Sabtu, 23 April 2011

Perdebatan Positivisme Vs Post Positivisme Dalam Teori-Teori Sosial


Oleh: Mahsun Muhammad



Perbedaan frame work dan metodologi dalam menafsirkan realitas sosial sebagai sumber dan sekaligus objek dari ilmu pengetahun telah menimbulkan perdebatan panjang di antara ahli-ahli ilmu sosial-politik. Perdebatan-perdebatan tersebut dimualai dengan perbedaan dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan metodologis dan epistimologis. Bagaimana realitas itu terbentuk? Apakah ilmu pengetahuan itu syarat akan bebas nilai atau tidak? Apakah ilmu pengetahuan itu objektif atau subjektif? Apakah terdapat jarak antara peneliti dengan objek yang diteliti? Dan lain sebagainya. Sehingga dari perdebatan panjang itu memunculkan dua mazab pemikiran besar yang mendominasi kajian ilmu-ilmu sosial, yaitu mahzab positivisme dan mahzab post positivisme.
Premis utama dalam mahzab positivisme adalah bahwa realitas itu pada dasarnya bersifat objektif, tidak ada dikotomi tampilan (fakta)/ realitas, dan bahwa dunia adalah wujud yang real dalam artian tidak dikontruksikan secara sosial (Marsh 2010; 26). Dengan kata lain, realitas yang ada itu eksis bukan karena hasil dari kontruksi sosial, akan tetapi dibentuk oleh hukum sebab-akibat sehingga memposisikan peneliti dan objek yang diteliti pada kondisi objektivisme dalam artian terdapat jarak di antara hubungan keduanya. Para ilmuan sosial yang datang berikutnya yang disebut mahzab post positivisme, mengkritik keras pandangan positivisme di atas. Menurut mahzab post positivisme “fakta” itu sejauh menyangkut masyarakat dan manusia bukan hanya realitas yang ada sekarang, melainkan juga punya hubungan dengan masa lampau dan masa yang akan datang. Menurut F. Budi Hardiman masa lalu dan masa depan membentuk fakta itu untuk hadir pada keadaan sekarang. Artinya, terdapat proses pembentukan realitas yang telah dimulai sejak masa lampau, sedang berlangsung, dan menuju kemasa depan yang tertentu (Hardiman 2003; 17). Perdebatan-perdebatan dalam ilmu-ilmu sosial yang didominasi ke dua mahzab pemikiran tersebut memiliki imbas yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia, baik dalam hal pembangunan sosial-politik, ekonomi dunia, maupun dalam pembangunan sosial kemasyarakatan di dunia ketiga.
Dalam penugasan penulisan makalah kali ini, penulis akan mengangkat perdebatan atara positivisme dan post positivisme dalam persoalan teori-teori sosial. Dalam sistematika penulisannya akan diawali dengan  latar belakang pemikiran dari tema tulisan ini, yang memberikan prawacana dari isi tulisan yang disajikan sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Pembahasan selanjutnya mengkaji persoalan idiologis dari masing-masing mahzab pemikiran yang mendominasi kajian ilmu-ilmu sosial, bembahasan idiologi ini penting karena akan mengantarkan sekaligus memudahkan kita dalam memahami pembahasan selanjutnya.

Positivisme Vs Post Positivisme: Sebuah Kritik dan Pembaharuan dalam Metodologi
Geneologi pemikiran positivisme pada awalnya, khususnya ketika ia mempengaruhi studi ilmu politik saat ini, diketemukan dalam karya David Hume Treatise of Human Nature, ia mengatakan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman adalah bersifat objektif dan pernyataan-pernyataan secara faktual akan mempunyai makna manakala diverifikasi melalui pengamatan empiris. Gagasan ini kemudian menjadi terkait dengan positivisme logis. Dan akhirnya memberikan landasan epistimologis bagi ilmu prilaku kontemporer (Chilcote 2010; 89). Kemudian positivisme mendapatkan posisi puncaknya pada positivisme Aguste Comte, yang bersama-sama dengan Saint Simon, terlibat dalam pembentukan satu ilmu baru tentang masyarakat. Comte membangun suatu sistem yang didasarkan pada tiga tahapan pemikiran filosofis, teologis, metafisis, dan positivis. Dalam tahap ketiga orang dapat mengamati dan memahami fakta-fakta dengan kepastian empiris (Chilcote 2010; 89). Lebih lanjut menurut Jonathan Turner, positivisme Comte menekankan bahwa semesta sosial menerima perkembangan hukum-hukum abstrak yang dapat diuji melalui pengumpulan data yang hati-hati, dan hukum abstrak itu dapat menunjukkan kandungan mendasar dan umum dari semesta sosial, dan akan menspesifikasikan ‘relasi naturalnya’ (Ritzer 2005; 20)
Kemunculan positivisme sejak abad ke-19 menurut F. Budi Hardiman (2003; 54) pada dasarnya merupakan peruncingan trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme. Positivisme hadir dengan fokus perhatiannya pada metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam merefleksikan filsafatnya.
Jika dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih merefleksikan, dalam positifisme kedudukan pengetahuan diganti dengan metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh sebab itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistimologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan, beralih pada ilmu-ilmu sosial (Hardiman 2003; 54-55). Menurut F. Budi Hardiman pandangan mahzab positivisme menyakini bahwa kalau pendekatan ilmu alam, yang mengedepankan empiris-obyektif, deduktif  nomologis(kausalitas), dan intrumentral-bebas nilai, telah sukses dalam menjelaskan gejala-gejala alam dan berhasil menciptakan teknologi-teknologi yang canggih di Abad Moderen, pasti sukses yang sama juga akan didapatkan jika pendekatan yang sama digunkan untuk mengkaji realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kalangan ilmuan positivistis yang dipopulerkan oleh Comte, Ernst Mach dan diteruskan oleh para ilmuan yang disebut neo-positivisme yang hidup di abad ke-20 seolah-olah telah menyamakan objek kajian ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, meskipun secara empiris berbeda. Dimana manusia sebagai objek ilmu-ilmu sosial selalu mengalami perubahan yang cukup dinamis, sedangkan objeka ilmu-ilmu alam adalah benda yang mati dalam artian tidak berkembang secara dinamis sebagaimana manusia. Ini sama halnya dengan menganggap manusia tidak lebih dari sekedar tikus putih, asam amino, sel dan lain sebagainya, yang dapat dijadikan percobaan demi ilmu pengetahuan.
Lebih lanjut mahzab positivisme dengan mengkuantifikasi data dan mencapai perumusan deduktif-nomologis, ingin menjadikan ilmu-ilmu sosial yang tidak sekadar sebagai ilmu yang murni untuk kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu yang bisa meramalkan dan mengendalikan proses-prose sosial, sebagaimana semboyan Comte, savoir pour prevoir (mengetahui untuk meramalkan). Dengan cara ini, ilmu pengetahuan diharapkan dapat membantu terciptanya susunan masyarakat yang rasional (Hardiman 2003; 23). Lebih tajam lagi dengan positivisnya, Comte bermaksud untuk memberi pembedaan yang jelas mana yang jelas, mana yang kabur dan mana berguna, mana yang sia-sia. Atau dengan kata lain pembedaan ditunjukkan untuk mengetahui antara yang bersifat transenden dan mana yang bersifat profan dalam kehidupan manusia.
Dari berbagai prinsip (bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, dan instrumen-instrumen bebas nilai) dan metodologi dalam kajian ilmu alam yang digunakan untuk mengkaji ilmu-ilmu sosial sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diperjelas lagi ke dalam beberapa kesimpulan, sebagaimana yang dijelaskan Anthony Gidden sebagai berikut (Hardiman 2003; 57):
Pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak dari peneliti, tidak akan mengganggu objek yang diobservasi, yaitu tindakan sosial masyarakat. Melalui cara ini, objek kajian ilmu-ilmu sosial menempati posisi yang sama dengan objek kajian ilmu-ilmu alam.
Kedua, hasil-hasil dari riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial.
Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menjadikan pengetahuan murni bersifat instrumental. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk kepentingan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas nilai (value-free).
Dari pengandaian yang dilakukan oleh mahzab positivisme sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpuan bahwa pada dasarnya ilmuan positivistik ingin mendudukkan metodologi yang ada dalam kajian ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, yang termasuk di dalamnya kajian ilmu politik. Selain itu, dalam tataran metodologis positivisme telah melakukan kostruksi sosial kehidupan masyarakat menurut kontrol atas alam yang setatis.
Dalam perkembangannya, pengunaan metodologi oleh mahzab positivisme dalam mengkaji ilmu-ilmu sosial yang menggunakan metodologi dan pendekatan ilmu alam mendapatkan kritiknya yang tajam dari pemikir-pemikir sosial yang datang berikutnya. Terlebih kritiknya diarahkan pada pandangan positivisme yang melihat objek kajian ilmu sosial-politik, yaitu masyarakat dan individu sebagai mahluk sosial dan mahluk historis, seolah tidak memiliki keteraturan dan dinamisasi dalam perkembangannya sebagaimana objek ilmu-ilmu alam, dan lebih-lebih tidak berbeda dengan objek ilmu alam.
Dalam pandangan para ilmuan, yang datang pada awal paroh ke dua abad ke-20 yang disebut sebagai mahzab post positivisme , terdapat banyak permasalah dalam ilmu-ilmu sosial yang dihasilkan dari metodologi yang diguanakan oleh mahzab positivisme tersebut. Permasalahannya bukan hanya bagi ilmu pengetahuan, melainkan juga bagi kemanusian. Masalahnya bukan hanya sekedar epistimologis, metodologis, melainkan juga sosial dan praktis (Hardiman; 2003: 23).
Sekelompok ilmuan sosial yang berbaris di urutan paling depan untuk memberikan kritikan sekaligus mendekontruksi atas apa yang dilakukan mahzab positivisme adalah mereka yang menamakan diri sebagai Frankfrut School (mahzab frankfrut), yang dipelopori oleh Horkhimer, Adorno, dan Marcuse serta dilanjutkan oleh Jurgen Habermas sebagai generasi berikutnya. Ketiga tokoh utama yang ada diurutan awal dari Frankfrut School tersebut berpendapat bahwa positivisme bermasalah, karena pandangan mereka tentang penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial yang tak lain dari saintisme atau ideologi. Pembuktian mereka sebagaimana dijelaskan F. Budi Hardiman (2003; 24) dalam bukunya Melampaui Positivisme dan Modernitas bahwa pengandaian-pengandaian tersebut di atas (netral, bebas nilai, dan seterusnya) dan dengan hanya “mengkontemplasikan” masyarakat, positivisme melestarikan status quo konfigurasi masyarakat yang ada.
Lebih lanjut, dalam pandangan mereka seharusnya pengetahuan diorientasikan untuk mengungkap pengetahuan tentang apa yang seharusnya ada (das Sollen) dan bukan mengungkap pengetahuan tentang apa yang ada (das Sein) sebagaiman yang dilakukan oleh positivisme. Dengan apa yang dilakukan oleh ilmuan positivisme, bagi mereka hanyalah menjadikan pengetahuan tidak dapat mendorong perubahan, tapi hanya menyalin data sosial. Kemudian, mereka menunjukkan bahwa pengetahuan semacam itu pada gilirannya juga dipakai untuk membuat rekayasa sosial, menangani masyarakat sebagai perkara teknis seperti menangani alam (Hardiman 2003; 24). Menurut Hardiman kritik yang dilakukan oleh mereka meskipun kelihatan tajam, akan tetapi masih berdiri dalam tataran yang berbau moralis, belum sampai pada kritik epistimologis. Baru pada generasi kedua dari Frankfrut School yaitu pada Habermas persoalan ini ditunjukkan secara epistimologis.
Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan positivisme yang dihadapi oleh teori-teori kritis, Habermas memberikan dua paradigma dalam ilmu-ilmu yang juga dapat memberikan perspektif kita tentang dua paradigma penelitian: ilmu-ilmu alam beserta seluruh penelitiannya bekerja dengan “paradigma kerja”, sedangkan ilmu-ilmu sosial beserta seluruh penelitiannya bekerja dengan “paradigma komunikasi” (Hardiman 2003; 30). Dari sini dapat dipahami bahwa Habermas dalam menggali ilmu pengetahuan, ia membedakan antara dunia alamiah dan dunia sosial. Dimana dalam dunia alamiah terdapat orientasi kerja, artinya ada keterkaitan antara teori dengan praksis. Oleh karena itu seorang peneliti ilmu-ilmu alam harus bisa menyingkirkan berbagai subjektifitasnya sebagai seorang peneliti. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya ilmu politik memiliki persinggungan atau adanya komunikasi antara simbol-simbol kehidupan sosial-budaya termasuk simbol kepentingan yang menjadikannya bersifat subjektif. Hal inilah yang menjadikan tidak sesuainya penerapan pendekatan-pendekatan ilmu alam terhadap kajian ilmu sosial, yang memiliki orientasi sendiri dan berbeda dengan ilmu alam.
Lebih lanjut Habermas mengungkapkan bahwa semua proses dalam penelitian ilmiah ini didorong oleh suatu kepentingan kognitif tertentu yang disebutnya “kepentingan teknis”. Hanya jika ada kepentingan teknis untuk mengontrol proses-proses alamiah demi kelangsungan hidup manusia sebagai spesies,  proses penelitian dapat dilangsungkan. Dalam proses penelitian itu, seorang ilmuwan harus tendakan-tindakan tertentu yang sangat sepesifik untuk penelitian dalam wilayah kedua ini, yaitu tindakan-tindakan instrumental. Tindakan ini bersifat kontrol dan manipulatif, yang berorientasi mencapai sukses dalam mengantisipasi, mengarahkan, meramalkan, mengoperasikan proses-proses alamiah itu secara teknis. Tindakan instrumental ini disebut praksis, yakni praksis kerja (Hardiman 2003; 28). Oleh karena itu, ilmu-ilmu sosial memerlukan pendekatan yang spesifik berbeda. Dunia sosial yang memuat objek-objek dan struktur-struktur simbolik yang saling berkomunikasi sebagaimana dijelaskan di atas, tak dapat dimasuki dengan distansi penuh atau menghadapinya sebagai objek manipulasi belaka. Dalam proses komunikasi antara struktur simbol tersebut terdapat hubungan timbal balik di antara keduanya, yang menjadikan inter-subjektifitas dalam ilmu-ilmu sosial terlebih ilmu politik tak terelakkan lagi adanya, karena syarat terselubung kepentingan.
Kemudian kritik terhadap positivisme juga muncul dari kalangan pemikir post-strukturalisme, yang juga dapat digolongkan ke dalam mahzab besar post positivisme. Salah satu di antaranya, adalah Michel Foucault yang menyumbangkan  teori ilmu pengetahuan yang cukup berharga tentang relasi pengetahuan dengan kekuasaan yang merupakan upaya pembacaannya atas modernitas.
Bagi Foucault dalam ilmu pengetahuan modern (masa positivisme), manusia muncul dalam posisi yang ambigu sebagai objek ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai subjek yang mengetahui: diperbudak yang berkuasa, diperhatikan penonton, manusia muncul dikuasai penguasa (Ritzer 2009; 77). Kalau kita pahami terhadap apa yang di katakan Foucault tersebut, menunjukkan bahwa tidak mukin objektivatas dalam ilmu sosial itu ada, karena dalam ilmu pengetahuan sosial selalu ada relasi kuasa yang terselubung di dalamnya. Hal inilah yang dibaikan oleh positivisme.
Foucault menolak ide ilmu pengetahuan yang dikejar demi pengetahuan atau demi kepentingan sendiri, bukan untuk kepentingan kekuasaan, sebagaimana yang diasumsikan oleh kaum positivis. Sain adalah contoh ranah yang dilibatkan untuk membedakan yang benar dari yang palsu. Dalam membuat perbedaan semacam ini, ranah keilmuan secara implisit menyingkirkan kandungan ilmu pengetahuan alternatif seperti yang “palsu”. Dalam hal ini, kehindak untuk kebenaran diasosiasikan dengan kehendak mencapai hegemoni atas ranah yang lain (Ritzer 2009; 79)
Lebih lanjut dalam geneologi kekuasaan, Foucault membahas bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Di antaranya, ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang lain  menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan. Ia mengkritik penyusunan pengetahuan secara bertingkat (heirarkis pengetahuan). Karena bentuk tingkatan tertinggi pengetahuan (ilmu pengetahuan) mempunyai kekuasaan terbesar, maka ilmu pengetahuan dikhususkan untuk dikritik paling keras (Ritzer 2005; 612)
Dari pandangan Foucault di atas, dapat dipahami lebih lanjut bahwa ia mengandaikan dalam menggali ilmu pengetahuan tak ubahnya dengan seseorang yang mempunyai keinginan untuk mencapai kekuasan. Pandangan positivisme yang mengandaikan adanya objektifisme, bebas nialai dan lain-lain adalah hal yang sulit terjadi dalam kajian ilmu-ilmu sosial. Karena bagi Foucault relasi kekuasaan itu selalu hadir pada seluruh kehidupan manusia, yang tidak memungkin di dalamnya netralitas kepentingan atas kekuasaan tidak ada.
Lebih lanjut Foucault sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2009; 94) dalam Teori Sosial Postmodern dalam terma yang lebih sepesifik geneologi kekuasaan, mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada yang lain; tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan bidang ilmu pengetahuan, sebaliknya, pada saat yang sama, tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan.
Dari pandangan-pandangan tokoh-tokoh sentral post positivisme di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya mahzab post positivis hadir untuk menelanjangi sekaligus membedah kesalahan-kesalahan yang dilakukan positivisme. Di antara usahanya adalah mendudukkan atau mengembalikan ilmu-ilmu sosial pada posisi yang lebih humanism dalam artian memanusiakan manusia yang memang seharusnya demikian, melalui pembentukan atau pembaharuan dalam metodologi penelitian yang digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.[]

Daftar Bacaan
Chilcote, Ronald H. (2010), Teori Perbandingan Politik Penelusuran Paradigma. Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada
Hardiman, F. Budi (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Marsh, David& Gerry Stoker (2010) Teori dan metode Dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media
Ritzer, George (2009), Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (2005), Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar