maupun desa-desa lainnya.
Bisnis peyek ini telah digeluti oleh masyarakat Sriharjo sejak tahun 2001 atau lima tahun sebelum adanya bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Hadirnya bisnis peyek ini benar-benar telah merubah sebagian kondisi perekonomian mayarkat Sriharjo. Bisnis peyek ini didirikan oleh masyarakat Sriharjo sendiri. Ada dua jenis pembisnis peyek, yakni pembisnis kecil dan pembisnis besar. Di mana pembisnis kecil ini memproduksi peyek untuk disetor kepada para pembisnis besar yang ada di Sriharjo, dan dari para pembisnis besar inilah peyek didistribusikan hingga keluar daerah. Dari data yang penulis dapatkan hanya terdapat lima industri peyek yang bersekala besar, dari lima industri inilah yang berhasil menyedot kariawan-kariawan yang berasal dari Sriharjo sendiri, tetapi kariawan yang dipekerjakan di sini adalah para ibuk-ibuk. Ini bisa dikatakan bahwa produksi peyek adalah termasuk golongan pekerjaan sampingan para ibuk-ibuk rumah tangga.
Pergeseran sebagian masyarakat Sriharjo yang dulunya menggantungkan hidupnya kepada bidang pertanian dan sekarang beralih kepada usaha peyek menjadikan hidup mereka berubah menjadi lebih baik. Hal ini juga dipermudah dengan adanya pinjaman bank yang masuk ke desa, dan bagi para pengusaha peyek Sriharjo memiliki peluang untuk meminjamnya. Dengan adanya tambahan modal dari bank ini, para pengusaha peyek relatif punya modal untuk menjadikan usahanya menjadi lebih besar. Meskipun dalam perjalanan proses pengembaliannya juga tidak sedikit yang mengalami kemacetan karena jalannya bisnis yang tidak selalu lancar.
Selain adanya bisnis peyek yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat Sriharjo, juga terdapat bantuan dari pemerintah pusat berupa PNPM Mandiri. Dana PNPM ini juga memberikan manfaat tersendiri bagi Sriharjo untuk membantu masyarakat kecil yang ada, meskipun seringkali dana ini digunakan oleh pejabat desa tidak pada fungsinya. Selain dana PNPM juga terdapat bantuan dana lainnya dari berbagai instansi baik pemerintah mapun swasta pasca tragedi gempa bumi yang ikut meluluh lantakkan desa Sriharjo. Sriharjo termasuk daerah yang dekat dengan pusat gempa yang terjadi pada tahun 2006 lalu, di mana telah meluluh lantakkan daerah Yogyakarta. Sriharjo termasuk desa yang tergolong mengalami kerusakan parah akibat gempa tahun 2006 silam.
Dampak yang diakibatkan dengan adanya gempa tersebut telah menelan puluhan korban jiwa meninggal dan kerusakan yang cukup parah bagi rumah-raumah penduduk Sriharjo. Berdasarkan data yang ada mencapai 89 korban jiwa meninggal di Sriharjo akibat gempa, selain itu untuk dukuh Pelemadu hanya tersisa 3 rumah yang tidak roboh tapi retak-retak akibat kena gempa.[4] Dalam waktu sekejap bencana gempa ini telah merubah kehidupan Sriharjo, kerusakan terjadi di mana-mana. Kini masyarakat Sriharjo, khususnya masyarakat tani miskin tidak hanya diajak untuk memikirkan bagaimana mencari makan untuk bertahan hidup tapi juga bagaimana caranya memperbaiki rumah-rumah yang pada hancur ini.
Melihat kondisi masyarakat Sriharjo yang begitu mengenaskan, bantuan untuk menolong datang dari berbagai penjuru baik dari instansi pemerintah langsung maupun dari kalangan NGO. Bantuan ini datang tidak hanya berupa pertolongan fisik semata tapi juga berupa material dan sosial yang datang dari berbagai kalangan untuk mengurangi beban penderitaan masyarakat Sriharjo sebagai korban akibat gempa.
 Pemerintah turun dengan memberikan bantuan untuk membangun rumah yang berukuran cukup sedang dari beton dengan bentuk uang sebesar 20 samapi 25 juta per keluarga. Dari uang tersebutlah sebagian besar masyarkat sriharjo membangun rumahnya kembali, menjadi perumahan yang berasal dari batu bata hampir sebagian besarnya. Selain itu juga mendapatkan bantuan dari berbagai NGO baik dalam negeri maupun internasional. Tidak heran kalau sekarang kita jumpai mayoritas rumah yang ada di Sriharjo sudah tembok semua, ini berkat bantuan yang datang pasca bencana gempa bumi.
NGO yang datang pasca gempa bumi tidak hanya untuk memberikan bantuan berupa materi, tapi juga memberikan bantuan berupa tenaga pendampingan bagi masyarakat yang membuka usaha baik usaha yang sifatnya kelompok maupun mandiri. Dengan adanya pendampingan dari NGO ini diharapkan dapat mempermudah jalannya para pembisnis kecil desa ini memulai usaha. Pertanyaannya, bagaimana nasib para petani pasca gempa? Tetap saja mereka kembali ke sawah seperti semula untuk menggarap lahan yang mereka punya, maupun lahan yang mereka sewa dari tuan tanah. Para petani di sini, khususnya petani kecil, masih saja sebagai golongan yang serba kekuarangan. Mereka termasuk golongan masyarkat miskin Sriharjo dari jumlah penduduk sekarang yang mencapai kurang lebih 9800 jiwa. Untuk lebih jelas bagaimana kondisi masyarakat tani miskin Sriharjo di masa sekarang (masa yang lebih dikenal dengan zaman Modern) dalam pembahasan berikutnya akan penulis ulas lebih dalam.

Masyarakat Tani Sriharjo Tergilas Kemajuan Modernitas
Modernitas sering kali diidentikkan dengan kemajuan dalam bidang teknologi baik industri maupun komunikasi. Sehingga negara yang memasuki apa yang disebut sebagai “kondisi modernitas” akan berupaya untuk melakukan pembangunan menjadi lebih maju dalam segala bidang. Kemajuan tentu juga bertujuan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara yang mengalami modernisasi. Modernitas dalam bidang teknologi tidak lain adalah membantu manusia dalam mengatasi permasalah-permasalahan dalam mengatur hidupnya. Begitu halnya dengan kemajuan dalam teknologi pertanian diharapkan juga memberikan nilai tambah atau lebih membantu masyarakat tani untuk menjadi lebih maju dalam mengurus pertaniannya, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat tani Sriharjo memanfaatkan kemajuan teknologi pertanian yang dihasilkan dari proses modernitas ini?
Berbeda mungkin dengan masyarakat tani di belahan dunia lainnya, yang dengan hadirnya kemajuan teknologi pertanian dapat menambah produktifitas mereka dalam menghasilkan padi. Masyarakat tani padi Sriharjo masih saja dalam kondisi yang miris kehidupannya. Kemajuan teknologi tidak menjadikan perekonomian mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagai masyarakat tani miskin mereka tidak sanggup untuk mendatangkan alat-alat canggih sebagaimana yang ada di daerah lainnya untuk memanen hasil tanaman maupun membajak sawah yang mereka akan tanami. Karena kepemilikan lahan sawah yang sempit dan berpenghasilan yang relatif sedikit memaksa mereka untuk mencangkuli sawah mereka sendiri sebelum padi ditanam. Selain itu, mereka dalam memanen padi masih saja menggunakan cara-cara tradisional sebagaimana mayarakat tani dulu hidup.
Pada saat penulis survei di lokasi penelitian, penulis masih mendapatkan petani padi yang masih menggunakan cara yang sangat tradisional dalam memanen padi. Di mana mereka dalam melepaskan padi dari tangkainya tidak lagi menggunakan alat seperti Dos atau pengilingan yang dibawa oleh mobil, tapi mereka pukul-pukulkan batang padi yang terbundal itu pada suatu kayu supaya padi itu rontok dari batangnya. Hal ini menurut kita mungkin sangat lucu di era modern ini masih saja ada yang menggunakan cara-cara yang demikian seperti masyarakat primitif, tapi beda dengan sebagian masyarakat tani Sriharjo. Hal demikian adalah termasuk cara yang mudah mereka lakukan dan lagi tidak membutuhkan biaya yang mahal. Data yang penulis dapatkan pun menjelaskan bahwa masyarakat yang melakukan pekerjaan memanen atau memukulkan tangkai padi ke kayu tadi juga bukan merupakan buruh yang sengaja disewa oleh pemilik tanaman padi, akan tetapi mereka adalah sekelompok orang yang berasal dari Sriharjo sendiri yang tidak memiliki pekerjaan, maka dengan cara itu mereka bisa mendapatkan batang padi atau rumput dari batang padi tersebut untuk dijual guna mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tidak heran kalau di beberapa sudut jalan terdapat seongkok rumput yang dijual oleh masyarakat Sriharjo guna mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sebenarnya mereka sadar bahwa mereka sekarang hidup di zaman modern di mana berbagai bentuk alat canggih untuk pertanian sudah tersedia. Tetapi apalah daya bagi mereka, hasil dari panen sawah mereka tidak mencukupi untuk menyewa alat-alat yang canggih tersebut, traktor misalnya atau alat pemanen modern seperti yang biasa digunakan oleh masyarakat tani yang memiliki tanah cukup luas atau masyarakat tani yang tergolong kaya dibelahan pulau Jawa lainnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahawa kondisi masyarakat tani Sriharjo masih mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak adanya pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang untuk makan memaksa mereka untuk tetap mengerjakan lahan sawah yang semakin sempit, meskipun sering kali hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pembibitan sampai pemanenan padi. Bertambahnya jumlah penduduk semakin tahunya menjadikan lahan tanah yang dapat mereka tanami menjadi semakin sempit karena dipenuhi dengan perumahan anak cucu mereka. Kondisi ini lah yang kemudian penulis sebut sebagai kondisi petani miskin Sriharjo yang tergilas oleh kemajuan modernitas. Artinya, dimana kemajuan zaman mengitari kehidupan mereka tapi mereka tetap saja hidup dalam kondisi yang serba ketertinggalan baik dalam mencukupi kebutuhan hidupnya maupun dalam menggunakan alat-alat pertanian masih mengguanakan cara-cara yang tradisional. Kemajuan modernitas menjadi menggilas mereka karena sebagai rakyat tani yang hidup di zaman modern ini, mereka tidak dapat menikmati dan mengimbangi kemajuan tersebut.
Di sisi lain, penulis juga mendapatkan sebagian masyarkat Sriharjo yang sehari-harinya harus mencari kayu untuk dijadikan arang. Kayu ini mereka dapatkan dari tempat yang cukup jauh di pegunungan yang ada di pinggiran Sriharjo. Upaya pembuatan arang untuk dijual ke pasar ini juga merupakan salah satu usaha masyarakat Sriharjo dalam mempertahankan hidup mereka di balik harga segala sesuatu semakin hari semakin mahal, terutama bahan-bahan makan untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun demikian masyarakat tani Sriharjo masih saja dalam kondisi yang mines dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan yang masih menjerat kehidupan masyarakat tani Sriharjo ini menurut penulis menunjukkan kalau negara telah melakukan kesalahan terbesarnya. Negara telah abai terhadap kehidupan mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mencukupi kebutuhan hidup warganya sebagaimana tercantum dalam UUD 45. Selain itu, dengan adanya kemiskinan yang masih dirasakan oleh masyarakat tani sebagai tulang punggung dalam menyediakan bahan makanan bangsa, ini menunjukkan kalau negara masih belum menjalankan tugasnya untuk memenuhi hak ekonomi terhadap setiap warga negara yang ada di dalamnya. Padahal dalan Konvenan tentang hal-hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diamanatkan pada negara untuk menjalankannya, pada bagian III, artikel 11, disebutkan bawa (Baswir, dkk. 2003, h. 51-52):
Negara mengakui kewajiban menjunjung hak fudamental bagi semua untuk bebas dari kelaparan untuk itu negara, secara individual maupun bersama-sama menjalankan program spesifik yang dibutuhkan  yaitu; meningkatkan metode produksi, konservasi dan distribusi pangan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin ilmu pengetahuan dan teknologi melalui deseminasi pengetahuan atas pangan, pertanian dan dengan pengembangan atau reformasi sistem afraria sebagai sarana untuk mencapai pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang paling efisien; mempertimbangkan masalah-masalah atas negara-negara pengimpor pangan dan negara-negara pengekspor pangan untuk bersama-sama menjamin distribusi pangan dunia yang adil
Dari kadungan kutipan konvenan di atas, dapat dipahami bahwa permasalahan pangan adalah merupakan tanggungjawab dari negara untuk memenuhinya. Selain itu, negara juga memiliki tanggungjawab untuk melakukan perbaikan metode produksi yang dibutuhkan oleh petani melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, dan negara harus mengatur permasalahan struktural sepertihalnya mekanisme  dalam distribusi sampai pembenahan sistem agraria secara adil.
Untuk mengurusi permasalahan dalam negeri terkait dengan hak atas pangan dan pendistribusian komoditinya juga telah diatur oleh penguasa melalui tata niaga pangan. Perwakilan penguasaha dalam tata niaga pangan adalah sebuah institusi yang dikenal dengan nama Badan Urusan Logistik (Bolog). Melalui Bulog, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan harga beras dan impor beras, impor kedelai dan lain-lain. Dalam hal ini Bulog berperan dominan dalam stabilitas harga, distribusi dan penimbunan komoditi pangan utama. Pada pelaksanaannya Bulog banyak bekerja sama dengan perusahaan swasta di tingkat nasional mapun di tingkat regional (Dolog) (Baswir, dkk. 2003, h. 61).
Acap kali kebijakan negara dalam melakukan impor beras besar-besaran, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat tani karena beras yang mereka jual menjadi murah karena harus bersaing dengan harga beras bulog yang datang dari luar, dari segi kualitas kadang lebih baik dan lebih murah. Ini yang menjadikan masyarakat tani padi menjadi banyak ruginya dari pada untung. Hal ini karena hasil yang mereka dapatkan sering kali tidak pernah mencapai target, karena biaya produksi lebih mahal dari pada hasil yang didapatkan. Selain itu, harga pupuk yang semakin hari semakin mahal menjadikan rakyat tani kecil semakin tercekik. Hal ini juga diakibatkan oleh kebijakan pangan pemerintah yang lebih memihak terhadap kepentingan pasar atau para pengusaha. Pemerintah tidak lagi begitu peduli dengan nasip petaninya yang hidup dibawah garis kemiskinan hingga tergilas dengan arus modernitas sekalipun.
Perhatian pemerintah terhadap kehidupan ratkyat tani miskin yang tinggal di desa selama ini masih setengah hati atau kurang optimal. Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui berbagai programnya seperti BLT, PNPM Mandiri, dana raskin dan sejenis bantuan sosial lainnya tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat tani miskin desa. Sudah seharusnya pemerintah lebih mengamankan kehidupan petani kita terlebih petani padi sebagai ujung tombak dalam mencukupi pangsa pangan bangsa ini.
Kehidupan masyarakat tani miskin Sriharjo yang hidup dibawah gilasan arus modernitas ini, dalam pandangan penulis juga dialami oleh mayarakat tani lainnya yang tinggal dipenjuru negeri ini. Akibat mahalnya harga pupuk dan benih padi serta kebijakan pangan pemerintah yang lebih memihak ke pasar ini, pada dasarnya juga dirasakan oleh masyarakat tani yang tinggal di daerah lainnya.
Oleh karena itu, dalam mengentaskan kemiskinan yang dihadapi para petani tidak sekedar membuat kebijakan-kebiajakan dan program-program seperti di atas saja, di mana lebih banyak mengandung unsur politisasi yang sifatnya sangat tidak proposional semata dari pada upanya benar-benar mengentaskan kemiskinan (Machfoedz 2010, h. 115). Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap desa sebagai agenda pembangunan nasional. Tidak seharusnya masyarakat desa hanya dijadikan komoditas politik saja, tapi harus dijadikan sebagai tempat berpijak awal dalam melakukan pembangunan negara demi kemajuan sebuah bangsa yang disebut sebagai Indonesia. Dalam artian, pembangunan tidak harus selamanya dilakukan dari atas tapi sudah waktunya dilakukan dari bawah.
Pengalaman berbagai negara dalam menggunakan pendekatan pembanguan dari atas menunjukkan adanya kegagalan dan ketimpangan yang ditimbulkan oleh pembangunan macam itu. Kini pemerintah harus sadar bahwa supaya berhasil suatu negara harus berpusat pada rakyat. Yang dituju adalah pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini mengandaikan adanya partisipasi dan kebebasan dalam keseluruhan proses pembangunan itu (Korten & Syahrir (Ed.) 1988). Ini artinya, dalam mengambil kebijakan pembangunan pemerintah harus tahu apa yang diinginkan rakyatnya dan itu dilihat dari kacamata rakyat bukan kacamata negara.

Epilog
Dari uraian panjang di atas dapat diambil sebuah itisari bahwa kehidupan masyarakat Sriharjo secara umum sudah mengalami perubahan yang lebih maju dari pada sebelumnya, perubahan ini nampak sekali kalau kita bandingakn hasil penelitian Masri Singarimbun yang telah dibukukan tersebut dengan hasil penelitian yang penulis dapatkan ini tentang kondisi Sriharjo. Akan tetapi kehidupan yang dialami oleh masyarakat tani dan buruh tani, khususnya petani padi masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan kalau kita bandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal demikian tidak terlepas oleh kebijakan pemerintah yang selama ini masih berpihak kepada pasar, dan pembangunan pun lebih berorientasi kota dari pada desa.
Hadirnya industri peyek di Sriharjo telah membantu mengurangi beban para petani padi lainnya, karena dengan hadirnya industri ini dapat membantu kehidupan sebagian kecil para petani dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena dengan adanya industri peyek dapat menjadikan istri-itri para petani mendapat pekerjaan sampingan untuk membantu suami mereka, ini karena mayoritas yang bekerja diindustri peyek adalah kalangan wanita. Dengan demikian ada sedikit perbaikan dalam kehidupan petani Sriharjo meskipun masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.[]

Daftar Bacaan
Baswir, Revrisond dkk. 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM, Jakarta.
Korten, D.C. dan Syahrir 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Machfoedz, Mochammad Maksum 2010, Rakyat Tani Miskin Korban Terorisme Pembangunan Nasional, Aditya Media, Yogyakarta.
Singarimbun, Masri dan D.H. Penny 1984, Penduduk dan Kemiskinan Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Bhratara  Karya Aksara, Jakarta.


[1] Data ini penulis dapatkan setelah melakukan dialog bersama teman-teman kuliah lapangan bersama bapak Ngadiran Kades Desa Sriharjo pada tanggal 17 April 2011.
[2] Data diperoleh dari hasil wawan cara dengan sekdes desa Sriharjo bersama teman-teman kuliah lapangan pada hari minggu tanggal 17 April 2011.
[3] Makanan yang dibuat dari tepung yang disertai dengan kacang tanah dan kemudian digoreng.
[4] Data diperoleh dari hasil wawan cara dengan sekdes desa Sriharjo bersama teman-teman kuliah lapangan pada hari minggu tanggal 17 April 2011. Sekdes adalah termasuk warga Pelemadu yang juga terkena dampak gempa dan rumahnya termasuk salah satu dari ke tiga rumah yang tidak roboh akibat gempa bumi tahun 2006 silam.

Sabtu, 23 April 2011

Menakar Implementasi Kebijakan Kesehatan Gratis di Sumatera Selatan

Oleh: Mahsun Muhammad


Secara umum tulisan ini ingin membahas tentang kebijakan Gubernur Sumatera Selatan prihal pelayanan kesehatan gratis. Dimana kebijakan ini adalah perwujudan dari janji Alex Nurdin dan Eddy Yusuf kepada masyarakat Sumsel pada saat kampanyenya dalam pencalonan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Pelayan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat Sumsel adalah satu dari dua janji Gubernur terpilih pada saat kampaye berlangsung, yakni pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis. Akan tetapi, dalam makalah ini penulis hanya akan memfokuskan kajian pada kebijakan pelayanan kesehatan gratis.
Adapun signifikansi dari ditulisnya makalah ini, adalah untuk melihat sejauh mana implementasi kebijakan Gubernur tentang pelayanan kesehatan ini berjalan di lapangannya. Dimana kebijakan pelayanan kesehatan gratis ini selain dipayungi sejumlah UU nasional, menurut Kepala Biro Umum dan Humas Pemprov Sumsel Drs. Agustiar Effendy, M.Si. dan Sekretaris Dinas Kesehatan Sumsel dr. H.A. Razali Namrusa, MBA, M.Epid, program ini juga mendapat dukungan politik dari 11 Bupati dan 4 Wali Kota, walaupun mereka beda basis politik dengan Gubernur.[1] Pertanyaannya kemudian adalah apakah kebijakan Gubernur tentang pelayanan kesehatan gratis yang pada awalnya merupakan bentuk dari realisasi janji politik ini, pada taraf realisasinya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan atau diharapkan, baik oleh pemerintah daerah sendiri maupun oleh masyarakat Sumsel secara umum.
Karena seringnya pembuatan kebijakan tidak pernah menyelesaikan masalah, malah menambah masalah, seperti konflik di aras bawah karena dampak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini terjadi, sebagai mana kita ketahui bersama bahwa sering terjadi maraknya kesalah fahaman policy-makers tentang esensi kebijakan publik sebagai fenomena multi-dimensional, sehingga mengakibatkan mereka gagal dalam memahami kegagalan/ keberhasilan kebijakan. Terlebih terdapat kecenderungan dari para birokrat dalam memahami kebijakan sebagai proses birokratis belaka. Dimana birokrat insensitif terhadap fenomena sosial politik dalam proses kebijakan.[2] Hal inilah yang mengakibatkan tidak berjalannya kebijakan dengan baik atau malah kebijakan tersebut menambah sengsara rakyat, sebagai objek yang dikenai kebijakan tersebut. Pertanyaannya kemudian bagaimana dengan kebijakan Gubernur tentang pelayan kesehatan gratis ini. Hal ini lah yang akan penulis coba bahas dalam makalah ini.
Dengan berangkat dari permasalahan yang dijelaskan secara singkat di atas, dalam penulisan makalah ini saya akan memulai pembahasanya terlebih dahulu dengan melihat bagaimana selama ini Pemprov Sumsel mengambil kebijakan termasuk dalam hal ini, juga akan melihat bagaimana proses pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan gratis ditelorkan. Selaian itu, penulis akan memberikan pemaparan prihal penyebab-penyebab apa dibalik hadirnya kebijakan tersebut. Dan akan dijelaskan pula, bagaimana usaha Pemprov Sumsel dalam mengupayakan terealisasinya kebijakan pelayanan kesehatan gratis dalam rangka membantu mengurangi beban yang dihadapi rakyat Sumsel, khususnya menjaga kesehatan, dengan semakin mahalnya biaya hidup, termasuk biaya berobat ke rumah sakit, di masa pasar global sekarang. Terakhir adalah akan memberikan penilaian atau analisis kritisi terhadap bekerjanya kebijakan tersebut di lapangan, dan memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada.
Kebijakan Publik dan Lahirnya Pelayanan Kesehatan Gratis
Secara umum kebijakan publik menitik beratkan pada studi tentang apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengabil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.[3] Sedangkan Dewey, mengatakan bahwa kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut disusun (constructed) dan didefinisikan, dan bagaimana kesemuanya diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain itu, kebijkan publik juga merupakan studi tentang bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan passif (inaction) pemerintah.[4]
Sementara itu, Anderson sebagaimana dikutip oleh Edi Suharto, memberikan penjelasan tentang kebijakan publik sebagai “ a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern.” Guna memahami lebih mudah tentang kebijakan publik, Young dan Quinn memberikan beberapa penjelasan tentang konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik, sebagaimana yang dikutip oleh Edi Suharto, di antaranya, sebagai berikut: Pertama, tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politisi dan finansian untuk melakukannya. Kedua, sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. Ketiga, seperangkat tindakan yang beroreintasi kepada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. Kelima, sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatau. Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik juga bisa dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahka oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu. Terakhir, sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah.[5]
Setelah memberikan uraian singkat secara teoritis tentang kebijakan publik, pada saatnya kita akan melihat bagaimana proses pembuatan atau hadirnya kebijakan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat Sumsel oleh Pemprov Sumsel. Apakah kebijakan pelayan kesehatan gratis tersebut, meskipun awalnya merupakan realisasi janji calon Gubernur terpilih, dalam proses pengambilannya telah sesuai dengan prosedur yang ada. Dalam artian, proses pengambilan kebijakan ini merupakan bentuk dari sosial politk, konsesus kah atau memang bentuknya yang sangat prosedural Up-Down, dimana pemerintah merasa tahu tentang apa yang diinginkan oleh rakyatnya sehingga tidak memerlukan partisipasi rakyat lagi. Dalam bentuk Up-Down ini biasanya masyarakat hanya dilibatkan pada saat implementasi kebijakan tersebut.
Setelah melakukan pengamatan dan pembacaan dari beberapa literatur guna menggali informasi tentang awal mula munculnya kebijakan pelayan kesehatan gratis ini, penulis mendapatkan bahwa kebijakan ini pada dasarnya lahir dari sebuah janji politik calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yakni Alex Nurdin dan Eddy Yusuf saat kampanye berlangsung sebelumnya. Dimana mereka berdua mendeklarasikan dirinya sebagai pelopor pendidikan dan berobat gratis untuk masyarakat Sumsel. Berawal dari rancangan Program tersebut maka setelah dilantik Gubernur dan Wakil Gubernur Sumsel mengadakan pertemuan dengan seluruh Bupati dan Walikota untuk mencanangkan Pendidikan dan Kesehatan Gratis. Untuk Kesehatan gratis Gubernur bersama Bupati dan Walikota mengadakan kesepakatan (MoU) agar bersama sama mendukung Kesehatan Gratis untuk masyarakat Sumsel. Setelah adanya kesepakatan tersebut maka diterbitkanlah aturan atau pedoman pelaksanan Program Jaminan Sosial  Semesta Tahun 2009 dan Aturan Penyelenggaraan Jamsoskes  Semesta Tahun 2009.[6]
Setelah diadakannya kesepakatan dengan berbagai pihak, termasuk di dalamnya Bupati dan Walikota melaui MoU, maka peluncuran khusus untuk program kesehatan gratis dilakukan langsung oleh Menteri Kesehatan RI serta mendapatkan penjelasan  langsung dari Koordinator Jamsoskes Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.
Dengan masih banyaknya rakyat miski di Sumatera Selatan, dimana jumlah penduduk miskin sampai dengan  Maret 2009 adalah sebesar 1.167.870 orang (16,28% dari total penduduk Sumsel, Maret 2008 sebesar 17,73% ) dengan sebaran 470.030 orang di perkotaan dan  697.850 orang di perdesaaan. Garis kemiskinan kota dan desa di Sumsel adalah sebesar Rp 212.381 per kapita per bulan. Artinya  penduduk yang tidak bisa memenuhi jumlah  tersebut akan tergolong sebagai penduduk miskin. Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari ketidak mampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha dan pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Secara umum, ketika berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan  material dimana seseorang tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup layak.[7] Dalam hal ini ketika seseorang tidak dapat hidup layak, biasanya untuk menjaga kesehatan mereka dan berobat kerumah sakit ketika mereka menderita penyakit, berat rasaya mereka lakukan karena mahalnya biaya berobat di zaman sekarang.
Melihat masih banyaknya rakyat Sumatera Selatan yang tergolong miskin sebagaimana di jelaskan di atas, maka lahirnya kebijakan publik ini menurut Agustiar Effendy Kepala Biro Umum dan Humas Pemprov Sumsel, didasari atas komitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat untuk memberikan keringanan biaya hidup yang semakin mahal, termasuk dalam berobat. Karena itu, resistensi kepentingan politik dalam hal ini diminimalkan dengan terbangunnya komitmen dan koordinasi intensif. Sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan, program kesehatan gratis melalui Jamsoskes  ini selain dipayungi sejumlah UU nasional juga mendapatkan dukungan secara politik. Ini dapat kita lihat dengan adanya kesepakatan atau MoU di atas. Dan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan dasar pelaksanaan Kesehatan gratis di Provinsi Sumatera Selatan saat ini, dan kedepan Pedoman Jamsoskes Semesta tersebut akan dijadikan Perda serta aturan - aturan di dalam tahapan Jamsoskes nantinya akan dijadikan Peraturan Gubernur.[8]
Guna mendukung berjalannya kebijakan kesehatan gratis ini Pemprov Sumsel selain bekerja sama dengan Bupati dan Walikota, dan ditambah melibatkan semua Puskesmas, RS di kabupaten/kota juga menjalin kerja sama dengan RS swasta, bidan praktik termasuk RS tingkat nasional dengan MoU. Bagaimanan dengan Pasien diluar Jamkesmas? Penanggulangan Pasien diluar Jamkesmas sudah berjalan dimana Pemda Sumsel sudah memiliki jejaring di Rumah Sakit yang sama seperti Jamkesmas, dan Dinas Kesehatan Provinsi Berta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga telah memiliki kesepakatan bersama dengan Rumah Sakit selaku penyelenggara kesehatan dan Dinas Kesehatan itu sendiri selaku Badan pembinanya. Pasien yang sifatnya Emergency Rumah Sakit tetap memberikan pertolongan pertama walaupun tidak menunjukan identitas Jamkesmas ataupun Jaminan Kesehatan lainnya setelah berjalan satu hari maka Rumah Sakit memberikan kesempatan kepada keluarga pasien untuk mengurus administrasi sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan di dalam Jamsoskes Semesta.[9]
Untuk semua itu, Pemprov Sumsel mengalokasian anggaran untuk Jamsoskes pada tahun 2009 sebesar 15 % dari APBD Sumsel. Anggaran ini diperuntukan bagi masyarakat Sumsel yang tidak terdata ke dalam Jamkesmas. Alokasi anggaran ini diperuntukan bagi seluruh masyarakat Sumsel tanpa memandang kelas, atau kategori miskin atau tidak. Selain itu, di Palembang dari sekitar 7,2 juta penduduknya, warga yang belum memiliki jaminan kesehatan berupa asuransi sekitar 4 juta orang. Dengan jumlah ini setiap warga diberikan premi bulanan Rp 5.000/bulan. Sehingga dalam setahun Pemprov Sumsel mengalokasikan dana kesehatan gratis mencapai Rp 240 miliar. Dana ini dibebankan pada APBD Provinsi dan dana sharing-nya di APBD Kabupaten atau Kota.[10]
Setelah meberikan uraian panjang tentang bangaimana kebijakan pelayanan kesehatan di Sumsel hadir dan diupayakan realisasinya oleh Pemprov Sumsel, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa program Kesehatan Gratis yang dicanangkan oleh Pemda Sumsel dihasilkan melalui beberapa tahapan yaitu dengan mengadakan pertemuan dengan seluruh Bupati dan Walikota membuat kesepakatan bersama serta membentuk jejaringan dirumah sakit - rumah sakit yang ada di Kabupaten, Kota dan Provinsi Sumsel yang sama persis seperti program Jamkesmas, namun yang bukan Jamkesmas ini diatur sendiri oleh Pemda melalui Pedoman Jamsoskes dan aturan tahapan pada proses Jamsoskes.
Implementasi dan Bekerjanya Pelayanan Kesehatan Gratis di Sumsel
Pada bagian ini penulis ingin memberikan penjelasan bagaimana kebijakan pelayanan kesehatan gratis ini bekerja atau terealisasi di lapangan. Apakah upaya Pemprov Sumsel yang berusaha untuk merealisasikan janji kampayenya - dibalik desakan dan bermacam pertanyaan dari masyarakat Sumsel akan realisasi janji tersebut – dengan merangkul seluruh Bupati atau Walikota dan Rumah Sakit maupun Puskesmas yang ada di Sumsel untuk bekerjasama dan mendorong terwujudnya kesehatan gratis ini, telah bekerja atau berjalan sesuai rencana dan harapan yang ada. Hal ini dilakukan, karena melihat bahwa kesuksesan sebuah kebijakan tidak hanya diukur atau dilihat dari mulusnya proses prumusan kebijakan tersebut, akan tetapi dilihat dari hasil dan dampak dari hadirnya kebijakan tersebut.
Setelah melalui penelusuran dari beberapa informasi,  dari data yang penulis dapatkan menjelaskan bahwa pertama dalam realisasi kebijakan tersebut masih terdapat tumpang tindih dalam pendataan. Misalnya untuk hasil pendataan Jamkesmas menginformasikan masih sering terjadi kesamaan dengan daerah daerah lain, dimana pendataan tersebut masih banyak yang tidak tepat sasaran, meskipun pada akhirnya hal itu sampai pada Gubernur. Kemudian, guna menindaklanjuti permasalahan inilah ditempuh melalui kebijakan Jaminan Sosial Kesehatan Sumatera Selatan Sosial Semesta 2009 sehingga masyarakat yang tidak terdata di dalam Jamkesmas dapat dimasukan ke dalam Pasien Jamsoskes dan proses rujukan dan tahapan -tahapannya pun sama seperti pasien Jamkesmas, preminya pun juga sama persis dengan  Jamkesmas yaitu Rp.5000.[11]
Selain permasalahan data di atas, meskipun sudah diupayakan Pemprov Sumsel untuk menyelesaikannya, tapi dalam pelaksanaan program berobat gratis di Sumsel juga belum berjalan dengan mulus, karena masih ada kritik dan keluhan yang dilontarkan oleh masyarakat Sumsel baik yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Hal ini dikarenakan kesehatan gratis ini pada realisasinya tidak terjadi secara merata diseluruh tempat berobat seperti Rumah Sakit dan Puskesmas yang ada di Sumsel, atau memang pihak rumah sakit dan puskesmas yang melanggar kebijakan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa ketidak profesionalan dari pemerintah dalam merealisasikan kebijakan pelayanan kesehatan gratis. Dalam realisasi kebijakan tidak seharusnya Gubernur hanya memberikan intruksi dari atas yang bersifat Up-Down, meski telah memberikan anggaran hingga 240 Miliar dalam setahun, tetapi Gubernur harus memberikan pengawasan secara langsung ke lapangan sebagai bentuk evaluasi “siluman” gaya intelejen. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya korupsi dari dana pelayanan kesehatan gratis yang begitu besar.
Kenapa penulis katakan demikian, karena ketika penulis ingin berobat di Puskesmas yang ada di desa Margamulya di mana penulis tinggal, sebagai masyarakat Sumsel yang telah memiliki kartu jaminan kesehatan, penulis masih dikenai biaya periksa dan berobat. Ini mengindikasikan bahwa dalam prakteknya kebijakan tersebut tidak berjalan secara merata. Hal ini tidak hanya terjadi di tempat tinggal penulis saja, bagi masyarakat Sumsel yang ingin berobat Kerumah Sakit pun di sebagian  tempat atau kota masih dikenai biaya rawat yang cukup mahal. Tidak hanya itu, jika terdapat pasien di Rumah Sakit yang memiliki Askes atau Askeskin ingin menebus obat, pihak Rumah Sakit malah melarang pasien tersebut untuk menebut obat di Rumah Sakit dan menyuruhnya untuk menebus obat yang ada di luar. Sedangkan bagi pasien umum, artinya pasien yang tidak menunjukkan kepemilikan kartu Askes atau Askeskin diperbolehkan untuk menebus obat di Rumah Sakit di mana ia dirawat, karena logikanya bagi pasien umum pasti akan membayar sesuai dengan biaya yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit sedangkat bagi orang yang menunjukkan kartu tidak mampu atau miskin tidak demikian. Tentunya tindakan ini tidak sesuai dengan kebijakan Pemprov Sumsel yang memberikan pelayan kesehatan gratis secara adil bagi rakyatnya tanpa melihat kelas sosial yang ada. Dan ini terjadi di Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo yang ada di Kota Baturaja Kab. OKU.[12] Padahal tindakan diskriminasi seperti ini tidak harus terjadi, apabila pihak Pemprov Sumsel mau memberikan pengawasan secara langsung terhadap berjalannya kebijakan tersebut, dengan membentuk tim atau menginstruksikan pemerintahan Kabupaten dan Kota untuk membentuk tim yang bisa terjun langsung ke lapangan guna mengawasi perjalannya kebijakan tersebut.
Diskriminasi lain terjadi ketika dalam proses pelayanan administrasi bagi pasien Rumah Sakit, masih Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo, dimana bagi pasien umum yang ingin membayar diberi pelayanan terlebih dahulu, meskipun sebelumnya sudah ada pasien yang membawa kartu keterangan miskin yang datang lebih awal. Praktik-praktik diskriminasi dan tidak jalannya program pelayanan kesehatan gratis dari Gubernur ini, dalam pandangan penulis tidak hanya terjadi di OKU saja, bisa jadi juga terjadi di beberapa wilayah di Sumsel. Ini mengindikasikan bahwa pelayanan kesehatan gratis di Sumsel baru terealisasi setengah hati dan hanya terjadi di beberapa wilayah atau bebrapa Rumah Sakit saja.
Dari beberapa contoh kecil yang dihadirkan di atas, menggambarkan bagaimana implementasi kebijakan pelayanan kesehatan gratis berjalan di Sumsel. Yang kemudian dalam pembahasan berikutnya, akan mengantarkan penulis untuk memberikan analisis kritis terhadap proses perumusan kebijakan dan implementasinya di lapangan. Kenapa hal-hal di atas terjadi, seperti berbagai diskriminasi dalam pelayanan oleh Rumah Sakit, ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, tidak jalannya proses pelayan yang gratis di Puskesmas dan lain-lain, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Analisis Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Gratis
Setelah memberikan uraian yang cukup panjang di atas, tentang kebijakan pelayanan kesehatan gratis di Sumatera Selatan, maka tiba saatnya dalam bagian ini penulis memberikan analisis terhadap proses policy making dan implementasinya di lapangan. Menurut analisis penulis bahwa kemunculan kebijakan ini dari awal karena  guna mewujudkan janji politik Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, maka hipotesi penulis adalah bahwa kebijakan ini pada dasarnya sangat bersifat populis belaka. Hipotesis ini akan penulis beri justifikasi dengan beberapa bukti dan keterangan yang akan penulis uraikan di bawah ini.
Penulis mendapatkan bahwa kebijakan yang dilahirkan dari janji politik saat pemilu, sering kali dalam proses perumusannya tidak terlebih dahulu melakukan konsensus atau penelitian secara empiris prihal setruktur dan kondisi masyarakat yang ada, di mana masyarakat maupun elmen-elemen pemerintah yang ada di bawah sebagai pelaksana kebijakan tersebut, sering kali dibuat kedodoran. Hal ini dibuktikan dengan ketidak siapan dan sigapan dengan hadirnya kebijakan tersebut di lapangan. Masih banyaknya tindakan-tindakan Rumah Sakit dan Puskesmas yang masih mengindikasikan belum melaksanakan atau mengimplementasikan kebijakan Gubernur ini sebagaimana dijelaskan di atas, sudah dapat menjadi salah satu bukti bahwa ketidak siapan mereka dalam menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur, meskipun Gubernur dan Wagub telah mengajak kerjasama para Bupati atau Walikota dan termasuk pihak Rumah Sakit Suwasta maupun Rumah Sakit Umum Daerah untuk membantu dan mendorong terealisasinya kebijakan pelayanan kesehatan tersebut, dikarenakan tidak adanya penelitian yang mendalam dalam mencari bukti-bukti yang empiris terlebih dahulu sebelum merumuskan kebijakan tersebut. Dalam artian tidak ada penyusunan kebijakan pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip kebijakan berbasis bukti.
Kegagalan dalam implementasi kebijakan, sebagaimana diuraikan di atas, dikarenakan juga oleh seringnya policy makers dalam hal ini Pemprov Sumsel (dalam kebijakan pelayanan kesehatan gratis) seringkali membakukan proses pengambilan kebijakan. Menurut Purwo Santoso pembakuan ini terjadi karena pemerintah selalu ingin manegemennya berjalan dengan lancar. Sehingga pembakuan yang terjadi justru menjadikan pejabat publik terlampau mengandalkan (taken for granted) prosesdur baku, tidak lagi menghayati makna kebijakan publik. Selain itu, Ada kecenderungan para birokrat melihat kebijakan publik dari kacamata birokrat itu sendiri. Di mana para birokrat itu melihat kebijakan sebagai proses yang tertib-teratur, bukan perjuangan yang sarat dengan konflik. Meraka pun juga sering kali hanya mengedepankan formalitas dari pada substansi persoalan. Dimana birokrasi dibayangkan sebagai satu-satunya instrumen untuk mencapai misi kebijakan.[13] Hal-hal ini lah yang dalam pandangan penulis seringkali kebijakan hadir tidak pada subtansi dari penyelesaian masalah, atau malah kehadiran kebijakan menyebabkan timbulnya konflik. Kaitannya dengan kebijakan pelayanan kesehatan gratis ini seharusnya Pemprov Sumsel menghindari pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan yang bersifat membakukan proses pengambilan kebijakan sebagaimana disebutkan di atas.
Kegagalan dan ketidak profesionalan dalam implementasi kebijakan pelayanan gratis ini, memberikan justifikasi yang kuat bahwa realisasi kebijakan pelayan kesehatan gratis ini pada tataran lapangannya masih menghadapi banyak kendala. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa kebijakan ini telah gagal atau belum sesuai dengan harapan yang diinginkan oleh banyak pihak dalam implementasinya. Kegagalan ini selain karena kebijakannya yang bersifat politis, diman dibuktikan dengan policy makers yang tidak melakukan penelitian secara empiris terlebihdahulu, dan hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat Sumsel yang menagih janji Gubernur dan Wagub terpilih saat kampanye berlangsung sebelumnya, juga karena Pemprov Sumsel yang tidak mau menyediakan atau menyiapkan infrastruktur pendukung yang memadai terlebih dahulu sebelum kebijakan tersebut dirumuskan.
Selain itu, Hal ini karena tidak disertai situasi monitoring dan evaluasi yang komprehensif dari Pemprov Sumsel terhadap bekerja dan berjalannya kebijakan pelayanan kesehatan gratis tersebut, melihat biaya yang cukup besar hingga 240 Miliar diglontorkan dari APBD Sumsel oleh Gubernur untuk membiayai pelayanan kesehatan gratais tersebut. Ini yang dapat mengakibaaatkan terjadinya korupsi akan dana tersebut oleh berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi program Gubernur tersebut. Dalam hal ini bisa para birokrat sendiri, pihak Rumah Sakit maupun Puskesmas yang ada di tingkat Desa. Sehingga mengakibatkan pelayanan kesehatan gratis tidak berjalan secara merata.
Epilog
Dari seluruh rangkaian pembahasan yang ada, penulis dapat mengambil kesimpulan pahwa kebijakan pelayanan kesehatan gratis di Sumatera Selatan adalah kebijakan yang benar-benar hanyalah agenda politik semata dari Pemprov Sumsel. Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam proses implementasi, menjadi bukti bahwa Pemprov Sumsel dalam mengeluarkan kebijakan ini hanya sebagai bentuk perwujudan dari tuntutan masyarakat yang menagih janji calon Gubernur dan Wagub terpilih saat kampanye.
Sikap kedodoran atau ketidak siapan sebagian besar dari elemen pemerintah yang ada di tingkat Kabupaten dan Kota, dan termasuk Rumah Sakit dan Puskesmas-Puskesmas yang ada di Pedesaan dalam menyiapkan diri untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis secara penuh kepada masyarakat Sumsel, menandaskan tidak adanya persiapan dengan baik dan profesional dalam hal infrastruktur maupun pembiayaannya sebelum kebijkan itu diimplementasikan. Selain itu, kegagalan dalam proses implementasi kebijakan ini juga diakibatkan oleh Pemprov Sumsel yang terlebih dahulu tidak melakukan penelitian secara impiris untuk menemukan bukti-bukti kesiapan dari seluruh elemen bawah yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan tersebut. Dan di sisi lain seharusnya pemerintah dalam taraf implementasi juga memberikan monitoring atau pengawasan dan evaluasi secara komprehensif di lapangan, agar tidak ada yang menyalah gunakan dana pembiayaan program tersebut, yang pada akhirnya terjadi korupsi dan menghambat kelancaran berjalannya program Gubernur tentang pelayanan kesehatan gratis ini.[]
Daftar Bacaan
Parsons, Wayne, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2008
Robiani, Bernadette, Upaya Mengentaskan Kemiskinan, dalam SUMATERA EKSPRES, Senin, 03 Januari 2011
Santoso, Purwo, Kebijakan Publik Sebagai Proses Politik, Slide pada mata kuliah Governance dan Kebijkan Publik PLOD UGM
Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik:  Panduan Praktis Mengkaji Masalah Kebijakan dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta,2008
Kesehatan dan Sekolah Gratis Mungkinkah Bali Mengikuti Jejak Sumatera”, http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/100719, diakses tanggal 13 jan 2011 jam 20;37.
 “Program Kesehatan Gratis Melalui Jamsoskes Belum Diatur PERDA”, dalam http://Dprd.Jambiprov.Go.Id/?Show=Berita&Id=296&Title=Program%20kesehatan%20gratis%20melalui%20jamsoskes%20belum%20diatur%20perda diakses tanggal 18 Januari 2010 jam 5:24


[1]Kesehatan dan Sekolah Gratis Mungkinkah Bali Mengikuti Jejak Sumatera”, http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/100719, diakses tanggal 13 jan 2011 jam 20;37.
[2] Purwo Santoso, Kebijakan Publik Sebagai Proses Politik, Slide pada mata kuliah Governance dan Kebijkan Publik PLOD UGM.
[3] Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2008, h. xi
[4] Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Kencana, 2008, h. xi-xii
[5] Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik:  Panduan Praktis Mengkaji Masalah Kebijakan dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta,2008, h. 44-45
[6]Program Kesehatan Gratis Melalui Jamsoskes Belum Diatur PERDA”, dalam http://Dprd.Jambiprov.Go.Id/?Show=Berita&Id=296&Title=Program%20kesehatan%20gratis%20melalui%20jamsoskes%20belum%20diatur%20perda diakses tanggal 18 Januari 2010 jam 5:24
[7] Bernadette Robiani, Upaya Mengentaskan Kemiskinan, dalam SUMATERA EKSPRES, Senin, 03 Januari 2011.
[8]Kesehatan dan Sekolah Gratis Mungkinkah Bali Mengikuti Jejak Sumatera”, http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/100719, diakses tanggal 13 jan 2011 jam 20;37.
[9] Program Kesehatan Gratis Melalui Jamsoskes Belum Diatur PERDA”, dalam http://Dprd.Jambiprov.Go.Id/?Show=Berita&Id=296&Title=Program%20kesehatan%20gratis%20melalui%20jamsoskes%20belum%20diatur%20perda diakses tanggal 18 Januari 2010 jam 5:24.
[10] Kesehatan dan Sekolah Gratis Mungkinkah Bali Mengikuti Jejak Sumatera”, http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/100719, diakses tanggal 13 jan 2011 jam 20;37.
[11] Program Kesehatan Gratis Melalui Jamsoskes Belum Diatur PERDA”, dalam http://Dprd.Jambiprov.Go.Id/?Show=Berita&Id=296&Title=Program%20kesehatan%20gratis%20melalui%20jamsoskes%20belum%20diatur%20perda diakses tanggal 18 Januari 2010 jam 5:24.
[12] Data ini diperoleh penulis dari wawancara lewat telpon seluler salah satu warga yang tinggal di Desa Margamulya Kec. Sinar Peninjauan Kab. OKU Sumsel yang bernama Bpk. Amin Faqih, di mana ia sebagai orang yang sering mengantarkan istrinya untuk berobat dan memeriksakan kandungan istrinya ke Rumah Sakit yang ada di OKU. Dan hal ini ia lakukan setiap bulan.
[13] Purwo Santoso, Kebijakan Publik Sebagai Proses Politik, Slide pada mata kuliah Governance dan Kebijkan Publik PLOD UGM.