Sabtu, 21 Mei 2011

Renungan Hidup singkat dalam Beragama

Benarkah kalau Tuhan sudah mengatakan KUN atas kehidupan hambanya maka semua kan terjadi dengan demikian yg dikehendaki? Lalu di mana kuasa manusia untuk menentukan langkahnya dengan akal,pikiran, hati dan ilmu yg ia miliki atas dirinya sendiri. Memang ini berdebatan klasik antara kelompok ahlul kalam Jabariyah dan Qadariyah. Kelompok Jabariyah mengatakan bahwa segala hal atas kehidupan manusia telah ditentukan oleh Tuhan, sedangkan Qadariyah melihat bahwa manusia dapat menentukan masa depannya dengan akal dan ilmu yg ia miliki dari Tuhannya. Pertanyaanya di mana dirimu kawan2 menempatkan posisi di antara keduanya??

Sebagian orang melihat ini tidak perlu didiskusikan karena bisa mengarah akan kekufuran, ini pandangan yg cukup dangkal bagi saya. Karena segala sesuatu perlu didiskusikan dan digali dalilnya sehingga mendpatkan pengetahuan yg lauas akan sebagian ilmu Tuhan. Beragama, beribadah dan melakukan hal lainnya jika dilandasi dengan pengetahuan akan menjadikan orang yang menjalaninya akan menjadi lebih khusuk dan inklusiv.

Acap kali individu mengalami keresahan atas hidupnya, mungkin karena berbagai ujian maupun cobaan yang diterimanya. Keresahan ini lah yg kemudian menjadikan seorang individu tadi mengalami kekosongan hati dan dapat berimbas pada kondisi stres. keresahan terjadi tidak lain dikarenakan tidak adanya pengetahuan akan takdir Tuhan, termasuk pengetahuan akan tindakan dirinya di dunia ini apakah atas kehendaknya sendiri atau atas kehendak Tuhan.

Dari sini mari kita mulai mempelajari dan merenung dengan menggali pengetahuan akan kehidupan yang kita jalani dengan berangkat dari diri sendiri dan menuju pada keilmuan Tuhan atas segala alam dan isinya...

Rabu, 04 Mei 2011

THE REAL GANGS OF NEW YORK Sudut Gelap Perpolitikan Amerika Yang Tak Terungkap


Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan sudut gelap dunia perpolitikan di Kota New York Amerika sebelum memasuki era modern dan demokrasi. Di mana tulisan ini disandur dari sebuah film yang berjudul “The Real Gangs of New York”. Film ini juga terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Herbert Asbury “The Gangs of New York”. Kota New York di abad ke 19 dipenuhi dengan konflik antar geng yang berasal dari kelas bawah. Konflik antara geng yang berasal dari para imigran Irlandia dan geng yang berasal dari penduduk asli kota New York.
Melalui tulisan ini juga akan dibahas bagaimana para kelompok geng yang ada di New York ini dipelihara dan dikendalikan oleh segelintir elit politik yang berkuasa untuk memenuhi ambisi-ambisi politik dan ekonomi mereka. Kemiskinan dan kebodohan masyarakat kelas bawah New York yang sebagian besar tergabung sebagai anggota kelompok geng ini telah dimanfaatkan oleh sekelompok elit untuk mencapai kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok, termasuk dalam melanggengkan kekuasaannya.
Lebih lanjut, tulisan ini juga akan melakukan perbandingan dengan realitas perpolitikan yang terjadi di tingkat lokal Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa penggunaan kelompok-kelompok kuat atau gengster oleh para elit politik sebagaimana yg terjadi di New York pada abad ke 19 juga terjadi di Indonesia, khususnya di tingkat lokal. Di mana proses demokrasi yang berlangsung di tingkat lokal pasca reformasi masih kita temui dibeberapa daerah yang menggunakan kelompok-kelompok kekerasan (premanisme) untuk melakukan manufer politik mereka, meskipun ini tidak separah yang terjadi di Kota New York. Berangkat dari latar belaka di atas tulisan ini dibuat untuk mempelajari dinamika politik yang terjadi di sebuah negara yang dalam proses memasuki dunia modernitas, proses peralihan kekuasaan dan baru akan mengenal nilai-nilai demokrasi, atau pun sudah dalam proses deepening democracy seperti halnya Indonesia.

Lahirnya Geng dan Penyebab Kekerasan
Mayoritas geng-geng yang ada di New York adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah kumuh perkotaan, termasuk orang-orang yang dalam derajat kehidupannya tergolong masyarakat yang cukup miskin. Karena kebodohan mereka, menjadikan mereka saling membunuh untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak adanya keahlian lain menghantarkan mereka menjadi preman dan akhirnya mengelompok menjadi sekelompok geng yang pekerjaan rutin sehari-harinya adalah melakukan kerusakan, perkelahian dan menjarah toko-toko yang ada. Hal itu mereka lakukan adalah sebagai cara mereka dalam bertahan hidup.
Lebih parahnya lagi pemerintahan yang ada hanya memberikan perhatian kepada mereka yang memiliki duit atau kelompok masyarakat kaya. Hukum yang ada juga menunjukkan sangat tajam pada kalangan masyarakat miskin, dan menjadi tumpul ketika berhadapan dengan masyarakat yang kaya. Selain itu, kehadiran polisi hanya mengawasi agar tidak terjadi pelecehan yang dilakukan kelompok orang-orang miskin terhadap kelompok orang-orang kaya yang ada di kota New York pada saat itu. Fenomena inilah yang kemudian menjadikan kebanyakan masyarakat miskin bergabung dengan para geng untuk mencari perlindungan dari kekerasan yang mengancam mereka dari kelompok-kelompok geng yang lainnya.
Tindakan para polisi yang berfungsi sebagai penjaga malam dan pelindung orang-orang kaya inilah yang akhirnya juga menjadi pemicu dari kalang geng yang memang berasal dari kalangan kelas bawah menjadi bertindak semakin brutal. Hampir setiap hari terjadi kerusakan dan pembunuhan di mana-mana. Sehingga kebrutalan dan kebiadaban para geng yang ada di New York inilah yang menjadikan rumah-rumah menjadi cepat tua sebelum waktunya karena telah ditinggal pergi oleh penghuninya yang merasa sudah tidak aman lagi untuk tinggal di rumah mereka. Hampir setiap hari kehidupan mereka dihantui rasa ketakutan karena ulah para geng yang selalu menciptakan kerusuhan dan kerusakan terhadap rumah-rumah warga.
Kemiskinan yang menjangkiti kehidupan masyarakat imigran Irlandia dan lainnya di New York menjadikan mereka selain masuk dalam lingkaran para gengster, juga menjadikan mereka berpartisipasi sebagai relawan pemadam kebakaran sebagai nilai tambah untuk mendapatkan distribusi ekonomi demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Karena bagi kelompok geng yang dapat datang terlebih dahulu di lokasi kebakaran maka akan mendapatkan hadiah dari perusahaan asuransi berupa uang. Hadiah berupa uang inilah yang akhirnya menjadi memicu konflik lebih besar antar geng, karena mereka berebut untuk datang kelokasi kebakaran lebih dahulu. Akhirnya, seringkali akibat konflik yang terjadi antara geng pada saat terjadi kebakaran, gedung-gedung habis terbakar sedangkan pertarungan antar geng juga belum usai.
Penyebab lain timbulnya konflik antar geng juga dapat dilihat dari masuknya agama katolik di New York. Di mana saat kelompok katolik pertama tiba di New York, warga Irlandia mulai curiga dan tak mempercayai orang Amerika. Inilah yang menjadikan konflik besar terjadi antara geng yang berasal dari imigran Irlandia dan masyarakat Amerika asli terjadi yang menganut agama katolik. Dan masalah terbesar yang menyebabkan mereka berkonflik adalah dimana pendatang Irlandia dianggap lebih rendah  dari manusia. Dan itu merefleksikan kepercayaan umum masyarakat Amerika bahwa masyarakat pendatang Irlandia itu rasnya berbeda dari mereka. Bahwa mereka inferior dalam hal ras, agama dan lainnya.
Dari penjelasan di atas pada intinya dapat ditarik benang merah, bahwa yang menyebabkan lahir dan timbulnya konfik antar geng adalah kemiskinan struktural yang diciptakan oleh elit-elit politik yang berkuasa demi melanggengkan kekuasaan dan tetap tercapainya ambisi-ambisi mereka.

Konflik Antar Geng dan Permainan Elit Politik
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa permasalahan mendasar dari lahirnya konflik adalah karena kemiskinan struktural yang menjangkiti kehidupan masyarakan kaum bawah yang hidup diperkampungan yang cukup kumuh, terutama Imigran dari Irlandia. Hal ini semua pada dasarnya adalah rekayasa yang dilakukan oleh kalangan elit politik demi mendapatkan keuntungan pribadi mereka.
Imigran Irlandia yang dari kampung asalnya memiliki kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang buruk seperti tradisi kekerasan, kelompok rahasia dan geng yang ada di pedesaan serta terkenal sebagai tuan tanah, dan ketika datang ke New York mereka melakukan hal yang sama. Tindak kekerasan yang dipilih oleh para imigran dari Irlandia sebagai jalan hidupnya ini pada dasarnya adalah desakan dari lingkungan yang ada. Di mana lingkungan tempat tinggal yang kumuh, hidup serba miskin, sikap polisi yang diskrikminatif terhadap mereka dan ditambah pemerintah New York yang tidak memperhatikan kehidupan mereka, semakin menjadikan imigran Irlandia dan masyarakat lainnya yang tinggal di daerah kumuh tadi nekad untuk memilih jalan kekerasan sebagai jalan hidup.
Kondisi pertarungan para gengster ini lah yang mewarnai kehidupan Kota New York di abad ke 19 M. Dari data yang ada menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok geng besar yang menguasai kota New York. Pertama, adalah kelompok geng yang berasal darai rakyat asli New York Amerika, dan kedua adalah geng yang berasal dari orang Irlandia dan imigran. Dan geng-geng terpenting ini menjadi alat para politisi. Mereka menjadi tukang pukul dan preman. Karena ini adalah mata pencaharian mereka sebagai masyarakat miskin. Dimana yang mereka jual adalah otot dan mereka pun mendapat keuntungan dari judi. Di antara salah satu geng yang cukup terkenal pada saat itu adalah Dead Rabbits (gengnya orang-orang terkenal dan amat tangguh), anggota geng ini terkenal dengan kesiapannya untuk mati ketika berangkat berperang.
Kehidupan para geng selain melakukan tindak kekerasan, mereka juga memiliki pekerjaan lain yakni sebagai sukarelawan pemadam kebakaran sebagaimana telah dijelaskan dibagian sebelumnya. Ketergantungan mereka terhadap profesi sukarelawan kebakaran yang apabila datang terlebih dahulu mendapatkan hadiah berupa uang tersebut, membuat para geng itu melakukan perlawanan terhadap pemerintah disaat pemerintah akan membuat kelompok pemadam kebakaran yang profesional, dan perlawanan itu terjadi sampai 25 tahun berlangsung. Ini menunjukkan bahwa tidak adanya alternatif pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh mayarakat kelas bawah yang ada di New York pada saat itu. Dan profesi mereka sebagai tukang pukul dan sukarelawan pemadam kebakaran dipertahankan oleh mereka sebagai lahan untuk mencari penghidupan. Hal ini lah yang kemudian di pertengahan abad ke-19 geng di New York menjadi amat dominan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat kebanyakan ikut bergabung dalam kelompok geng untuk mempertahankan hidup mereka. Dan salah satu alasan lain orang bergabung dengan geng adalah apabila ada terjadi kebakaran tidak ditangkap karena ada sangsi terhadap kebakaran bagi orang yang dekat dengan lokasi dan tidak tergabung dengan para geng yang menjadi sukarelawan pemadam kebakaran.
Kehidupan masyarakat New York di atas menunjukkan kondisi pemerintahan yang rapuh dan tidak memiliki kehidupan tertib sosial yang baik. Hal demikian diperparah lagi dengan para politisi yang mengambil untung dengan keberadaan mereka. Kemiskinan dan kebodohan para anggota geng ini seringkali dibohongi dan dimobilisasi saat akan ada pemilihan wali kota New York. Kemiskinan yang dialami oleh anggota geng ini menjadikan mereka mudah untuk dibeli agar mendukung salah seorang politisi untuk maju sebagai kandidat pemilihan wali kota. Dan kebanyakan yang menjadi pejabat tinggi di New York pada saat itu adalah berasal dari ketuang geng itu sendiri yang terjun di dunia politik atau sebagai politisi.
Hal demikian yang menyebabkan perkembangan geng-geng di new York semakin hari semakin kuat, meskipun kepolisian telah dibentuk oleh pemerintah. Karena pada dasarnya mereka mendapatkan dukungan kekuasaan dari para politisi-politisi yang korup. Sampai tahun 1855 diperkirakan 30000 orang di New York berhutang jasa pada pimpinan geng. Dan melalui mereka inilah, pimpinan partai demokrat seperti Tammany Hall dan penduduk asli Amerika memperoleh kekuasaan.
Di sisi lain juga terdapat penduduk asli Amerika yang dikenal dengan sebutan Know Nothing adalah partai politik orang kulit putih yang lahir di Amerika yang termasuk anti terhadap imigran asal Irlandia. Ini adalah partainya Bill Poole, salah satu tokoh terkenal New York. Ia termasuk salah satu tokoh yang menghentikan imigran datang dari Irlandia. Salain itu dia adalah petarung jalanan yang terkenal, terlibat dalam perjudian dan mengelola penjualan minuman keras. Kematiannya pun karena bertarung dengan geng asal Irlandia untuk membela Amerika.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masing-masing kelompok geng pada dasarnya memiliki pelindung atau didukung oleh para politisi yang duduk sebagai pejabat pemerintah. selian itu, realita di atas menunjukkan bahwa kehadiran geng dan konflik antar geng sengaja diciptakan oleh aktor-kator elit politik untuk menutupi tindakan kejahatan mereka atau korupsi mereka terhadap harta negara demi memperkaya diri pribadi atau kelompok mereka. Dari sini dapat kita lihat bahwa para politisi tahu betul bahwa ketika masyarakat yang ada berada dalam keadaan konflik baik karena persinggungan ras maupun karena perebutan lahan pekerjaan karena kelaparan, mereka akan lupa urusan-urusan politik dan tidak peka lagi kalau para pejabat yang ada telah melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan termasuk kehidupan masyarakat yang ada. Tidak heran kemudian pada paruh kedua pertengan abad ke-19 korupsi marak terjadi di New York. Dan salah satu politisi terkorup adalah William Tweed yang menjabat sebagai Wali Kota New York pada saat itu. Dia sendiri adalah pimpinan geng yang mesuk dunia politik hanya bertujuan untuk mengendalikan geng dalam jumlah yang lebih besar, serta ingin meraup uang negara dari profesinya tersebut. hal ini lah yang kemudian menjadikan New York sebagai wilayah yang terjangkit penyakit koronis yang disebut korupsi mulai dari tingkat atas sampai bawah pada saat itu.
Oleh karena itu, geng yang ada di New York pada saat itu adalah merupakan mesin politik yang sangat efektif pagi para ketua geng yang memasuki duni politik. Dan kebanyakan dari mereka berhasil menduduki jabatan publik dengan mesin politik yang mereka bangun melalui kelompok-kelompok geng atau preman. Selain sebai mesin politik, acap kali geng diperalat oleh elit politik untuk digunakan menekan pihak-pihak tertentu agar menuruti keinginan si poltisi. Semua rangkaian di atas, pada dasarnya ingin menggambarkan bagaimana dinamika perpolitikan di tingkat lokal Amerika pada abad ke-19 M. Di mana Amerika masih belum memasuki dunia modern dan menganut sistem demokrasi.

Melihat Indonesia Sebagai Perbandingan
Apa yang terjadi di New York pada abad ke-19 M. ini kalau kita amati dengan dalam-dalam pada dasarnya juga sedikit terjadi di dalam dinamika politik lokal yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru. Hal ini dapat kita lihat konflik Ambon, Poso dan antara suku Dayak dengan suku Madura di Kalimatan juga merupakan konflik-konflik antar kelompok yang disebabkan berebut eksistensi dan lahan dalam mencari penghidupan makanan. Selain itu konflik yang terjadi di Indonesia pada masa lalu itu juga lebih disebabkan oleh permasalahan politik. Artinya, konflik yang terjadi di daerah-daerah Indonesia pada dasarnya dikendalikan oleh segelintir elit politik yang memiliki kepentingan di balik itu semua.
Penggunaan kekerasan atau preman dalam dunia politik juga terjadi di tingkat lokal Indonesia. Hal ini dapat kita lihat di daerah Banten, di mana keberadaan para jawara acap kali digunakan oleh elit politik untuk melakukan penekanan-penekanan terhadap pihak tertentu untuk mengikuti keinginan elit politik tersebut. para jawara yang ada di banten dengan kekuatan yang mereka miliki baik beruapa modal ekonomi maupun yang lainnya telah banyak mempengaruhi jalannya pemerintahan yang ada di Provinsi Banten. Mereka tidak saja menguasai proyek-proyek pemerintah, tapi juga dapat mengintervensi kebijakan pemerintah (Hidayat 2007). Selain itu, acap kali para tokoh-tokoh jawara dengan membawa anak buahnya menghadiri rapat-rapat yang dilakukan oleh anggota DPRD dengan mengguanakan seragam jawara mereka. Kehadiran mereka itu kebanyakan apabila DPRD membahan permasalahan yang memiliki kaitan dengan permainan-permainan yang dilakukan oleh kalangan jawara dalam dunia bisnis (Hidayat 2007, h. 299).
Selain kasus Banten, kita juga dapat melihat kasus yang terjadi di Lombok. Di mana para politisi seringkali memanfaat kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan politik mereka. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kelompok elit politk yang ada di Lombok berusaha untuk merangkul atau memanfaatkan kelompok organisasi yang disebut Pamswakarsa,  sebuah kelompok organisasi yang dibentuk untuk mengamankan Lombok dari para pencuri. Dalam perkembangannya, kerena kelompok-kelompok ini semakin bertambah, menjadikan para elit atau aktor daerah maupun nasional berusaha merekrut para pemimpin-pemimpin milisi dan masa mereka untuk mendukung agenda politis maupun ekonomi mereka. Lebih lanjut, juga dilaporkan bahwa pada tahun 2003 calon bupati merekrut jaringan para pencuri yang teroganisir sekaligus milisi antikejahatan untuk menunjukkan bahwa mereka berdampingan mendukung kandidat yang sama dalam dalam pemilihan umum (MacDougall 2007).
Dari beberapa fenomena di atas menunjukkan bahwa realita politik lokal Indonesia pasca reformasi juga diwarnai dengan aksi-aksi dari para politisi yang hampir mirim dengan yang terjadi di New York pada abad ke-19 M. Di mana para elit politik masih sering kali memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang berbasis masa untuk dijadikan alat dari agenda politis mereka. Acap kali para politisi tersebut mengatas namakan kepentingan rakyat dan akan membela kepentingan kelompok yang mereka mobilisasi, padahal itu semu para politisi lakukan hanya untuk melancarkan tersampainya hasrat politik mereka semata, yakni meraup kekayaan politik dan ekonomi negara.
Epilog
Dari seluruh rangkaian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi antar geng di New York pada dasarnya adalah diakibatkan oleh kemiskinan struktural yang dilanggengkan oleh para elit politik guna menutupi kebobrokan pemerintahan dan tindakan korupsi mereka atas harta negara. Keberadaan para geng yang memiliki anggota yang besar acap kali dimobilisasi oleh elit politik yang ingin masuk dalam jabatan-jabatan publik. Selain itu, menunjukkan kegagalan pemerintah dalam membentuk tata pemerintahan yang baik.
Dari apa yang terjadi di New york abad 19 M. tersebut memiliki kemiripan dengan yang terjadi di tingkat lokal Indonesia pasca reformasi. Di mana penggunaan kekuatan-kekuatan preman dan mobilisasi mereka oleh elit politik demi kepentingan mereka pribadi atas kekuasaan politik dan ekonomi masih mewarnai perpolitikan Indonesia di tingkat lokal. Kasus Banten dan Lombok dapat dapat dijadikan untuk melihat permasalahan ini.[] By Mahsun Muhammad

Daftar Bacaan

Hidayat, Syarif 2007, ‘Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten’, dalam Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
MacDougall, John M. 2007, ‘Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok’, dalam Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.