Kamis, 21 April 2011

Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi Review atas Karya Koentjaraningrat

Oleh: Mahsun Muhammad


Tulisan ini ingin mengkaji kembali pemikiran Koentjaraningrat tentang kekuasaan dan kepemimpinan dalam berbagai pandangan elit. Secara umum fokus kajiannya hanya akan membahasa bagaimana elit politik, baik tradisional (kuno) maupun elit modern (masa kini) dalam melihat kekuasa dan kepemimpinan dalam sebuah negara, baik negara kecil maupun negara besar (modern) sebagai sebuah arena yang layak untuk diperebutkan oleh setiap individu dalam sebuah negara. Permasalahannya kemudian, apa yang membedakan konsepsi-konsepsi elit tradisional dan medern dalam mempertahankan kekuasaannya? Komponen-komponen penting apa saja yang harus dibangun oleh elit politik tradisional dan modern dalam mempertahankan kekuasaan dan kepemimpinannya? Dalam makalah inilah semua pertanyaan itu akan berusahan untuk dijelaskan.
Adapun signifikansi dari dilakukannya review tulisan Koentjaraningrat ini adalah akan memberikan kita informasi perkembangan konsepsi elit dalam memaknai kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan dari waktu ke waktu, terutama elit politik Indonesia. Karena tulisan Koentjaraningrat ini juga memfokuskan pada usahanya untuk menjelaskan masyarakat Indonesia dalam memandang kekuasaan. Di sisi lain juga untuk memberikan kritik dan sanggahan terhadap penelitian Ben. R.O.G. Anderson dalam mengkaji konsep kekuasaan Jawa. Di mana Ben Anderson melihat bahwa kekuasaan bagi orang jawa adalah merupakan kekuatan energi dan dapat digunakan oleh setiap manusia secara otomatis. Artinya, orang Jawa umumnya menganggap kekuasaan sebagai suatu kekuatan energi yang sakti dan keramat, yang secara konkret ada dalam lingkungan alam manusia, tatapi diluar diri orang yang mempergunakannya. Koentjaraningrat menolak kalau memahami orang Jawa dalam melihat kekuasaan hanya pada tataran itu saja karena apa yang dilihat oleh Anderson, baginya hanyalah merupakan konsepsi simbolis belaka, yang tidak merefleksikan realitas yang sesungguhnya.
Koentjaraningrat dan Pendekatannya dalam Kajian Kekuasaan
Terlebih dahulu sebaiknya kita mengenal Koentjaraningrat dan pendekatannya dalam mengkaji konsep kekuasaan. ini penting untuk dilakukan karena akan membantu kita untuk memahami gagasan-gagasannya tersebut, dan mengetahui alasan-alasan yang mendasari argumennya.
Koentjaraningrat adalah seorang profesor antropologi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pendidikan universitasnya pertama kali di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan gelar yang diraihnya Sarjana Muda Pada Fakultas Sastra. Dan kemudian menyelesaikan sarjana lengkapnya pada Fakultas Sastra bidang Antropologi di Universitas Indonesia. Kemudian Master of Arts pada Yale University New Haven, Amerika Serikat. Dan yang terakhir gelar doktornya dalam bidang Antropologi diperoleh dari Universitas Indonesia. Latar belakangnya sebagai seorang sarjana Antropolog inilah yang kemudian menghantarkanya untuk meneliti permasalahan-permasalahan kepemimpinan dan kekuasaan dengan metode yang biasa digunakan seorang Antropolog.
Hal tersebut di atas, dapat kita ketahui dari metode penelitiannya yang mengguanakan kajian komparatifnya tentang kepemimpinan dan kekuasaan dengan kerangka yang ia kembangkan berdasarkan data etnografi mengenai unsur-unsur kekuasaan dalam berbagai kebudayaan di Afrika, di Asia dan di daerah Lautan Pasifik, dan sebagian dari hasil penelitiannya ada dalam tulisan yang saya review ini.
Kekuasaan dan Kepemimpinan dalam Masyarakat Kecil dan “Masyarakat Sedang”
Dalam sebuah masyarakat yang relatif kecil, di mana kesatuan-kesatuan sosialnya juga kecil, yang hanya terdiri dari sepuluh hingga lima belas orang saja, menurut Koentjaraningrat bahwa mereka tidak memerlukan seorang pimpinan untuk menguasai dan mengatur mereka secara formal. Kekuasaan dan kepemimpinan bagi mereka hanya dibutuhkan pada moment-moment tertentu saja, seperti pada saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama, yang memerlukan seorang kordinator untuk aktivitas tersebut, di luar adanya kegiaatan itu maka mereka tidak memerlukan adanya kekuasaan yang didominasi oleh beberapa orang yang akan mengatur dan mengontrol mereka. Dan ini terjadi kebanykan di dalam masyarakat tradisional yang tinggal di pedalaman dalam suatu daerah.
Untuk menjadi seorang tokoh yang dapat ditunjuk sebagai seorang pemimpin pada saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama dalam masyarakat yang kecil ini, hanya dibutuhkan kemampuan atau ketrampilan untuk menyelesaikan pekerjaan atau aktivitas itu. Ini artinya dalam menyelesaikan masalah-masalah atau mengerjakan aktivitas tertentu lainnya, dapat muncul tokoh yang berbeda untuk menjadi pemimpin dalam mengerjakan aktivitas tersebut. Dan ini menjunjukkan bahwa dalam masyarakat yang masih relatif kecil dapat memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda-beda dalam pekerjaan yang berbeda-beda pula. Hal ini tidak terlepas karena tidak adanya pemimpin formal yang berkuasa dalam seluruh lini kehidupan. Contoh kecil adalah dalam musim berburu misalnya, maka akan muncul seorang tokoh yang paling trampil dan pandai dalam melakukan pekerjaan itu dalam kesatuan-kesatuan sosial yang kecil ini, dan mereka menuntuk untuk menjadikannya sebagai seorang pemimpin pada pekerjaan bersama tersebut. Akan tetapi dalam aktivitas lain seperti dalam upacara-upacara sesembahan, akan dibutuhkan seorang tokoh yang ahli dalam bidang ini untuk mengatur dan memimpin acara tersebut.
Adapun dalam masyarakat yang kesatuan-kesatuan sosialnya sudah lebih besar dan kompleks, maka mereka pun juga membutuhkan adanya seorang pemimpin formal yang tidak hanya ada atau muncul pada saat-saat tertentu saja ketika ada sebuah aktivitas bersama, tetapi mereka membutuhkan seorang pemimpin yang hadir dan dapat memberikan arahan dan pengaturan dalam seluruh lini kehidupan. Dan ini biasanya menurut Koentjaraningrat terjadi pada komunitas-komunitas yang hidup di daerah pegunungan  di Irian Jaya, Papua Nugini dan Malanesia pada umumnya. Kesatuan-kesatuan yang sudah relatif besar ini dalam pandangan Koentjaraningrat disebut sebagai “masyarakat sedang”. Ini menunjukkan bahwa dalam “masyarakat sedang” diperlukan satu bentuk kepemimpinan yang mantap dan tetap, dan untuk memantapkan kepemimpinan itu diperlukan kekuasaan di samping kewibawaan.
Dalam “masyarakat sedang” ini untuk menjadi pemimpin dan mempertahankan kekuasaanya tidak hanya diperlukan kewibawaan dan kepandaian atau ketrapilan dalam bidang tertentu saja sebagaimana dalam masyarakat komunitas sosialnya yang masih kecil, akan tetapi kekuasaan bagi mereka harus dipertahankan melalui berbagai kemampuan dan sifat yang di miliki. Adapun kemampuan-kemampuan itu biasanya adalah kepandaian berkebun, kefasihan berpidato, keterampilan dan keberanian dalam berperang. Suatu kemampuan lain yang sering kali disebut adalah kekayaan harta, yang memang memungkinkan para tokoh pemimpin itu untuk banyak memberi kepada orang lain, dengan memikat mereka dengan berbagai pemberian harta benda.
 Menurut saya apa yang disebut terakhir ini adalah modal atau kemampuan utama yang tidak hanya dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi pemimpin dan penguasa pada “masyarakat sedang’ saja, akan tetapi juga hal utama yang dibutuhkan oleh elit-elit politik untuk menjadi pemimpin dan berkuasa di negara yang modern, selain juga kapasitas dan modal-modal lainnya yang dibutuhkan. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen kekuasaan dalam “masyarakat sedang” adalah seorang pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki apa yang namanya kewibawaan, wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifat-sifat lain yang menjadi syarat bagi seorang pemimpin dalam masyarakat itu.
Kekuasaan dan Kepemimpinan Tradisional dalam Masyarakat Negara Kuno
Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan bagaimana seorang elit politik yang ada dalam masyarakat negara kuno melihat kekuasaan dan kepemimpinan. Koentjaraningrat melihat bahwa sistem kekuasaan dalam negara kuno (tradisional) yang ada di dunia baik di Indonesia, Polenesia, Afrika, dan di Asia lainnya memiliki kesamaan konseptual dalam melihat kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam negara kuno, di mana kesatuan-kesatuan sosial berupa negara, dengan penduduk yang tidak lagi hanya terdiri dari beberapa ratus orang sebagaimana dalam “masyarakat sedang” melainkan beribu-ribu bahkan berpuluh ribu orang, dan dapat memberikan suatu rasa identitas kepada mereka. Dalam negara kuno yang seperti ini wewenang seorang pemimpin tidak lagi hanya dibutuhkan kewibawaan (legitimacy) saja, yang bersumber pada keahliannya, keterampilannya, dan kepandaiannya dalam lapangan-lapangan tertentu. Akan tetapi, kebanyakan elit penguasa negara kuno untuk mempertahankan dan menjaga loyalitas rakyatnya, menjadi sangat penting untuk menggunakan konsep-konsep religi dan cara-cara keagamaan untuk memaksakan keseragaman orientasi pada masyrakat yang ada dalam negara tersebut, yang awalnya memiliki aneka warna kebutuhan, kehendak dan keyakinan.
Hal di atas ini lah, yang menjadikan dalam negara-negara kuno maupun kerajaan, termasuk di Indonesia, seorang raja untuk mempertahankan kekuasaannya dan menjaga loyalitas rakyatnya, mereka seringkali memberikan doktrin kepada rakyatnya bahwa seorang individu yang menjadi raja memiliki garis keturunan pada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya wewenang yang kuat, tapi juga wewenang yang keramat. Selain itu, seorang raja dalam negara-negara kuno seringkali memperkuat sifat-sifat keramatnya dengan jalan mengembangkan keyakinan bahwa ia memiliki cahaya keramat atau wahyu dari dewa atau Tuhan, yang pada akhirnya masih lagi ditambah dengan keyakinan bahwa sang raja itu memiliki kekuatan yang sakti. Hal-hal demikian dapat kita lihat dalam cerita-cerita raja-raja Jawa.
Untuk memperkuat pandangan Koentjaraningrat di atas, di sini layak dicantumkan pendapat Soemarsaid Moertono yang mengatakan bahwa orang Jawa kuno dalam melihat rajanya sebagai satu-satunya medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dan makrokosmos Tuhan terhadap seluruh jagad raya ini. Sistem pelimpahan kekuasaan ini, merupakan suatu konstruksi politik yang sederhana dan yang sangat mudah di dalam penerapannya, karena sistem pertanggung jawaban terletak di satu tangan sehingga dengan demikian memudahkan pengawasan. Hal ini semua dikarenakan kekuasaan raja adalah juga sesuatu kekuatan. Sebagai kekuatan ia bersumber pada alam semesta dan akhirnya pada Tuhan.[1]
Dengan mungutip Marx Weber, Koentjaraningrat menyebut sifat-sifat keramat yang dimiliki oleh elit penguasa dalam negara kuno tersebut dengan “karisma”, suatu komponen yang sangat penting dalam kekuasaan tradisional. Dan dalam negara-negara modern pun, karisma ini juga masih sering dianggap penting bagi seorang pemimpin.
Sifat keramat atau karisma seorang raja dalam negara-negara kono ini, yang akhirnya seringkali menjadikan seorang raja harus mengisolasikan diri dari rakyatnya untuk tidak bertatap muka dan berdialok langsung dengan raja. Bahkan hingga pada sebuh pemikiran yang memang sengaja didoktrinkan kepada rakyat, bahwa seorang rakyat biasa tidak diperkenankan untuk melihat atau menatap wajahnya, karena hal itu adalah merupakan tindakan yang tidak sopan atau malah sangat dilarang. Hal demikian juga terjadi pada negara kuno Jepang, dimana masyarakatnya tidak diijinkan atau dilarang untuk memandang wajah seorang Kaisar Meiji yang berkuasa pada saat itu. Hal ini, tidak terlepas dengan indoktrinasi yang diberikan oleh pihak kerajaan bahwa raja adalah penjelmaan dari dewa.[2]
Untuk Indosesia dan mungkin bagi seluruh elit yang ingin menjadi dan mempertahankan kekuasaannya, Koentjaraningrat mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin tradisional memiliki karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil, baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini pada dasarnya juga diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini.
 Sampai sini dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen kekuasaan dalam negara kuno (tradisional) adalah seorang pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya harus memiliki apa yang namanya kharisma (memiliki wahyu Tuhan atau Dewa), kewibawaan, wewenang, dan kekuasaan dalam arti khusus, serta sifat-sifat lain yang menjadi syarat penting bagi seorang pemimpin dalam masyarakat negara yang seperti itu.
Kekuasaan dan Kepemimpinan dalam Masyarakat Masa Kini
Dalam perkembangan sejarahnya dengan ditandai kemajuan dari segi budaya, tehnologi dan logika berpikir yang lebih maju dan rasional dari masyarakat, menjadikan konsepsi elit dalam memandang kekuasaan di masa kini (era modern) memiliki perbedaan yang cukup mendasar dari konsepsi elit tradisional, terlebih dalam “masyarakat sedang”. Kalau untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya dalam negara tradisional, ia harus mengisolasi diri untuk tidak bertatap muka dan dialog dengan masyarakat walau dengan dalih karena seorang raja adalah keturunan dewa yang suci dan harus menjaga kesucian dan kekeramatannya itu, sedangkan masyarakat adalah manusia yang hina yang dapat mencemari kesuciannya. Maka dalam masyarakat modern, seorang pemimpin dalam membangun kewibawaan terhadap rakyatnya tidak lagi dengan menggunakan cara-cara yang demikian, tapi lebih pada baagaimana membangun citra yang baik dihadapan masyarakat. Ini artinya, mengharuskan seorang pemimpin untuk lebih dekat dengan rakyatnya, karena sumber legitimasi dan wewenang seorang penguasa, terlebih dalam negara yang telah menganut sitem politik demokrasi modern, bukan lagi para dewa dan roh nenek moyang, bukan pula kekuatan sakti yang terhimpun dalam pusaka-pusaka keramat, tetapi sumber kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin ada pada masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat bagi seorang elit politik yang menginginkan kelanggengan kekuasaan yang dipegangnya, mengharuskan dirinya untuk lebih mendapatkan dukungan dari rakyatnya melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga menjadi unsur wewenang yang terpenting dalam memimpin masyarakat dalam sekala besar.
Dari penjelasan Koentjaraningrat di atas, dapat kita pahami sebagai negara yang telah menganut sistem demokrasi. Di mana seorang presiden atau kepala negara memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat dalam kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya sebagai seorang kepala negara, karena keberadaan dirinya sebagai seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga bagi seorang elit politik yang ingin menjadi pemimpin dalam negara demokrasi, mengharuskan dirinya untuk membangun kewibawaannya di hadapan masyarakat melalui penebaran dan pemolesan citra yang baik kepada masyarakat yang akan memilihnya dan menuntutnya terlebih dahulu untuk menjadi populer di hadapan khalayak umum tentang siapa dia. Sebaliknya, popularitas itu akan hadir ketika ia dapat menempatkan dirinya sebagai seorang yang cakap, trampil dan keahlian dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial secara cerdas yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, dan selain itu ia juga harus memiliki sifat-sifat yang baik sebagaimana dikehendaki oleh rakyat.
Meskipun kewibawaan yang dibangun dari popularitas merupakan komponen kekuasaan yang terpenting pagi seorang pemimpin dalam masyarakat modern, akan tetapi Koentjaraningrat menghendaki kalau seorang pemimpin juga memiliki sifat-sifat sepiritual yang dapat mengisi dan membentuk komponen karisma. Gagasan ini bagi saya menunjukkan bahwa Koentjaraningrat masih dipengaruhi gaya berpikir budaya orang Jawa yang melihat hal-hal mistis atau sepiritual adalah merupakan komponen yang penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa komponen penting dalam kekuasaan yang harus diperhatikan oleh seorang elit politik yang ingin menjadi seorang pemimpin.  Pertama adalah kewibawaan, yang melingkupi popularitas, memiliki kapasitas rasional untuk memecahkan masalah sosial ekonomi politik, kecendikiawanan atau intelektual, dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan dari sebagian besar warga masyarakat. Kedua, adalah wewenang, dimana seorang pemimpin memiliki legitimasi melalui prosedur-prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dan negara. Ketiga,adalah memiliki kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Terakhir adalah kekuasaan dalam arti khusus, dimana seorang pemimpin mampu mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar sanksi.
Masalah Kekuasaan dan kepemimpinan di Indonesia Masa Kini
Dalam negara Indonesia sekitar tahun 1980 an yang baru mengalami transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri Koentjaraningrat menyadari betul kalau sebagian besar masyarakatnya masih tertancap dalam benak mereka sifat-sifat tradisional. Menurutnya penancapan itu tidak hanya terjadi dalam sekala nasional tapi juga di tingkat profinsi, kabupaten, kecamatan dan pedesaan.
Elit-elit politik dan masyarakat Indonesia secara umum masih memiliki konsepsi kekuasaan yang tradisional. Hal ini terjadi menurut Koentjaraningrat sebagian besar berada pada masyarakat yang ada pada kelas bawah, terutama di pedesaan. Di daerah-daerah Indonesia menurutnya hampir seluruhnya sistem kepemimpinan yang ada di desa-desa masih sangat tradisional. Nampak adanya pergeseran yang relatif banyak dalam memandang kekuasaan dengan kaca mata masa kini atau modern baru terjadi di tingkat kelas-kelas menengah atas yang ada di perkotaan.
Hal inilah menurut saya yang menjadikan dalam pergantian sistem kepemimpinan tradisional menuju sistem kepemimpinan masa kini (modern) tidak dapat berlangsung dengan cepat dan menyeluruh di negeri ini. Karena dominasi kebudayaan Jawa yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam menyeragamkan masyarakat Indonesia dengan dalih kesetabilan negara, padahal tidak lain adalah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Konsepsi elit politik dan masyarakat Indonesia dalam memandang kekuasaan dan kepemimpinan inilah, menurut saya yang membedakan masyarakat Negara Indonesia dengan masyarakat Negara Barat. Sebagaimana yang dikatakan Ben Abderson bahwa masyarakat Indonesia hingga kini masih dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi kekuasan tradisional. Di mana kekuasaan dipandang sebagai suatu kekuatan energi yang sakti dan keramat, yang secara konkrit ada dalam lingkungan alam manusia, tetapi di luar diri orang yang mempergunakannya. Tentu ini berbeda dengan Dunia Barat yang secara ringkasnya melihal konsep kekuasaan adalah sebagai suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial yang terlihat, kekuasaan dianggap berasal dari sumber-sumber yang heterogen, kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri, dan dipandang dari segi moral memiliki arti ganda.[3]
Tidak heran kemudian akalau kita dapatkan sistem kepemimpinan di tingkat menengah, di tingkat provinsi, bahkan di tingkat nasional, di mana sifat-sifat tradisional masih lebih mendominasi dibandingkan sifat-sifat kepemimpinan modern sebagaimana konsepsi Barat. Ini tidak hanya terjadi pada sistem kepemimpinan administrasi negara saja, akan tetapi menurut Koentjaraningrat juga terjadi dalam sektor-sektor kehidupan sosial yang lain, seperti sektor kehidupan perekonomiad, keagamaan dan lain-lain. Akan tetapi sebenarnya sistem kepemimpinan tradisional ini banyak terjadi dalam sistem pimpinan informal.
Adapun perbedaan sistem pimpinan atau elit formal dengan nonformal adalah bahwa yang pertama memiliki keempat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang, karisma dan kekuasaan fisik, sedangkan yang informal hanya memiliki tiga komponen, yaitu kewibawaan, karisma, dan kekuasaan fisik.
Pandangan Koentjaraningrat di atas tentang elit atau pimpinan formal dan non formal, senada dengan gagasan Pareto tentang keberadaan elit formal dan nonformal dalam sebuah masyarakat. Di mana Pareto melihat bahwa  elit yang berkuasa dalam setruktur sosial itu ada dua, yaitu: elit yang sedang memerintah (governing elite) atau elit formal dan elit yang tidak sedang memerintah (non governing elite) elit non formal. Governing elite terdiri dari orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan politis sehingga bisa secara langsung berpengaruh dalam pembuatan kebijakan.[4] Dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan memerintah masyarakat untuk menaati pereturan yang dibuatnya, sedangkan dalam elit informal tidak memiliki wewenang sebagaimana elit atau pimpinan formal.
Selanjutnya, Koentjaraningrat melihat bahwa terdapat sebuah sifat dari masyarakat Indonesia yang secara umum dihinggapi nilai budaya yang tertuju vertikal ke atas. Di mana orang pada umumnya mencontoh dan mengorientasikan diri mereka pada tokoh-tokoh atau elit-elit atas, sehingga menjadikan mereka mengikuti tradisi atau pola-pola kepemimpinan dari pendahulu-pendahulunya sebagai tokoh atau elit besar pada saat itu, dalam melihat dan memahami konsep-konsep kepemimpinan. Ini lah yang menurutnya perlu dirubah menuju sistem kepemimpinan masa kini atau modern.
Kritik dan Pembaharuaan Konsepsi Kekuasaan
Setelah memberikan ulasan yang cukup panjang dari pemikiran Koentjaraningrat tentang pandangan elit dan masyarakat terhadap kekuasaan dan kepemimpinan, saya mendapatkan bahwa studi yang dilakukan oleh-nya ini adalah merupakan pelengkap sekaligus kritik dia terhadap penelitian Benedict Anderson tentang konsep kekuasaan Jawa, di mana Anderson melihat bahwa konsep kekuasaan Jawa selama ini yang telah mendominasi Indonesia. Atau dengan kata lain, kalau ingin melihat gambaran tentang konsep kekuasaan dalam pandangan masyarakat Indonesia dapat dilakukan dengan melihat konsep kekuasaan Jawa.
Untuk melihat bagaimana perbedaan atau pembaharuan penelitian yang dilakukan oleh Koentjaraningrat terhadap gagasan Anderson tentang konsep kekuasaan Jawa, di sini saya akan membahas secara singkat gagasan-gagasan Anderson tentang konsep kekusaan Jawa itu.
Benedict Anderson dalam tulisannya, The Idea of Power in Javanese Culture (1972). Dalam tulisannya tersebut ia mengkaji konsep kekuasaan dalam kebudayaan dengan membandingkan konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa dengan konsep kekuasaan dalam kebudayaan-kebudayaan di Eropa dan Amerika. Di mana Anderson melihat bahwa dalam kebudayaan Jawa, masyarakatnya melihat kekuasaan itu sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat, yang secara konkrit ada dalam lingkungan alam manusia, tetapi di luar diri orang yang mempergunakannya. Oleh karena itu penggunaannya secara otomatis dan tidak memiliki implikasi moral dan tidak memiliki persyaratan kualitas bagi orang yang mempergunakannya. Atau secara singkat dapat disimpulkan bahwa orang Jawa memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai kekuasaan tidak memiliki implikasi-implikasi moral yang inheren.[5] Konsep kekuasaan seperti ini menurut Anderson sangat kontras dengan konsep kekuasaan menurut orang Eroba dan Barat. Dimana dalam masyarakat barat kekuasaan di pandang sebagai suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial yang terlihat, kekuasaan dianggap berasal dari sumber-sumber yang heterogen, kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri, dan dipandang dari segi moral memiliki arti ganda.
Dari pandangan Anderson tentang kekuasaan dalam pandangan masyarakat Jawa di atas, menunjukkan kalau seorang elit atau pemimpin yang ingin menjaga kekuasaannya atas masyarakat, sudah cukup bagi seorang pemimpin itu hanya menguasai sumber energi mistik itu saja (misalnya sebuah pusaka keris yang sakti yang didapat dari peninggalan raja-raja sebelumnya) dengan mengabaikan komponen-komponen lainnya, maka ia memiliki satu hal yang identik dengan kekuasaan itu sendiri, dan akhirnya dapat menguasai masyaraktnya.
Dari konsepsi masyarakat dan pemimpin dalam melihat kekuasaan yang dibangun oleh Koentjaraningrat sebagaimana telah saya jelaskan di atas, menunjukkan bahwa ia telah melakukan pembaharuan atas pandangan Anderson di atas. Sedikit mengulangi, Koentjaraningrat melihat dalam kebudayan masyarakat Jawa untuk menjadi seorang pemimpin tidak hanya dibutuhkan kekuatan yang berupa kesaktian saja sebagaimana pandangan Anderson, tapi juga dibutuhkan komponen-komponen lainnya yang juga dianggap penting, yaitu: karisma, kewibawaan dan kekuasaan dalam arti khusus. Selain itu seorang pemimpin juga harus memiliki sifat yang adil, baik hati, dan pintar atau pandai dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial-politik yang dihadapi masyarakat.
Selain melakukan pembaharuan tetang konsepsi kekuasaan dalam budaya Jawa yang dibangun oleh Anderson, Koentjaraningrat juga memberikan kritiknya yang cukup pedas terhadap Anderson. Dalam kesimpulan dari tulisannya, ia mengatakan bahwa kita akan sesat (tentu diarahkan kepada orang yang mengikuti pandangan Anderson) apabila kita mengira bahwa orang jawa, suatu proporsi yang lebih dari separuh dari penduduk Indonesia, menganggap kekuasaan identik dengan energi sakti, yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa tentang kekuasaan dan kepemimpinan lebih komplek dari itu.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, akhirnya pada sebuah kesimpulan akhir dari review ini.  Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara elit danmasyarakat tradisional, dan elit dan masyarakat masa kini (modern) dalam melihat kekuasaan dan kepemimpinan sebuah negara. Perbedaannya yang memdasar ada pada cara membangun karisma dan wibawa. Di mana dalam masayarakat tradisional memahami bahwa seorang pemimpin atau raja dalam sebuah negara tradisional (kuno) memandang untuk menjaga wibawa dan karisma, mengharuskan seorang raja harus memisahkan diri atau mengisolasikan dirinya dari kehidupan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan melalui indoktrinasi ajaran dari sebuah kepercayaan agama bahwa seorang raja adalah titisan dewa yang suci, maka rakyat yang dianggap hina harus menjauh atau dilarang untuk menatap dan berdialok dengan raja, karena dapat mencemari kesucian raja.
Berbeda kemudian dalam masyarakat masa kini (modern), dalam membangun karisma dan wibawa seorang pemimpin tidak lagi mengisolasikan diri dari kehidupan rakyatnya, justru sebaliknya seorang pemimpin harus lebih dikenal dan dekat dengan rakyat. Hal tidak lain karena legitimasi kepemimpina seseorang dalam negara modern bukan didapat dari dewa, atau hal-hal keramat sebagai mana dalam masyarakat kuno, tetapi legitimasi seorang pemimpin ada pada masyarakat itu sendiri, karena masyarakat lah yang langsung memilih seseorang untuk menjadi pemimpin mereka. Inilah yang mengharuska kewibawaan dan karisma seorang pemimpin harus dibangun melalui popularitas.[]

Daftar Bacaan
Anderson, Benedict, Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, dalam  Miriam Budiarjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa”, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Moertono, Soemarsaid, Budi dan Kekuasaan dalam Konteks Kesejarahan, dalam Miriam Budiarjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa”, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Koentjaraningrat, Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi, dalam Miriam Budiarjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa”, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Ratnawati dan AAGN Ari Dwipayana, Modul Teori Politik, Program Studi Ilmu Politik Kosentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Sekolah Pascasarjana UGM, 2005.


[1] Soemarsaid Moertono, Budi dan Kekuasaan dalam Konteks Kesejarahan, dalam Miriam Budiarjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa”, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, h. 164
[2] Pendapat saya di atas adalah didapat setelah melihat Film The Last Samuarai yang menceritakan tentang pertarungan elit politk antara tradisional dan modern dalam memandang kekuasaan pada masa Kekaisaran Meiji pada tahun 1876-1877.
[3] Untuk lebih jelasnya dapat di baca pada Benedict R.O.G. Anderson, Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, dalam  Miriam Budiarjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa”, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
[4] Ratnawati dan AAGN Ari Dwipayana, Modul Teori Politik, Program Studi Ilmu Politik Kosentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Sekolah Pascasarjana UGM, 2005, h. 25.
[5] Benedict R.O.G. Anderson, Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, dalam  Miriam Budiarjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa”, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, h. 51-52.

1 komentar: