Rabu, 27 April 2011

KEHIDUPAN RAKYAT TANI DI BALIK MODERNITAS (Melihat Kembali Desa Sriharjo di Pedesaan Jawa Lebih Dekat)

Oleh: Mahsun Muhammad


Realitasnya, tidak sulit untuk menemukan bahwa upaya pembangunan yang dilakukan dengan tujuan pemberdayaan ternyata menyumblim menjadi pemerdayaan. Pendekatan bottom up juga acap kali berhenti mboten up, dan subsidi bagi RTM, Takyat Tani Miskin, mudah merubah wajah menjadi ajang korupsi” (M. Maksum Machfoedz 2010).
Kutipan di atas ingin menjelaskan bagaimana kebijakan-kebijakan pangan pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan yang terjadi di desa, terutama yang dialami oleh masyarakat tani miskin, selama ini hanyalah sebagai ajang politisasi, membangun citra dan ladang korupsi belaka, dari pada sebagai upaya untuk melakukan pembanguan di desa. Pemerintah lebih sering meninak bobokkan masyarakat bawah melalui berbagai program bantuannya demi melanggengkan kekuasaannya.
Tulisan ini ingin membahas tentang kehidupan rakyat tani miskin yang ada di pedesaan Jawa, tepatnya di Desa Sriharjo Bantul, Yogjakarta. Kajian ini dianggap penting, untuk mengetahui sejauh mana kehidupan rakyat tani sebagai tulang punggung atau ujung tombak dalam menyidiakan bahan pangan negara di balik kemegahan pembangunan yang telah berjalan di negeri ini. Seperti yang kita maklumi bersama bahwa secara umum kehidupan rakyat tani kita masih dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, meskipun negara kita telah bebas dari penjajahan kolonial berpuluh-puluh tahun lamanya. Tidak jarang kita temui bahwa rakyat tani kita masih mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Di sisi lain kita mendapatkan kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang hidup dengan berlimpah harta, sampai-sampai kehabisan pikir mau kemana uang mereka dibelanjakan.
Dalam kajian ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada kondisi perekonomian masyarakat tani Sriharjo. Kajian ini akan dilakukan dengan meneropong kembali kajian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1984) terhadap kehidupan masyarakat Sriharjo pada tahun 70-an. Di mana kehidupan masyarakat Sriharjo pada masa itu, menurut kedua penulis sebagian besar masyarakatnya menggantungkan nasip dalam bidang pertanian, khususnya tanaman padi. Sedangkan lahan tanah yang tersedia dalam jumlah kuantitas yang sedikit, hal demikian yang membuat mayoritas masyarakat Sriharjo pada saat itu hidup di bawah garis kemiskinan. Pertanyaannya, apakah kondisi yang demikian masih dialami oleh masyarakat tani Sriharjo di era modernisasi? Di mana sebagian besar kehidupan masyarakat dunia telah mengalami perubahan dan ditandai dengan kemajuan teknologi dan pembangunan dalam segala bidang. Kalaupun ada perubahan, perubahan seperti apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani Sriharjo?
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, kajian ini akan dilakukan. Adapun untuk mendapatkan temuan yang otoritatip dalam kajian ini, maka metode pengumpulan data yang digunakan bagi analisis tulisan ini adalah metode observasi lapangan dengan cara wawancara. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data melalui pembacaan literatur yang relevan dengan kajian ini. Dari hasil wawancara dan pembacaan literatur ini, akan dilakukan analisis secara kritis, sehingga hasilnya akan dapat mendeskripsikan keadaan atau kondisi sebenarnya sesuai dengan fokus kajian yang ditetapkan.
Guna mensistematikkan tulisan, pembagiannya disusun seperti berikut ini. Pertama, penulis akan mengurai kembali secara singkat kehidupan masyarkat Sriharjo pada tahun 70 an sebagaimana yang dijelaskan oleh Masri Singarimbun dan D.H. Penny (1984). Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal kondisi, yang kemudian dapat diperbandikan dengan keadaan masyarakat Sriharjo pada masa sekarang. Kedua, bembahasan akan melihat perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Sriharjo di masa sekarang. Di sini akan dijelaskan bagaimana berubahan yang terjadi baik dalam ranah struktur masyarakatnya, kultur dan lingkungan desa Sriharjo. Ketiga, penulis akan membahas kehidupan masyarakat tani Sriharjo, terutama dalam bidang perekonomian mereka. Keempat, kesimpulan dan penutup, yang akan mengambil inti sari dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini.

Masa Kelam Sriharjo di Abad 20 Akibat Kemiskinan Struktural
Indonesia yang terkenal dengan sebutan negara agraris terutama pasca kemerdekaan dari kolonial, menghantarkan sebagian besar masyarakatnya, termasuk Sriharjo, untuk menggeluti bidang pertanian guna mencukupi kebutuhan hidupnya, terutama bagi masyarakat yang tinggal di pulau Jawa. Sebagian besar dari petani Indonesia yang tinggal di Jawa adalah bertani dalam bidang cocok tanam. Kebutuhan air untuk tanamannya masih mengandalkan air dari tadah hujan, terutama tanaman seperti padi.
Selain itu, di sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk Sriharjo, beras merupakan makanan poko sehari-hari. Tidak seorang pun petani yang menganggap dirinya kecukupan jika tidak dapat mendapatkan tanaman padi yang dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Inilah yang kemudian menjadikan sebagian besar masyarakat Indonesia banyak yang menggantungkan dirinya dalam bidang pertanian.
Desa Sriharjo juga termasuk masyarakatnya yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian, terutama padi. Melalui teknologi tradisional yang mereka memiliki pada dasarnya sudah menghantarkan mereka untuk hidup yang kecukupan dengan mengelola tanah yang mereka miliki. Karena bagi masyarakat tani Sriharjo yang hidup pada masa 70-an sampai akhir abad dua puluh, kehidupan yang dianggap cukup bagi meraka adalah jika dapat mengolah tanah Seluas 0,7 hektar sawah tadah-hujan dan sebidang tanah darat, misalkan 0,3 hektar, di mana mereka dapat menanam kelapa, buah-buahan dan pohon-pohon lainnya, sayuran sekadarya, rempah-rempah dan keperluan rumah tangga lainnya. Melalui satu hektar tanah yang petani miliki, pada umumnya seorang petani sudah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, tanpa tenaga luar pun untuk membantu mengelola tanah yang dia miliki (Singarimbun 1984, h. 3).
Masyarakat Sriharjo sebelum mengenal pengairan modern, pupuk atau bibit unggul dan jalan raya, para petani mengetahui bahwa mereka dapat memperoleh penghasilan dari tanahnya yang cukup untuk menghidupi keluarganya secara sederhana tapi makan cukup, sederhana tapi pakaian cukup dan sederhana tapi ada rumah untuk berteduh (Singarimbun 1984, h. 4-5). Ini artinya selama masih ada tanah yang kosong bagi masyarakat Sriharjo, meraka akan dapat hidup dengan layak sesuai kelayakan yang mereka pahami, di mana mereka dapat memenuhi segala kebutuhan sehari-hari mereka tanpa kesusahan.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka tanah kosong yang dapat ditanami seharusnya juga bertambah. Tetapi logika ini tidak berjalan, karena yang terjadi pertambahan penduduk menjadikan semakin sempit tanah yang ada. Desa Sriharjo termasuk daerah yang memiliki lahan pertanian yang sempit, dan di sisi lain pertambahan penduduk semakin meningkat dari hari-kehari. Hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Singarimbun dan Penny (1984) bahwa dalam jangka waktu 70 tahun, penduduk telah meningkat hampir tiga kali lipat. Akibatnya di Sriharjo luas tanah rata-rata per keluarga telah menciut menjadi kurang dari seperempat hektar dan sekitar dua pertiga penduduk tidak memperoleh pendapatan yang memungkinkan mereka makan nasi sepanjang tahun.
Dari sinilah awal kemiskinan masuk dalam kehidupan masyarakat Sriharjo. Di mana mereka mulai kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka dikarenakan lahan pertanian yang menjadi tumpuhan hidup mereka semakin lama semakin menyempit. Hal ini yang mengakibatkan di Sriharjo pada saat itu ada ditemukan rakyat yang tidak dapat panen pada waktunya, karena mereka telah memanen terlebih dahulu dan memakan sebelum padi itu matang. Ini menandakan bahwa pada saat itu masyarakat Sriharjo, terutama yang berprofesi sebagai petani, berada di bawah garis kemiskinan.
Untuk menyiasati semakin menyempitnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka masyarakat Sriharjo dalam mempertahankan pendapatan mereka sedapat-dapatnya, mereka mulai mengurangi luas tanah yang ditanami padi agar dapat menanam tanaman-tanaman lain, seperti kelapa yang buahnya difungsikan untuk dijadikan gula kelapa. Selain itu, mereka juga turut menggundulkan bukit-bukit di sekitarnya dan akhirnya menimbulkan erosi yang cukup membahayakan kehidupan.
Kemiskinan yang terjadi di Sriharjo pada masa pertengahan dan akhir abad 20 adalah diakibatkan oleh banyak hal. Penulis melihat bahwa kemiskinan yang dialami masyarakat tani Sriharjo selain masalah struktural juga karena masalah mental masyarakatnya pada saat itu. Di mana kebanyakan masyarakatnya memiliki mental yang selalu berpangku pada sektor pertanian saja, tidak pernah mau melihat keluar untuk melakukan inovasi-inovasi lain yang dapat menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Tetapi hal demikian juga perlu kita maklumi, karena pendidikan mereka yang rendah sulit untuk menghantarkan mereka dapat berpikir lebih maju ke depan.
Dari data yang penulis dapatkan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Sriharjo pada saat itu yang memiliki pendidikan setingkat SD dan SMP saja masih jarang, kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan sekolah. Dalam perkembangannya, sekitar tahun 80-an masyarakat yang mengenyam pendidikan setingkat SMU pun juga masih sedikit. Hal ini dikarenakan kebanyakan mereka berpandangan bahwa setelah sekolah tinggi pun nanti yang dicari juga kerja, maka lebih baik langsung kerja saja ketika anak sudah memasuki umur dewasa. Ini tidak terlepas dari mayoritas masyarakat Sriharjo yang berprofesi sebagai petani padi, yang menurut pandangan mereka tidak membutuhkan pengetahuan dari sekolah untuk mengelola sawah guna ditanami padi.[1]
Kemudian permasalahan struktural yang menjadikan masyarakat Sriharjo semakin miskin adalah berbagai kebijakan pembangunan pemerintahan Soeharto yang lebih berorientasi ke pusat kota dari pada ke desa. Pada masa rezim Soeharto dengan alasan untuk mengejar ketertinggalan pasca kemerdekaan, pemerintah lebih banyak menggebu-gebu untuk melakukan pembangunan di pusat-pusat kota, terutama di daerah Jawa. Inilah yang kemudian menjadikan masyarakat yang tinggal dipedesaan menjadi terlupakan. Selain itu, kebijakan-kebijakan pangan yang dibuat oleh pemerintah juga tidak berpihak kepada masyarakat tani, tapi lebih berpihak kepada kepentingan pasar. Faktor struktural inilah menurut penulis yang lebih mendominasi penyebab dari samakin miskinnya masyarakat Sriharjo. Hal ini tidak mukin terjadi kalau saja pemerintahan Soeharto pada saat itu mau memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakt tani yang ada di desa-desa. Memberikan mereka keahlian-keahlian lain yang dapat mereka gunakan untuk mempertahankan kehidupan mereka, dari tanntangan zaman.
Ketergantungan masyarakat Sriharjo terhadap pertanian yang tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan tanah yang luas untuk dapat ditanami, menjadikan masyarakat yang miskin semakin miskin. Kondisi yang demikian, menyebabkan sebagian besar anak muda Sriharjo memilih keluar dari desanya untuk mencari pekerjaan, seperti pergi keluar negeri menjadi TKI di Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan lain-lain.
Kemiskinan masyarakat tani Sriharjo lebih didominasi oleh para petani kecil. Bagi para petani kecil mengalami kesulitan untuk dapat membeli bibit-bibit unggul kelas satu yang dapat mendapatkan hasil yang bagus, selain itu mereka juga tidak mampu membeli pupuk yang bagus untuk tanaman padi mereka, kalau pun dapat membeli hanya sedikit. Ini lah yang kemudian menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan hasil gabah yang banyak dan bagus. Kebanyakan yang dapat menikmati bibit unggul dan pupuk yang berkualitas tinggi hanyalah para petani yang memang memiliki lahan tanah pertanian yang luas. Lebih lanjut, kebanyakan dari para petani kecil yang menanam padi tidak untuk dimakan sendiri tetapi untuk dijual guna mencukupi kebutuhan sehari-hari selain makan nasi. Oleh karena itu, mereka dalam kelompok yang disebut sebagai petani kecil ini tidak sanggup kalau harus makan nasi terus setiap harinya dan mereka harus mencari alternatif makanan lain yang lebih murah untuk dapat dikonsumsi setiap harinya (Singarimbun 1984, h. 45). Berbeda kemudian dengan para petani kecil, para petani yang memiliki lahan lebih luas menanam padi tidak hanya untuk dijual saja tapi juga untuk dikonsumsi sendiri.
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat tani Sriharjo pada masa-masa itu pada dasarnya telah dapat dijadikan gambaran bagaimana kondisi masyarakat tani kecil di pedesaan Jawa. Penulis melihat bahwa kemiskinan ini tidak hanya terjadi di desa Sriharjo saja tetapi juga dialami oleh penduduk lain di belahan Indonesia. Permasalahannya adalah bagi daerah yang sangat jauh dengan perkotaan terlebih di luar pulau Jawa sangat sulit untuk dijangkau untuk diketahui. Kalau pun ada peneliti yang akan terjun di sana pastinya juga akan berpikir-pikir terlebih dahulu. Ini karena disamping membutuhkan biaya yang relatif mahal, juga alat transportasi yang sulit untuk sampai ketujuan. Contoh kecil dari ini adalah daerah pedalaman yang ada di Papua atau Kalimantan pada saat itu.
Dari penjelasan di atas, penulis melihat bahwa kemiskinan  yang dialami oleh masyarakat tani pada dasarnya terjadi tidak hanya dikarenakan oleh mental masyarakatnya  saja, tetapi dikarenakan bentukan dari struktur sosial yang ada pada saat itu. Selain itu, negara juga memiliki peran serta yang besar dalam melanggengkan kemiskinan itu dalam kehidupan masyarakat tani di pedesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan pemerintahan Soeharto dalam soal pangan masih banyak yang lebih membela kepentingan para pengusaha sebagai kroni-kroninya dari pada kehidupan wong cilik. Tidak heran kalau Prof. M. Maksum Machfoedz (2010) menyebut rakyat tani miskin yang ada di Jawa sebagai korban terorisme pembangunan nasional.

Kondisi Desa Sriharjo di Abad 21 Mulai Menemukan Wajahnya
Kehidupan masyarakat Sriharjo di abad ke-21 tepatnya di tahun 2011 saat penulis melakukan penelitian lapangan sudah mengalami perubahan yang  derastis baik dari segi struktural, kultural maupun likungan desa kalau dibandingkan dengan kondisi Sriharjo pada pertengahan abad 20 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penelitian Masri Singarimbun (1984). Berubahan kondisi masyarakat Sriharjo tidak terlepas dengan pembangunan infrastruktur jalan, di mana dulunya masih murni dari tanah dan rimbun kini telah berubah menjadi aspal (makadam), yang dimulai pembangunananya sekitar tahun 1985-an. Selain itu juga dibarengi dengan masuknya energi listrik pada tahun 1980-an yang dapat membantu masyarakat setempat dalam memfasilitasi kebutuhan hidup mereka.[2]
Kemajuan infrastruktur jalan memudahkan masyarakat Sriharjo yang nota bene tinggal di pedesaan Jawa pedalaman untuk dapat pergi ke kota mencari kebutuhan hidup mereka. Lebih lanjut, pembangunan jalan melalui proyek aspal jalan tidak hanya diperuntukkan jalan pusat desa saja tapi juga jalan-jalan yang ada dipelosok-pelosok desa Sriharjo, hampir seluruh jalan yang ada dilingkungan pedukuhan Sriharjo saat ini telah teraspal dengan makadam. Dengan adanya jalan-jalan yang ada dipelosok desa yang telah teraspal ini pun juga mempermudah masyarakat untuk melakukan aktifitas (kegiatan desa) dalam musim penghujan, terlebih pada musim kemarau.
Selain kemajuan infrastruktur jalan, kemajuan lain juga didapatkan dari bentuk-bentuk perumahan masyarakatnya. Di mana dulu pada tahun 70-an saat Masri Singarimbun melakukan penelitian kondisi perumahan masyarakat Sriharjo sebagian besar masih terbuat dari bambu, kini kondisi tersebut telah berubah. Penulis mendapatkan sebagian besar kondisi perumahan di Sriharjo sedah tidak dari bambu tapi dari batu bata dan kayu. Ini menandakan kalau kehidupan masyarakat Sriharjo sudah mengalami kemakmuran. Pertanyaannya, apakah itu benar bahwa kondisi perumahan yang bagus sudah menggambarkan tingkat kehidupan yang kecukupan atau mapan? Pertanyaan ini akan dijawab pada bagian berikutnya.
Di sisi lain, penulis mendapatkan bahwa di sekitar jalan pusat desa Sriharjo sekarang sudah dapat ditemui warung-warung yang berarsitek modern, seperti Alfa Mart, Indo Mart dan lain-lain. Selain itu, penulis juga mendapatkan sudah banyak mayarakat yang mengunakan jasa pencucian baju seperti Loundry. Fenomena ini menandakan hampir 70 persen kondisi masyarkat Sriharjo sudah ada dalam kondisi yang mapan. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan sudah ada (untuk tidak mengatakan banyak) masyarakat yang menggunakan alat trasnportasi pribadi berupa mobil dan terutama sepedah motor. Lebih dari itu penulis pun juga mendapatkan beberapa masyarakat sriharjo yang menggunakan Parabola sebagai antena TV mereka. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan sarana pendidikan?
Cukup berbeda jauh dengan masa di mana Masri Singarimbun melakukan penelitian. Kalau pada masa itu sangat sulit ditemukan orang yang berpendidikan tinggi setingkat SMU di Sriharjo, sekarang masyarakatnya terutama anak muda sudah relatif banyak yang mengenyam pendidikan setingkat Universitas atau sarjana. Penulis mendapatkan sudah terdapat beberapa institusi pendidikan yang berdiri di Sriharjo mulai dari tingkat pendidikan anak-anak (TK) sampai tingkat menengah atas (SMU). Selain itu, desa Sriharjo juga memiliki institusi pendidikan untuk anak usia dini yang sudah berhasil menjadi percontohan dan memenangkan lomba juara satu tingkat provinsi.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan telah tumbuh dalam pikiran masyarakat Sriharjo. Masyarakat Sriharjo sudah mulai dapat melihat bahwa pentingnya pendidikan untuk menyongsong masa depan menjadi lebih baik. Ini tentu berbeda dengan main set berpikir masyarakat dulu, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang melihat pendidikan dengan sebelah mata. Perubahan cara pikir atau pandang terhadap pentingnya pendidikan ini tentu tidak lepas dengan kemajuan bidang ekonomi dalam masyarkat Sriharjo. Artinya, sebagian besar masyarakat Sriharjo sudah berada dalam taraf mapan kehidupan ekonomi sehari-harinya. Kondisi yang demikian ini akhirnya menghantarkan Sriharjo menemukan wajah barunya yang lebih cerah dibanding kehidupan di abad 20 yang lalu.
Perubahan kondisi ekonomi menjadi lebih baik ini tidak terlepas dari upaya sebagian masyarakat Sriharjo yang mau merubah main set berpikirnya sebagai petani menjadi pengusaha. Di mana penulis mendapatkan bahwa kebiasaan masyarakat Sriharjo membuat peyek[3] untuk dijadikan lauk makan sehari-hari ini, kemudian dijadikan sebagai bisnis. Artinya, masyarakat Sriharjo membuat peyek secara besar-besaran untuk dijual belikan kepada masyarakat lainnya baik yang tinggal di desa Sriharjo maupun desa-desa lainnya.
Bisnis peyek ini telah digeluti oleh masyarakat Sriharjo sejak tahun 2001 atau lima tahun sebelum adanya bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Hadirnya bisnis peyek ini benar-benar telah merubah sebagian kondisi perekonomian mayarkat Sriharjo. Bisnis peyek ini didirikan oleh masyarakat Sriharjo sendiri. Ada dua jenis pembisnis peyek, yakni pembisnis kecil dan pembisnis besar. Di mana pembisnis kecil ini memproduksi peyek untuk disetor kepada para pembisnis besar yang ada di Sriharjo, dan dari para pembisnis besar inilah peyek didistribusikan hingga keluar daerah. Dari data yang penulis dapatkan hanya terdapat lima industri peyek yang bersekala besar, dari lima industri inilah yang berhasil menyedot kariawan-kariawan yang berasal dari Sriharjo sendiri, tetapi kariawan yang dipekerjakan di sini adalah para ibuk-ibuk. Ini bisa dikatakan bahwa produksi peyek adalah termasuk golongan pekerjaan sampingan para ibuk-ibuk rumah tangga.
Pergeseran sebagian masyarakat Sriharjo yang dulunya menggantungkan hidupnya kepada bidang pertanian dan sekarang beralih kepada usaha peyek menjadikan hidup mereka berubah menjadi lebih baik. Hal ini juga dipermudah dengan adanya pinjaman bank yang masuk ke desa, dan bagi para pengusaha peyek Sriharjo memiliki peluang untuk meminjamnya. Dengan adanya tambahan modal dari bank ini, para pengusaha peyek relatif punya modal untuk menjadikan usahanya menjadi lebih besar. Meskipun dalam perjalanan proses pengembaliannya juga tidak sedikit yang mengalami kemacetan karena jalannya bisnis yang tidak selalu lancar.
Selain adanya bisnis peyek yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat Sriharjo, juga terdapat bantuan dari pemerintah pusat berupa PNPM Mandiri. Dana PNPM ini juga memberikan manfaat tersendiri bagi Sriharjo untuk membantu masyarakat kecil yang ada, meskipun seringkali dana ini digunakan oleh pejabat desa tidak pada fungsinya. Selain dana PNPM juga terdapat bantuan dana lainnya dari berbagai instansi baik pemerintah mapun swasta pasca tragedi gempa bumi yang ikut meluluh lantakkan desa Sriharjo. Sriharjo termasuk daerah yang dekat dengan pusat gempa yang terjadi pada tahun 2006 lalu, di mana telah meluluh lantakkan daerah Yogyakarta. Sriharjo termasuk desa yang tergolong mengalami kerusakan parah akibat gempa tahun 2006 silam.
Dampak yang diakibatkan dengan adanya gempa tersebut telah menelan puluhan korban jiwa meninggal dan kerusakan yang cukup parah bagi rumah-raumah penduduk Sriharjo. Berdasarkan data yang ada mencapai 89 korban jiwa meninggal di Sriharjo akibat gempa, selain itu untuk dukuh Pelemadu hanya tersisa 3 rumah yang tidak roboh tapi retak-retak akibat kena gempa.[4] Dalam waktu sekejap bencana gempa ini telah merubah kehidupan Sriharjo, kerusakan terjadi di mana-mana. Kini masyarakat Sriharjo, khususnya masyarakat tani miskin tidak hanya diajak untuk memikirkan bagaimana mencari makan untuk bertahan hidup tapi juga bagaimana caranya memperbaiki rumah-rumah yang pada hancur ini.
Melihat kondisi masyarakat Sriharjo yang begitu mengenaskan, bantuan untuk menolong datang dari berbagai penjuru baik dari instansi pemerintah langsung maupun dari kalangan NGO. Bantuan ini datang tidak hanya berupa pertolongan fisik semata tapi juga berupa material dan sosial yang datang dari berbagai kalangan untuk mengurangi beban penderitaan masyarakat Sriharjo sebagai korban akibat gempa.
 Pemerintah turun dengan memberikan bantuan untuk membangun rumah yang berukuran cukup sedang dari beton dengan bentuk uang sebesar 20 samapi 25 juta per keluarga. Dari uang tersebutlah sebagian besar masyarkat sriharjo membangun rumahnya kembali, menjadi perumahan yang berasal dari batu bata hampir sebagian besarnya. Selain itu juga mendapatkan bantuan dari berbagai NGO baik dalam negeri maupun internasional. Tidak heran kalau sekarang kita jumpai mayoritas rumah yang ada di Sriharjo sudah tembok semua, ini berkat bantuan yang datang pasca bencana gempa bumi.
NGO yang datang pasca gempa bumi tidak hanya untuk memberikan bantuan berupa materi, tapi juga memberikan bantuan berupa tenaga pendampingan bagi masyarakat yang membuka usaha baik usaha yang sifatnya kelompok maupun mandiri. Dengan adanya pendampingan dari NGO ini diharapkan dapat mempermudah jalannya para pembisnis kecil desa ini memulai usaha. Pertanyaannya, bagaimana nasib para petani pasca gempa? Tetap saja mereka kembali ke sawah seperti semula untuk menggarap lahan yang mereka punya, maupun lahan yang mereka sewa dari tuan tanah. Para petani di sini, khususnya petani kecil, masih saja sebagai golongan yang serba kekuarangan. Mereka termasuk golongan masyarkat miskin Sriharjo dari jumlah penduduk sekarang yang mencapai kurang lebih 9800 jiwa. Untuk lebih jelas bagaimana kondisi masyarakat tani miskin Sriharjo di masa sekarang (masa yang lebih dikenal dengan zaman Modern) dalam pembahasan berikutnya akan penulis ulas lebih dalam.

Masyarakat Tani Sriharjo Tergilas Kemajuan Modernitas
Modernitas sering kali diidentikkan dengan kemajuan dalam bidang teknologi baik industri maupun komunikasi. Sehingga negara yang memasuki apa yang disebut sebagai “kondisi modernitas” akan berupaya untuk melakukan pembangunan menjadi lebih maju dalam segala bidang. Kemajuan tentu juga bertujuan dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara yang mengalami modernisasi. Modernitas dalam bidang teknologi tidak lain adalah membantu manusia dalam mengatasi permasalah-permasalahan dalam mengatur hidupnya. Begitu halnya dengan kemajuan dalam teknologi pertanian diharapkan juga memberikan nilai tambah atau lebih membantu masyarakat tani untuk menjadi lebih maju dalam mengurus pertaniannya, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat tani Sriharjo memanfaatkan kemajuan teknologi pertanian yang dihasilkan dari proses modernitas ini?
Berbeda mungkin dengan masyarakat tani di belahan dunia lainnya, yang dengan hadirnya kemajuan teknologi pertanian dapat menambah produktifitas mereka dalam menghasilkan padi. Masyarakat tani padi Sriharjo masih saja dalam kondisi yang miris kehidupannya. Kemajuan teknologi tidak menjadikan perekonomian mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sebagai masyarakat tani miskin mereka tidak sanggup untuk mendatangkan alat-alat canggih sebagaimana yang ada di daerah lainnya untuk memanen hasil tanaman maupun membajak sawah yang mereka akan tanami. Karena kepemilikan lahan sawah yang sempit dan berpenghasilan yang relatif sedikit memaksa mereka untuk mencangkuli sawah mereka sendiri sebelum padi ditanam. Selain itu, mereka dalam memanen padi masih saja menggunakan cara-cara tradisional sebagaimana mayarakat tani dulu hidup.
Pada saat penulis survei di lokasi penelitian, penulis masih mendapatkan petani padi yang masih menggunakan cara yang sangat tradisional dalam memanen padi. Di mana mereka dalam melepaskan padi dari tangkainya tidak lagi menggunakan alat seperti Dos atau pengilingan yang dibawa oleh mobil, tapi mereka pukul-pukulkan batang padi yang terbundal itu pada suatu kayu supaya padi itu rontok dari batangnya. Hal ini menurut kita mungkin sangat lucu di era modern ini masih saja ada yang menggunakan cara-cara yang demikian seperti masyarakat primitif, tapi beda dengan sebagian masyarakat tani Sriharjo. Hal demikian adalah termasuk cara yang mudah mereka lakukan dan lagi tidak membutuhkan biaya yang mahal. Data yang penulis dapatkan pun menjelaskan bahwa masyarakat yang melakukan pekerjaan memanen atau memukulkan tangkai padi ke kayu tadi juga bukan merupakan buruh yang sengaja disewa oleh pemilik tanaman padi, akan tetapi mereka adalah sekelompok orang yang berasal dari Sriharjo sendiri yang tidak memiliki pekerjaan, maka dengan cara itu mereka bisa mendapatkan batang padi atau rumput dari batang padi tersebut untuk dijual guna mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tidak heran kalau di beberapa sudut jalan terdapat seongkok rumput yang dijual oleh masyarakat Sriharjo guna mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sebenarnya mereka sadar bahwa mereka sekarang hidup di zaman modern di mana berbagai bentuk alat canggih untuk pertanian sudah tersedia. Tetapi apalah daya bagi mereka, hasil dari panen sawah mereka tidak mencukupi untuk menyewa alat-alat yang canggih tersebut, traktor misalnya atau alat pemanen modern seperti yang biasa digunakan oleh masyarakat tani yang memiliki tanah cukup luas atau masyarakat tani yang tergolong kaya dibelahan pulau Jawa lainnya.
Fenomena di atas menunjukkan bahawa kondisi masyarakat tani Sriharjo masih mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidak adanya pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang untuk makan memaksa mereka untuk tetap mengerjakan lahan sawah yang semakin sempit, meskipun sering kali hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pembibitan sampai pemanenan padi. Bertambahnya jumlah penduduk semakin tahunya menjadikan lahan tanah yang dapat mereka tanami menjadi semakin sempit karena dipenuhi dengan perumahan anak cucu mereka. Kondisi ini lah yang kemudian penulis sebut sebagai kondisi petani miskin Sriharjo yang tergilas oleh kemajuan modernitas. Artinya, dimana kemajuan zaman mengitari kehidupan mereka tapi mereka tetap saja hidup dalam kondisi yang serba ketertinggalan baik dalam mencukupi kebutuhan hidupnya maupun dalam menggunakan alat-alat pertanian masih mengguanakan cara-cara yang tradisional. Kemajuan modernitas menjadi menggilas mereka karena sebagai rakyat tani yang hidup di zaman modern ini, mereka tidak dapat menikmati dan mengimbangi kemajuan tersebut.
Di sisi lain, penulis juga mendapatkan sebagian masyarkat Sriharjo yang sehari-harinya harus mencari kayu untuk dijadikan arang. Kayu ini mereka dapatkan dari tempat yang cukup jauh di pegunungan yang ada di pinggiran Sriharjo. Upaya pembuatan arang untuk dijual ke pasar ini juga merupakan salah satu usaha masyarakat Sriharjo dalam mempertahankan hidup mereka di balik harga segala sesuatu semakin hari semakin mahal, terutama bahan-bahan makan untuk kebutuhan sehari-hari. Meskipun demikian masyarakat tani Sriharjo masih saja dalam kondisi yang mines dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan yang masih menjerat kehidupan masyarakat tani Sriharjo ini menurut penulis menunjukkan kalau negara telah melakukan kesalahan terbesarnya. Negara telah abai terhadap kehidupan mereka yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mencukupi kebutuhan hidup warganya sebagaimana tercantum dalam UUD 45. Selain itu, dengan adanya kemiskinan yang masih dirasakan oleh masyarakat tani sebagai tulang punggung dalam menyediakan bahan makanan bangsa, ini menunjukkan kalau negara masih belum menjalankan tugasnya untuk memenuhi hak ekonomi terhadap setiap warga negara yang ada di dalamnya. Padahal dalan Konvenan tentang hal-hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diamanatkan pada negara untuk menjalankannya, pada bagian III, artikel 11, disebutkan bawa (Baswir, dkk. 2003, h. 51-52):
Negara mengakui kewajiban menjunjung hak fudamental bagi semua untuk bebas dari kelaparan untuk itu negara, secara individual maupun bersama-sama menjalankan program spesifik yang dibutuhkan  yaitu; meningkatkan metode produksi, konservasi dan distribusi pangan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin ilmu pengetahuan dan teknologi melalui deseminasi pengetahuan atas pangan, pertanian dan dengan pengembangan atau reformasi sistem afraria sebagai sarana untuk mencapai pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang paling efisien; mempertimbangkan masalah-masalah atas negara-negara pengimpor pangan dan negara-negara pengekspor pangan untuk bersama-sama menjamin distribusi pangan dunia yang adil
Dari kadungan kutipan konvenan di atas, dapat dipahami bahwa permasalahan pangan adalah merupakan tanggungjawab dari negara untuk memenuhinya. Selain itu, negara juga memiliki tanggungjawab untuk melakukan perbaikan metode produksi yang dibutuhkan oleh petani melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, dan negara harus mengatur permasalahan struktural sepertihalnya mekanisme  dalam distribusi sampai pembenahan sistem agraria secara adil.
Untuk mengurusi permasalahan dalam negeri terkait dengan hak atas pangan dan pendistribusian komoditinya juga telah diatur oleh penguasa melalui tata niaga pangan. Perwakilan penguasaha dalam tata niaga pangan adalah sebuah institusi yang dikenal dengan nama Badan Urusan Logistik (Bolog). Melalui Bulog, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan harga beras dan impor beras, impor kedelai dan lain-lain. Dalam hal ini Bulog berperan dominan dalam stabilitas harga, distribusi dan penimbunan komoditi pangan utama. Pada pelaksanaannya Bulog banyak bekerja sama dengan perusahaan swasta di tingkat nasional mapun di tingkat regional (Dolog) (Baswir, dkk. 2003, h. 61).
Acap kali kebijakan negara dalam melakukan impor beras besar-besaran, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat tani karena beras yang mereka jual menjadi murah karena harus bersaing dengan harga beras bulog yang datang dari luar, dari segi kualitas kadang lebih baik dan lebih murah. Ini yang menjadikan masyarakat tani padi menjadi banyak ruginya dari pada untung. Hal ini karena hasil yang mereka dapatkan sering kali tidak pernah mencapai target, karena biaya produksi lebih mahal dari pada hasil yang didapatkan. Selain itu, harga pupuk yang semakin hari semakin mahal menjadikan rakyat tani kecil semakin tercekik. Hal ini juga diakibatkan oleh kebijakan pangan pemerintah yang lebih memihak terhadap kepentingan pasar atau para pengusaha. Pemerintah tidak lagi begitu peduli dengan nasip petaninya yang hidup dibawah garis kemiskinan hingga tergilas dengan arus modernitas sekalipun.
Perhatian pemerintah terhadap kehidupan ratkyat tani miskin yang tinggal di desa selama ini masih setengah hati atau kurang optimal. Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan melalui berbagai programnya seperti BLT, PNPM Mandiri, dana raskin dan sejenis bantuan sosial lainnya tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh rakyat tani miskin desa. Sudah seharusnya pemerintah lebih mengamankan kehidupan petani kita terlebih petani padi sebagai ujung tombak dalam mencukupi pangsa pangan bangsa ini.
Kehidupan masyarakat tani miskin Sriharjo yang hidup dibawah gilasan arus modernitas ini, dalam pandangan penulis juga dialami oleh mayarakat tani lainnya yang tinggal dipenjuru negeri ini. Akibat mahalnya harga pupuk dan benih padi serta kebijakan pangan pemerintah yang lebih memihak ke pasar ini, pada dasarnya juga dirasakan oleh masyarakat tani yang tinggal di daerah lainnya.
Oleh karena itu, dalam mengentaskan kemiskinan yang dihadapi para petani tidak sekedar membuat kebijakan-kebiajakan dan program-program seperti di atas saja, di mana lebih banyak mengandung unsur politisasi yang sifatnya sangat tidak proposional semata dari pada upanya benar-benar mengentaskan kemiskinan (Machfoedz 2010, h. 115). Sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian yang lebih terhadap desa sebagai agenda pembangunan nasional. Tidak seharusnya masyarakat desa hanya dijadikan komoditas politik saja, tapi harus dijadikan sebagai tempat berpijak awal dalam melakukan pembangunan negara demi kemajuan sebuah bangsa yang disebut sebagai Indonesia. Dalam artian, pembangunan tidak harus selamanya dilakukan dari atas tapi sudah waktunya dilakukan dari bawah.
Pengalaman berbagai negara dalam menggunakan pendekatan pembanguan dari atas menunjukkan adanya kegagalan dan ketimpangan yang ditimbulkan oleh pembangunan macam itu. Kini pemerintah harus sadar bahwa supaya berhasil suatu negara harus berpusat pada rakyat. Yang dituju adalah pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini mengandaikan adanya partisipasi dan kebebasan dalam keseluruhan proses pembangunan itu (Korten & Syahrir (Ed.) 1988). Ini artinya, dalam mengambil kebijakan pembangunan pemerintah harus tahu apa yang diinginkan rakyatnya dan itu dilihat dari kacamata rakyat bukan kacamata negara.

Epilog
Dari uraian panjang di atas dapat diambil sebuah itisari bahwa kehidupan masyarakat Sriharjo secara umum sudah mengalami perubahan yang lebih maju dari pada sebelumnya, perubahan ini nampak sekali kalau kita bandingakn hasil penelitian Masri Singarimbun yang telah dibukukan tersebut dengan hasil penelitian yang penulis dapatkan ini tentang kondisi Sriharjo. Akan tetapi kehidupan yang dialami oleh masyarakat tani dan buruh tani, khususnya petani padi masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan kalau kita bandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal demikian tidak terlepas oleh kebijakan pemerintah yang selama ini masih berpihak kepada pasar, dan pembangunan pun lebih berorientasi kota dari pada desa.
Hadirnya industri peyek di Sriharjo telah membantu mengurangi beban para petani padi lainnya, karena dengan hadirnya industri ini dapat membantu kehidupan sebagian kecil para petani dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena dengan adanya industri peyek dapat menjadikan istri-itri para petani mendapat pekerjaan sampingan untuk membantu suami mereka, ini karena mayoritas yang bekerja diindustri peyek adalah kalangan wanita. Dengan demikian ada sedikit perbaikan dalam kehidupan petani Sriharjo meskipun masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.[]

Daftar Bacaan
Baswir, Revrisond dkk. 2003, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, ELSAM, Jakarta.
Korten, D.C. dan Syahrir 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Machfoedz, Mochammad Maksum 2010, Rakyat Tani Miskin Korban Terorisme Pembangunan Nasional, Aditya Media, Yogyakarta.
Singarimbun, Masri dan D.H. Penny 1984, Penduduk dan Kemiskinan Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa, Bhratara  Karya Aksara, Jakarta.


[1] Data ini penulis dapatkan setelah melakukan dialog bersama teman-teman kuliah lapangan bersama bapak Ngadiran Kades Desa Sriharjo pada tanggal 17 April 2011.
[2] Data diperoleh dari hasil wawan cara dengan sekdes desa Sriharjo bersama teman-teman kuliah lapangan pada hari minggu tanggal 17 April 2011.
[3] Makanan yang dibuat dari tepung yang disertai dengan kacang tanah dan kemudian digoreng.
[4] Data diperoleh dari hasil wawan cara dengan sekdes desa Sriharjo bersama teman-teman kuliah lapangan pada hari minggu tanggal 17 April 2011. Sekdes adalah termasuk warga Pelemadu yang juga terkena dampak gempa dan rumahnya termasuk salah satu dari ke tiga rumah yang tidak roboh akibat gempa bumi tahun 2006 silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar