Rabu, 20 April 2011

Cendikiawan Sebagai Manusia Tapal Batas


Buku yang ditulis Daniel Dhakidae (2003) Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru merupakan salah satu karya yang cukup extraordinary, atau mungkin sebuah karya yang cukup berani dan debatable. Sebuah karya yang hadir untuk mengkaji kembali perihal cendikiawan Indonesia, akan tetapi buku yang ditulis oleh Daniel Dhakidae ini berbeda dengan para penulis-penulis kebanyakan yang  lebih banyak mengkaji persoalan cendikiawan atau para filosof dari segi biografi atau sejarah pemikiran (die Ideengeschichte), asal-muasal, dan tokoh utama. Ia berusaha untuk memasuki lapisan-lapisan yang ditinggalkan oleh aliran-aliran pemikiran yang berkembang di dalam sejarah pemikiran intelektual Indonesia. Ia mengkaji prihal relasi cendikiawan dengan kekuasaan, khususnya kekuasaan pada masa Orde Baru. Bagaimana para cendikiawan sebagai komunitas kelas tertentu (dalam istilah Gouldner) memainkan perannya dalam diskursus politik dengan empat modal yang mereka miliki, yakni modal budaya (cultural capital), modal ekonomi (economic capital), modal simbolik (symbolic capital), dan modal sosial (social capital) dalam negara Orde baru yang otoriter.
Tulisan saya kali ini tidak untuk membahas seluruh gagasan Daniel Dhakidae sebagaimana yang dijelaskan di atas secara keseluruhan, akan tetapi hanyalah sebuah kajian yang berupaya untuk mereview kembali dari salah satu bab yang ada dalam bukunya tersebut, yakni bab satu yang berbicara tentang cendikiawan sebagai manusia tapal batas dalam bingkai modal, kekuasaan, dan budaya wacana kritis. Dalam bab satu dari bukunya tersebut, mengulas tetang siapakah yang dimaksud dengan cendikiawan dan kaum cendikiawan itu. Akan tetapi dia tidak menjawabnya dengan memulai kajiannya melalui definisi-definisi, tapi cendikiawan dimaknai sebagai hasil dari pola relasi dengan berbagai simbol dan terlibat aktif dalam sistem diskursif antara modal, kekuasaan, dan berbagai kepentingan sosial lainnya. Salain itu, ia juga mengajak kita utuk memahami bagaimana melihat cendikiawan yang selama ini dipahamai banyak ilmuwan dalam dimensi moral absolutnya, dan lain sebagainya. Singkat kata, bab satu dari bukunya tersebut di atas, adalah merupakan  pembahasan teoritis dan kompleksitas kajian relasi cendikiawan dan kekuasaan di era pemerintahan Orde baru yang akan mengantarkan pada pembahasan bab-bab berikutnya dalam bukunya tersebut. Dan semua pembahasan tersebut di atas, akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya pada tulisan saya ini.
Adapun signifikansi dari review ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana dinamika cendikiawan dan kaum cendikiawan, melalui modal simbolik dan  budaya, mereka bermain ataupun memfungsikan dirinya dalam membangun dan membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, di mana pada saat itu mereka hidup dalam negara Orde Baru yang sangat otoritarian, atau malah sebaliknya mereka, kaum cendikiawan mengikutsertakan untuk terlibat dalam pemerintahan yang otoriter itu dengan masuk dalam sistem yang ada guna mendapatkan modal ekonomi dan kekuasaan atau malah menjadi budak kekuasaan.

A.    Daniel Dhakidae dan  Kompleksitas Nama Cendikiawan
Penting untuk dipahami terlebih dahulu siapa Dhakidae itu, sebelum saya menjelaskan pemikiran-pemikiran pokok dari bab satu dari bukunya yang penulis review di sini. Karena dengan memahami gerak dan kerangka pikir yang ia anut akan memudahkan kita untuk memahami tulisan dia dalam buku yang penulis review ini. Karena bagi saya tulisan Dhakidae termasuk tulisan yang mengandung bahasa yang cukup filosofis dan penuh dengan perumpamaan-perumpamaan, sehingga menjadikan orang lain sedikit susuh memahami tulisannya, mungkin di sini termasuk saya sendiri, terlebih dalam karyanya yang saya review ini.
 Dhakidae adalah seorang pemikir yang memiliki sudut pandang atau cara fikir yang agak Foucaultdian, dimana selalu melihat terjadinya realita kehidupan yang memiliki relasi kuasa atau adanya relasi kuasa yang bekerja di dalamnya. Ini dapat kita lihat dari beberapa tulisan-tulisannya yang telah terbit baik dalam bentuk buku, opini disurat kabar, terlebih dalam buku yang penulis review ini.
Pendidikan Daniel Dhakidae pada tingkat setrata satu diawali di UGM Fakultas Sosial dan Politik dengan spesialisasi Ilmu Administrasi Negara dan tamat 1973. Mendapatkan Master of Arts, di bidang Ilmu Politik dan gelar Doktornya diambil di Cornell University, Departement of Goverment, Ithaca, New York dengan mengambil spesialisasi di bidang Comparative Politics, sebagai Maior, dan mengambil Political Thought (Filsafat Politik) dan Southeast Asian Studies sebagai Minor. Ia menulis Disertasi “The State, The Rise of Capital, and The Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry” pada tahun 1991. Sekembalinya dari Cornell University ia bergabung dengan Kompas, dan menjadi kepala Litbang Kompas sejak tahun 1994 hingga sekarang (Dhakidae, 2003).
Latara belakang pendidikannya di atas, terlebih bidang kajian Filsafat Politik pada tingkat Doktoral, yang sangat mempengaruhi tulisan-tulisannya yang bernuansa bau filsafat yang menjadikan tidak mudah dipahami bagi mahasiswa yang tidak serius berusaha untuk memahami tulisan-tulisan Dhakidae, terlebih bagi mahasiswa tingkat bawah pada Setrata satu.
Cendikiawan dan kaum cendikiawan
Istilah cendikiawan dalam pandangan umum adalah individu yang memiliki pendidikan tinggi dan berwawasan luas, tidak heran kalau acap kali orang menyamakan istilah cendikiawan, intelektual dan intelejensia. Dari statemen ini mengandung artian bahwa setiap individu yang menyandang pendidikan tinggi dapat digolongkan sebagai cendikiawan.
Makna cendikiawan sebagaimana disebutkan di atas, tidak berlaku dalam pandangan Dhakidae. Seorang individu yang memiliki pendidikan tinggi dengan dibuktikan oleh kridensial yang ia miliki, meskipun pendidikan tingginya hingga tingkat doktor, belum dapat disebut sebagai cendikiawan. Ketika seseorang lulus dari sebuah universitas tidak menjadikannya langsung sebagai seorang cendikiawan, tapi baru menjadikan dirinya sebagai sebuah alat yang siap untuk bersentuhan atau memiliki pertalian dengan modal dan birokrasi. Dalam hal ini, Dhakidae memberikan contoh dengan mengangkat cerita film Si Doel Anak Sekolahan yang telah lulus kuliah dari Fakultas Tehnik dengan mendapatkan gelar insinyur, dan Jan Roesconi sebagai seorang yang mendapatkan gelar Philosophi of Doctor,Ph.D., dalam Ilmu Kesusastraan dan Filsafat pada Universitas Negeri Itrecht.
Keduanya, baik Si Doel maupun Roesconi, meskipun telah menyandang pendidikan tinggi dan menyabet gelar kesarjanahan bagi Dhakidae tidak menjadikan mereka secara otomatis sebagai cendikiawan. Mereka hanyalah akan menjadi alat yang siap secara langsung untuk bersentuhan dengan modal dan birokrasi dengan legitimasi kridensial atau ijazah yang mereka miliki. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dapat disebut cendikiawan itu? Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini karena tidak adanya batasan yang jelas antara cendikiawan dengan yang bukan cendikiawan, menurut Dhakidae. Ia mengatakan bahwa seseorang mendapatkan sebutan cendikiawan bukan didapatnya dengan proses kesengajaan yang ia bangun dan deklarasikan sendiri, akan tetapi sebutan cendikiawan hanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi, dan bukan untuk penamaan dirinya sendiri.
Seseorang yang mendapatkan sebutan cendikiawan atau intelektual, menurut Dhakidae adalah mereka yang telah membaurkan dirinya kedalam pertarungan simbolik, symbolic struggle, baik secara individu maupun secara kolektif. Oleh sebab itu, menjadi cendikiawan bukan hasil dari propaganda yang terarah atau adanya unsur kesengajaan dari pemaksaan simbolik tersendiri, akan tetapi akibat dari tindakan yang dikenakan para agen tersebut pada struktur objektif dari struktur persepsi dan penghargaan dunia sosial yang keluar dari setruktur tersebut dan cenderung menggambarkan dunia ini sebagai sesuatu yang nyata.
Ini yang menjadikan  Ijazah, misalnya, tidak menjadikan orang yang memilikinya mendapatkan reputasi yang tinggi dan kemudian menjadikan seseorang sebagai cendikiawan, seberapapun kridensial yang diberikannya. Akan tetapi seseorang yang memiliki kridensial yang tinggi, telah menjadikan seseorang tersebut berpeluang untuk menjadi seorang cendikiwan, dengan modal kridensial atau Ijazah yang ia miliki dapat menjadikanya untuk memasuki pertarungan kekuasaan simbolik secara diskursip. Dan menjadikannya bersentuhan dengan ruang-ruang politik, ekonomi, dan kekuasaan itu sendiri, ini karena Ijazah juga memberikan andil yang cukup besar bagi terciptanya cendikiawan. Akhirnya, ketika dunia sosial telah mengakuinya melalui kontruksi sosial yang ada, maka ia akan dengan sendirinya mendapatkan julukan atau pengakuan sebagai cendikiahwan dari orang lain. Sebagaimana dikatakan Dhakidae bahwa cendikiawan itu adalah lebih berupa hasil dari suatu pola hubungan, relational, dan karena itu gejala cendikiawan sifatnya lebih relational, melalui keterlibatan ke dalam sistem diskursif yang ada.
Lebih lanjut, dapat dipahami bahwa mereka yang bisa disebut sebagai cendikiawan senantiasa terlibat di dalam apa yang oleh Dhakidae disebut sebagai speech community, yaitu suatu komunitas yang mempergunakan bahasa sebagai alat, modal, medium, untuk mengolah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Ini mengindikasikan bahwa cendikiawan atau kelompok cendikiawan telah hadir di masyarakat Indonesia bersamaan dengan “ditemukan”nya bahasa atau ketika bahasa “menemukan dirinya”. Dengan begitu, tambah Dhakidae, “menemukan” bahasa dan “menemukan” bangsa bersinggungan dengan garis sehingga bahasa bisa menjadi sinonim dengan bangsa – sesuatu yang tidak kurang mengandung bahaya di dalam dirinya – dan karena kaum cendikiawan adalah pengelolah bahasa paling utama maka seniman bahasa itu sekaligus seniman bangsa dan kebangsaan dan cendikiawan pada saat bersamaan (Dhakidae, 2003: 27-28).
Setelah diuraikan siapa cendikiawan itu, pertanyaan menyusul yang perlu dijawab adalah apa komunitas cendikiawan itu? Dan bagaimana komunitas itu terbentuk? Masyarakat atau komunitas cendikiwan adalah komunitas yang susah untuk dijelaskan atau didefinisikan, bukan berarti komunitas ini tidak ada. Hal itu, dikarenakan cendikiawan satu dengan yang lainnya mengenal hanya sebatas dalam dunia citra dalam bayang-bayang, dalam buku, dalam seminar, kuliah, dalam berita surat kabar, artikel tulisakan, proyek bisnis yang dikerjakan, dan proyek politik administratif yang dirancang. Meskipun terdapat sebuah lembaga yang mengatasnamakan persatuan mereka, seperti ICMI.
Keberadaan komunitas cendikiawan ini, menurut Dhakidae tidak hadir dengan sendirinya atau dibuat-buat, akan tetapi komunitas atau masyarakat yang cenderung diproduksi, produced, dihasilkan, dibangun, construced, dengan kata lain suatu akibat tolak-tarik pergaulan dalam suatu komunitas dengan semua jenis kepentingan.
Ini yang menjadikan para cendikiawan juga masuk dalam suatu medan politik. Di manna citra yang dibangun tentang masyarakat itu bisa menghasilkan tindakan yang sangat dahsyat sifatnya bagi berbagai sektor di dalam suatu masyarakat. Kaum cendikiawan bisa mengukir politik seperti tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

B.     Penghianatan Kaum Cendikiawan dan Dimensi Moral Absolut
Pada bagian ini akan saya jelaskan bagaimana Dhakidae memberikan pembahasan tersendiri tentang konsep cendikiawan yang digagas Julien Benda. Hal itu, ia lakukan karena ingin menunjukkan perbandingan perihal gerak cendikiawan yang ada di Eropa atau bahkan dibelahan dunia lainnya dengan cendikiawan yang ada di Indonesia.
Cendikiawan yang dipahami oleh Benda adalah sekelompok orang yang terdidik, yang tidak seharusnya melibatkan dirinya ke dalam urusan politik, ekonomi dan kekuasaan yang hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan kaum cendikiawan juga seharusnya tidak terbawa arus perkembangan zaman, dalam artian mereka tidak melibatkan dirinya dalam nafsu-nafsu material. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan Dhakidae dari tulisan Benda, yang mengatakan bahwa cendikiawan  adalah “mereka yang pada azasnya tidak mengejar tujuan-tujuan praktis, mereka semua yang mencari kegirangan hidupnya di dalam mengerjakan kesenian atau ilmu pengetahuan atau spekulasi metafisik, pendeknya berusaha untuk memiliki keuntungan non-material” (Dhakidae, 2003: 34).
Pandangan Benda yang demikian di atas, menurut Dhakidae menunjukkan kalau Benda adalah seorang idealis murni yang melihat kehidupan kaum cendikiawan sebagai sesuatu yang bukan saja terpisah dari, akan tetapi harus berdiri sendiri di atas malah di luar, perkembangan ekonomi dan politik, sehingga seorang cendikiawan adalah seorang yang hidup di atas angin dalam kerajaan roh, atau meminjam bahasa Gramsci adalah mereka yang duduk di menara gading. Sivilitas, perkembangan ekonomi, teknologi, modal semata-mata dianggapnya sebagai akibat adanya nafsu yang mendapatkan saluran sambil menekan nilai-nilai kecendikiaan.
Karena indealismenya inilah, tidak heran ketika Benda melihat sekelompok orang dalam kelompok cendikiawan di Eropa telah terlibat aktif dalam dunia politik, ekonomi dan ikut serta dalam perkembangan ekonomi, ia sebut sebagai telah terjadi penghianatan oleh para cendikiawan. Menurut Benda kaum cendikiawan itu telah menghianati fungsinya untuk membela apa yang disebut sebagai nilai-nilai abadi dan yang tidak terikat pada suatu kepentingan tertentu. Beberapa kategori penghianatan intelektual tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, adalah penghianatan atas nama ordo, tata suatu masyarakat. Gerakan yang dibuatnya adalah melawan demokrasi yang disebutnya sebagai ketiadaan tata. Kedua, adalah penghianatan yang disebut atas nama ikut serta dalam suatu perkembangan dunia, terutama perubahan ekonomi. Atas nama perkembangan zaman para cendikiawan itu melibatkan dirinya dan sekaligus juga menghianati dirinya (Dhakidae, 2003: 37).
Dari sini, dapat dilihat bahwa satu-satunya ukuran yang digunakan Benda dalam melihat cendikiawan adalah keabsolutan moral yang seharusnya depegang oleh seorang cendikiawan yang tiga jumlahnya, yakni keadilan, kebenaran dan akal. Ketiga-tiganya tersebut muncul dalam tiga karakter utama: seimbang, melepaskan diri dari kepentingan, dan rasional. Tanpa moral itu semua, sekelompok orang yang menyandang predikat intelektual atau cendikiawan dapat disebut sebagai kelompok penghianat yang tidak hadir dan mewujud sebagaimana mestinya cendikiawan.
Dengan serba keabsolutan cendikiawan dalam bayangan Benda tersebut, menurut Dhakidae apa yang dilakukan oleh Benda pada dasarnya telah membuka suatu tantangan yang dengan sendirinya mengubah paham orang tentang dunia kecendikiaan itu sendiri. Sejarah umat manusia tidak lain dari sejarah penghianatan karena peradaban dibangun dengan kekerasan bahkan secara paradoksial oleh nafsu nilai-nilai kecendikiaan. Nafsu terhadap kebaikan, katanya, bukan ide kebaikan, yang mengubah dunia (Dhakidae, 2003: 38).
Pandangan tentang cendikiawan dan kritik yang dihantamkan Benda terhadap kaum cendikiawan, jika kita hadapkan dengan fenomena dan bahkan realita prihal cendikiawan di Dunia Timur, Asia, termasuk di Indonesia, menurut Dhakidae hampir seluruhnya (untuk tidak mengatakan semua) memiliki kontradiksi yang cukup nyata. Apa yang di Dunia Barat dianggap penghianatan intelektual atau cendikiawan, di sini justru dianggap sebagai keutamaan intelektual. Yang di Barat dianggap sebagai penghianatan nilai-nilai abadi dan ketiadaan kepentingan, di sini adalah hal yang harus dikejar oleh cendikiawan sebagai kepentingan pokok dan menjdai pondasi perjuangan. Ini tidak lepas dari pandangan Dhakidae yang melihat cendikiawan sebagai produk dari pertarungan simbolik secara diskursip dalam realitas sosial, di mana cendikiawan akan selalu berhubungan dengan relasi ekonomi, politik, dan kekuasaan melalui salah satu modal kridensial yang ia miliki.


C.    Cendikiawan sebagai Manusia Tapal Batas: Antara Modal dan Kekuasaan
Dengan mengadopsi pemikiran Alvin Gouldner yang melihat cendikiawan sebagai sekelompok komunitas yang mengelolah, mengorganisir dan menerapkan pengetahun dalam perjalanan sejarahnya, dan sistem pengetahuan tersebut telah membentuk sejarah kehidupan, menjadikan cendikiawan sebagai sekelompok komunitas yang menempatkan diri mereka ke dalam kelas tersendiri atau dapat dikatakan menduduki kelas atas dalam lapisan masyarakat. Ini yang menjadikan Dhakidae melalui pandangan Gouldner melihat bahwa cendikiawan dengan berbagai modal yang ia miliki (modal bahasa, budaya, dan ekonomi) menjadikannya dapat masuk dalam seluruh lapisan masyarakat, termasuk ke dalam arena kekuasaan atau bahkan menjadi budak kekuasaan.
Pandangan tentang cendikiawan di atas, tentu sangat bertolak belakang dengan konsepsi absolutis Benda-isme sebagaimana tergambar dalam pembahasan sebelumnya. Di sini cendikiawan memiliki cakupan yang cukup luas atau menempati kedudukan yang universal dengan merelativisasikan konsep cendikiawan. Dimana  kekuasaan akan selalu ada dalam kehidupan cendikiawan. Sehingga menempatkan cendikiawan pada kelas baru pada setruktur sosial. Hal ini tidak terlepas dari bebrapa hal berikut.
Pertama, pengetahuan dan sistem pengetahuan, yang diciptakan oleh cendikiawan, adalah kekuatan yang telah dikonstruksi dan dibentuk secara historis, yang karenanya menjadikan di dalamnya mengandung sekaligus batas-batas dan patologi. Kedua, adalah akibat sosial, social outcomes, dari pengetahuan itu. Ketiga, pengetahuan itu menjadi idiologi dalam suatu kelas tertentu dalam masyarakat. Keempat, pengetahuan dan sistem pengetahuan itu adalah demi kepentingan rekonstruksi sosial menuju suatu human social reconstuction. Dengan menggunakan framework ini kaum cendikiawan akan menjadi sekelompok dan bentuk komunitas yang berbeda dari yang lainnya dan tidak dapat dimaknai semata-mata hanya dengan melihat moralitas yang dipegangnya, sebagaimana Julien Benda, akan tetapi suatu sosok yang luas, universal, yang terbuka dalam berbagai jenis dan bentuknya. Di sini termasuk para teknokrat yang berhati mulia, yang melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya dalam perjalan historis (Dhakidae, 2003: 43).
Dari sini, menurut Dhakidae akan kita dapatkan kesulitan yang cukup mendasar ketika kita diajak untuk merumuskan kelas tersebut, dengan berbagai kepentingan yang berbeda-beda di dalamnya. yang lainnya adalah organisasi dan kesadaran khusus dalam hubungan kelas susah atau hampir-hampir tidak dapat dirumuskan. Hal demikian tidak terlepas dari cendikiawan yang dalam pandangan Gouldner dapat, sebagai kelas baru, dilihat sebagai suatu momen baru dalam rentetan panjang sirkulasi sejarah. Kelas baru dari cendikiawan ini dapat berasal dari berbagai jenis, dapat berasal dari kaum proposional lama yang ingin kembali eksis dalam percaturan modal dan kekuasaan. Kelas baru kaum cendikiawan itu dapat berasal dari mereka yang menjadi budak kekuasaan dan selalu ingin mempertahankan posisinya. Kelas baru tersebut juga dapat berasal dari kelompok yang berharta dan ingin menggunakan cendikiawan sebagai alat untuk mengokohkan kekuasaannya tehadap masyarakat disekitarnya.
Konsepsi Gouldner tentang kelas baru cendikiawan di atas, menurut Dhakidae dapat membuka ruang yang lebih luas dengan membuka dan menempatkan modal sebagai penentu yang cukup berarti bagi wacana bergulatan cendikiawan dengan kekuasaan pada masa Orde Baru. Di mana cendikiawan dapat memasuki batas-batas kehidupan masyarakat dan pusaran kekuasaan yang ada melaui modal yang ia miliki. Hal ini akan kita lihat dalam pembahasan berikutnya di bawah ini.

D.    Cendikiawan Indonesia dan Budaya Wacana Kritis
Cendikiawan Indonesia pada kenyataannya telah lama juga bersinggungan dengan arena kekuasaan, hal ini telah dimulai sejak kolonial belanda hadir di negeri ini. Dimana Dhakida dengan mengambil contoh sosok Kartini dan beberapa tokoh lainnya yang menguasai bahasa, pada saat itu bahasa belanda, menghantarkannya untuk berhubungan dan bersinggungan langsung dengan modal dan kekuasaan negara kolonial Belanda. Sehingga dengan modal “simbolik” yang ia miliki, menjadikan kartini dapat melihat bangsa dan rakyatnya dalam cengkraman belanda.
Melalui modal bahasa, budaya dan relasi atas dunia kekuasaan menghantarkan Kartini dan tokoh-tokoh lainnya untuk berpadangan kritis terhadap struktur sosial yang dibentuk oleh kolonial Belanda melalui discursive sysem yang memiliki logikanya sendiri, sehingga menjadikan kartini dan tokoh-tokoh lainnya pada saat itu memiliki pandangan lain atas dunianya. Dari wacana kritis yang di bangun dan dikembangkan para cendikiawan awal inilah mulai dari Kartini hingga Sukarno dan Hatta sehingga melahirkan apa yang namanya negara Indonesia. Ini menunjukkan budaya wacana kritis telah lahir sejak negara Indonesia ini belum lahir.
Meskipun setruktur sosial pada masa kolonial menghambat lahirnya komunitas cendikiawan, akan tetapi dengan lahirnya Boedi Utomo yang memberikan fasilitas pendidikan bagi para putra-putri priyayi Jawa yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh baru yang sudah siap untuk bergelut dalam pertarungan simbolik secara diskursif dengan modal yang mereka miliki, baik modal bahasa, modal pengetahuan seperti kedokteran, hukum dan lainnya, yang hingga akhirnya mengantarkan mereka untuk bergabung dalam modal kapitalisme dan kekuasaan birokrasi negara kolonial.
Cendikiawan pada masa kolonial, karena tidak memiliki modal ekonomi yang kuat, dengan melihat ketidak sesuaian pemerintahan kolonial dengan logika mereka maka mereka hanya dapat melakukan kritik dan serangan melalui ranah budaya, yang menurut mereka pada saat itu cukup efektif untuk dijadikan media kritik. Dan hal ini lah yang justru ditakutkan oleh kolonial Belanda.
Bagaimana dengan cendikiawan pada masa Orde Baru? Cendikiawan pada masa Orde Baru melalui modal simbolik yang mereka miliki, menghantarkan sebagian dari mereka untuk bergabung dan menjadi budak kekuasaan Orde Baru atau ikut serta dalam sistem pemerintahan orde baru dan mengamini seluruh kebijakan yang dibikin Orde Baru. Akan tetapi di sisi lain juga terdapat kelompok cendikiawan yang melakukan kritik dan membongkar kebohongan-kebohongan bahasa yang digunakan pemerintahan Orde Baru untuk menutupi keburukan-keburukannya, seperti bahasa pembangunan. Dan hal ini menjadikan pemerintah yang berkuasa gerang melihat itu dan berusaha untuk membungkamnya. Di sini Dhakidae memberikan contoh seorang Pramoedya Ananta Toer yang melakukan kritikan pedas melalui tulisan-tulisannya terhadap kebohongan-kebohongan pemerintahan Orde Baru.
Hal semua di atas lah, yang menurut Dhakiadae telah dikerjakan lapis demi lapis cendikiawan. Ketika belanda memusatkan pikiran pada akumulasi modal maka perlawanan oleh cendikiawan diberikan melalui akumulasi budaya, bukan berarti karena pengabaian atas modal akan tetapi kekuasaan tidak memungkinkan pengambil alihan modal, terutama melalui kridensial pendidikan. Akumulasi budaya didapatkan kaum cendikiawan melalui ijazah sekolah resmi dan telah dituangkan dalam tulisan-tulisan di surat kabar. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Orde baru, dimana terjadi kompetisi pada medan binarium antara menjadi “inlander” dan “nederlander”. Dalam artian, terdapat sejumlah cendikiawan yang terlibat dalam sistem dan berperan di luar sistem. Yang di dalam sistem mulai dari para birokrat hingga pembesar tentara yang mengabdi dalam kekuasaan orde Baru. Sedangkan yang di luar sistem adalah mereka yang tergabung dalam masyarakat, politisi, aktivis dan para lembaga-lembaga non pemerintah yang memberikan kritik melalui berbagai media yang dapat mereka akses atas tindakan pemerintahan Orde Baru yang menyimpang dari kepentingan masyarakat. Sedangkan kaum profesional, tokoh agama dan lain-lain lagi kira-kira berada di tengah-tengah medan sosial-politik ekonomi yang bersama-sama ditempati oleh para cendikiawan yang suatu saat memungkinkan untuk beralih posisi dari satu arena ke arena yang lain sambil mengontrol dua jenis kapilat, yakni kultural dan simbolik (Dhakidae, 2003: 46-58).
Jadi dalam artian ini, dapat dipahami bahwa kelompok cendikiawan adalah kelompok borjuasi kultural, yang di sisi lain memiliki wewenang untuk menempatkan budaya tersebut dibawah kendalinya untuk melawan kelompok manapun yang melawan terhadap kebudayaannya, dan untuk membuang batasan hukum ataupun moral yang pada saat itu kultural didapatkan atau dibeli dan dibelanya.

E.     Penilaian dan Kesimpulan Akhir
Setelah membedah pemikiran Dhakidae di atas perihal cendikiawan dan kaum cendikiawan, penulis mendapatkan apa yang terjadi di masa kolonial dan pemerintahan Orde Baru tentang peran cendikiawan juga terjadi setelah masa reformasi. Di mana kita ketahui bahwa setelah masa reformasi semakin banyaknya kaum cendikiawan melalui berbagai modal simbolik yang mereka miliki – modal pengetahuan, modal budaya, modal ekonomi – mengantarkan mereka lebih aktif masuk dalam arena perpolitikan, meskipun juga masih banyak yang tidak mau mendekati dunia politik dan lebih banyak pada pengabdian masyarakat melalui lembaga-lembaga non-pemerintah dan memberikan kritik-kritik pedas terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang dirasa keluar jauh dari logika mereka dalam melihat negara. Reformasi yang membawa banyak perubahan dalam dunia ekonomi-politik dan termasuk kebebasan pers, menjadikan kaum cendikiawan lebih leluasa untuk menjadi manusia tapal batas sebagaimana yang digambarkan Dhakidae. Ini yang menjadikan kaum cendikiawan tidak hanya menguasai modal kultural dan simbolik saja, akan tetapi juga mulai menguasai modal ekonomi. Sehingga memberikan langkah yang lebih luas bagi cendikiawan di masa sekarang untuk berganti posisi atau arena satu ke arena yang lainnya.
Peran cendikiawan sebagai manuasia tapal batas dari masa Orde Baru ke Orde Reformasi sebagaimana yang diungkap oleh Dhakidae ini, juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan salah satu intelektual Muslim Indonesia Yudi Latif dalam bukunya “Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20” yang melihat figur-figur inteligensia Muslim sebagai aktor-aktor kunci dalam kepemimpinan politik dan birokrasi nasional (Latif, 2005).
Meskipun Yudi Latif hanya memberikan titik tekan fokus penelititiannya pada inteligensia Muslim, saya memandang hal itu juga terjadi pada kelompok-kelompok inteligensia yang lain, dalam artian baik Muslim maupun non Muslim yang tergabung dalam kelompok cendikiawan Indonesia.
Menarik untuk dicantumkan di sini, kritik yang cukup membangun yang diberikan Yudi latif terhadap kategori cendikiawan yang dibangun oleh Dhakidae. Latif melihat bahwa Dhakidae menempatkan cendikiawan atau intelektual dan inteligensia dalam kategori makna atau konsep yang sama. Menuarut Latif mengkategorikan antara intelektual dan inteligensia dalam makna yang sama adalah merupakan hal yang ambigu. Karena dalam pandangan Latif Inteligensia itu berbeda dengan intelektual. Inteligensia menurutnya telah tampil sejak awal sebagai setrata sosial dan mengindikasikan suatu “respon kolektif” dari identitas kolektif tertentu, sebagai refleksi dari kesamaan kriteria pendidikan, psiko-sosiografis, sistem nialai, habitus, dan ingatan kolektif yang sama. Adapun istilah intelektual, menurut Latif yang pada awalnya merujuak pada “individualitas” dari para pemikir dan mengindikasikan respon individual dari para pemikir terhadap sebuah panggilan “historis” tertentu atau fungsi sosial tertentu (Latif, 2005: 17-28).
Lebih lanjut, menurutnya koloktifitas dari para intelektual dimungkinkan oleh adanya respon bersama atas sebuah “panggilan” historis tertentu, dalam hal ini ia mengambil contoh kolektivitas yang ditunjukkan oleh para intelektual Prancis yang didorong oleh respon bersama terhadap kasus “Dreyfus”, atau oleh sebuah tindakan kolektif untuk menyuarakan tradisi dan kepentingan-kepentingan dari kelas tertentu atau kelompok-kelompok sosial yang lain. Menurut Latif dengan datangnya apa yang disebut sebagai masyarakat pasca-industri, muncul upaya untuk mengonseptualisasikan “pekerja Intelektual” sebagai sebuah entitas kolektif baru, yang disebut “kelas baru” atau kelas berpengetahuan (knowledge class) (Latif, 2005: 28).
Konsep intelektual atau cendikiawan dalam pandangan Yudi latif ini hampir mirim dengan gagasan Antonio Gramsci tentang intelektual organik. Dimana para kaum terdidik atau berpengetahuan tinggi hadir sebagai sebuah komunitas yang mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan, tujuan, dan kemapuan kelas tertentu. Produk artikulasi ini  berlangsung atas nama idiologi (Dhakidae, 2003: 12).
Tentu konsep intelektual atau cendikiawan yang dipahami oleh Latif ini lebih mudah dipahami dan dilihat tentang siapa kelompok cendikiawan ini, daripada konsep yang dibangun Dhakidae tentang cendikiawan yang hadir sebagai produk pertarungan simbolik, modal dan kekuasaan.
Pandangan Daniel Dhakidae tentang cendikiawan dan kaum cendikiawan sebagai mana yang telah diuraikan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya di atas, pada dasarnya tidak lepas dengan kaca mata atau krangka pendekatan yang ia gunakan dalam melihat relasi cendikiawan dan kekuasaan pada masa Orde Baru. Dalam karyanya ini, yang saya review, Dhakidae lebih menggunakan krangka analisis yang dikembangkan oleh Michel Foucault tentang adanya relasa pengetahuan dan kekuasaan. Inilah yang menjadikan Dhakidae perkesimpulan bahwa cendikiawan atau intelektual hadir sebagai hasil dari pertarungannya dengan berbagai simbol secara diskursif, melalui modal pengetahuan, budaya, dan simbolik yang ia miliki dalam percaturan dunia sosial dan mendapatkan pengakuan dunia akan keberadaannya.
Kemudian adalah apa yang baru dari pemikiran Dhakidae? Hal yang baru dari karyanya ini adalah upayanya untuk mengkaji cendikiawan bukan melalui pemikiran-pemikirannya, baik politik, keagamaan, maupun ekonomi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penulis tentang intelektual atau cendikiawan dalam sejarah Indonesia, contoh kecil seperti Diler Noer yang menulis biografi politik Mohammad Hatta. Di sini Dhakidae mencari satu jalan lain dengan memasuki lapisan-lapisan yang ditinggalkan oleh aliran-aliran pemikiran yang berkembang dalam sejarah Indonesia, dimana memperlakukan pemikiran intelektual, asal muasal, dan tokoh-tokoh yang disebut cendikiawan sebagai sistem diskursif. Dalam artian, bagaimana melalui konsep-konsep maupun ide-ide yang digagas oleh para cendikiawan itu, ide nasionalisme misalnya, mereka mengambil bentuk dan bagaimana konsep-konsep tersebut beroperasi pada saat itu, kenapa tidak pada masa yang lain.[]

Daftar Bacaan
Dhakidae, Daniel 2003, Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Latif, Yudi 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar