Jumat, 10 Juni 2011

BOSISME DAN DEMOKRASI DI ARAS LOKAL (Studi Kasus Kemenangan Herman Deru dalam Pilkada OKU Timur Tahun 2010)

Studi ini mengkaji demokrasi di aras lokal dan kehadiran “orang kuat” (bosisme) dalam pilkada. Dalam kajian ini penulis memfokuskan pada hadirnya orang kuat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur sebagai daerah pemekaran yang baru berumur tujuh tahun. Kehadiran orang kuat dalam pemilu kada pasca lahirnya UU No. 32 tahun 2004 hapir marak terjadi di beberapa daerah yang ada di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa liberalisali politik dan pemilu kada langsung telah membuka kran baru bagi seluruh lapisan masyarakat di tingkat lokal untuk ikut perkompetisi dalam pemilu kada, serta menandai runtuhnya cengkraman militer dalam dunia politik.
Ironisnya, ketika pilkada langsung yang bebas diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat hanya dilihat sebagai bentuk pemenuhan dan tuntutan regulasi dimana prosedur-prosedur demokrasi menjadi lebih penting dibanding subtansi demokrasi itu sendiri, maka dapat sangat terbuka kemungkinan pilkada yang hanya diwarnai oleh kompetisi antar elit dan tawar menawar kepentingan semata dalam bahasa lainnya oligarki oleh elit politik atas demokrasi prosedural (Mubarok 2008, h. 52). Di sinilah bos lokal (orang kuat) hadir ikut serta mewarnai proses demkorasi oligarki di tingkat lokal. Demokrasi oligarki merupakan bentuk pembajakan (hijacking) institusi politik formal negara oleh institusi politik informal, demi kepentingan segelitir elit politik.
Lebih lanjut, hadirnya “orang kuat” (bos lokal) dalam pilkada pasca reformasi telah memberikan warna tersendiri dalam proses demokrasi yang terjadi di tingkat lokal. Kehadiran mereka dalam pandangan sebagian besar sarjana dianggap dapat menciderai proses demokrasi yang sedang berlangsung. Ini yang menjadikan “orang kuat” dalam pilkada selalu disetigmatisasi sebagai hal yang negatif (lihat Sidel 2005; Migdal 1988, 2001; Hidayat 2007). Asumsi ini di dasarkan pada maraknya praktik pemburuan rente dan korupsi yang dilakukan oleh “orang kuat” lokal melalui kontrolnya terhadap proses pengelolaan pemerintahan daerah, termasuk economical resources yang ada di daerah. Kehadiran orang kuat dalam pilkada lebih sebagai upaya mereka untuk mengamankan sumber-sumber daya daerah agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri dari pada menurut aturan-aturan resmi atau perundang-undangan yang dibuat oleh pelaksana peraturan yang lebih tinggi. Upuya untuk menguasai alokasi sumberdaya ini mereka lakukan dengan cara menempatkan anggota keluarga, kroni-kroninya dalam jabatan strategis atau bahkan menempatkan dirinya sendiri dalam jabatan tertinggi yang ada di daerah (Sidel 2005).
Bertolak dari latar belakang di atas, dengan mengangkat kasus kemenangan Herman Deru, sebagai bos lokal, untuk kedua kalinya dalam pilkada Kabupaten OKU Timur, penulis ingin menunjukkan “wajah baru” dari bos lokal dalam mengelola tata pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam kajian ini penulis ingin mengatakan bahwa kehadiran “orang kuat” dalam pilkada tidak selamanya memiliki stereotip negatif sebagaimana yang dibayangkan oleh para sarjana di atas. Argumen awal yang akan dibangun dari studi ini adalah bahwa sebagai bos lokal di Kabupaten OKU Timur, Herman Deru dapat menunjukkan kinerjanya dengan baik selama memimpin pemerintahan daerah OKU Timur, sehingga dalam pencalonan untuk kedua kalinya pada tahun 2010 yang lalu ia dapat meraup suara kemenangan mencapai 95 persen dari total suara pemilih yang ada. Ini dapat diasumsikan bahwa kepemimpinan Herman Deru pada masa sebelumnya telah dianggap sukses oleh masyarakat setempat. Untuk membuktikan kebenaran akan argumen di atas, ada dua pertanyan inti yang akan dijawab dalam studi ini: pertama, apa yang menyebabkan Herman Deru dapat meraup suara hingga 95 persen dalam pilkada di OKU Timur? Kedua, adakah relevansi Herman Deru sebagai bos lokal dengan kemenangannya dalam kontestasi pilkada di OKU Timur?
Guna menjawab kedua pertanyaan di atas, dalam metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis melakukan wawancara via telpon dengan beberapa informan yang menurut penulis memiliki kapasitas untuk menjelaskan permasalahan yang menjadi kajian studi ini. Selain itu, informasi dari koran lokal dan internet termasuk menjadi sumber data dalam studi ini. Hal itu semua dilakukan karena waktu dan kondisi yang tidak mengizinkan penulis untuk terjun langsung ke lapangan mencari data.
Adapun guna mensistematikkan tulisan, pembagiannya disusun seperti berikut ini. Pertama, penulis akan memberikan elaborasi teoritis tentang konsep bosisme yang dikembangkan oleh Joel Miqdal dan John T Sidel. Kedua, akan dibahas tentang Herman Deru dan kesuksesannya dalam memimpin OKU Timur. Ketiga, menjelaskan tentang lahirnya bosisme (orang koat), pola kerja dan perannya dalam pilkada di OKU Timur. Keempat atau terakhir, kesimpulan.

Refleksi Teoritik Tentang Bosisme
Ide “bosisme” pada awalnya digunakan oleh Joe Miqdal atas fenomena “orang kuat lokal” yang berhasil melakukan kontrol sosial dan penguasaan resources di Dunia ke Tiga. Migdal (1988) melihat bahwa para bos lokal telah berhasil menempatkan diri dan anggota keluarga mereka ke dalam jabatan-jabatan penting pemerintahan lokal guna menjamin alokasi economical resources dan political resources agar tetap berjalan sesuai dengan aturan main yang mereka kehendaki ketimbang aturan-aturan main yang dikehendaki oleh institusi formal, seperti kebijakan dan perundang-undangan baik yang dibuat oleh pemerintah lokal atau pun pemerintah pusat (Sidel 2005, h. 73).
Untuk mejelaskan argumennya tersebut, Migdal memberikan tiga argumen mendasar yang memiliki keterkaitan erat. Pertama, Migdal melihat bahwa berhasilnya orang kuat lokal menempatkan dirinya ke dalam jabatan-jabatan penting dan memiliki pengaruh yang besar atas masyarakat hingga dapat dikatakan melebihi para pemimpin negara dan para birokrat lokal, dikarenakan oleh terciptanya struktur masyarakat yang mirip jaringan. Di mana struktur ini telah terbentuk dan menghamblur sejak pemerintahan kolonial dan berlangsung ke dalam perekonomian kapitalis dunia dan kelas-kelas pemilik tanah besar. Ke dua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan cara menempatkan diri sebagai “penolong” bagi penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang membutuhkan. Atau dengan kata lain, orang kuat lokal menciptakan relasi patron-klien dengan masyarakat setempat guna melanggengkan posisi mereka. Dengan cara ini lah kemudian orang kuat lokal mendapatkan legitimasi dan dukungan dari masyarakat setempat. Ke tiga, Migdal melihat bahwa keberhasilan orang kuat lokal dalam menguasai sumber daya lokal baik politik maupun ekonomi telah merintangi dan membatasi otonomi dan kapasitas negara untuk melakukan perubahan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini menjadikan negara lemah dalam melakukan kontrol sosial. Selain itu, juga memperbesar kekacauan dan ketakterkendalian tatanan sosial di tingkat lokal (Sidel 2005, h. 73-74).
Dari gagasan Migdal di atas dapat dipahami bahwa hadirnya orang kuat lokal dalam penguasaannya atas local resources lebih disebabkan oleh lemahnya struktur negara dalam mengontrol sistem ekonomi dan politik. Dan struktur ini juga diperkuat oleh sistem patronase yang diciptakan oleh tuan tanah besar yang mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial pada masa yang lampau. Sistem patron-klien dan struktur pemerintah yang dibangun “mirip jaringan” ini lah yang kemudian dalam istilah Migdal telah menciptakan kondisi dan struktur sosial yang dapat melanggengkan dan memberikan keberhasilan orang kuat lokal untuk tetap menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik.
Bertolak belakang dengan gagasan Mingdal tentang orang kuat lokal (bosisme) di Dunia ke Tiga sebagaimana diuraikan di atas, Sidel (2005) dengan mengkaji fenomena orang kuat lokal di tiga negara, yakni: Filipina, Thailand dan Indonesia ingin menunjukkan bahwa pola kekuasaan orang kuat lokal di Dunia ke Tiga bukanlah merupakan bentuk atau cermin dari kekuatan dan ketahanan dari “hubungan patron-klien” dan “elit pemilik tanah”, tetapi lebih pada mewakili keganjilan struktur kelembagaan negara. Selain itu, Sidel ingin menunjukkan bahwa keberadaan para bos lokal tidak lah merintangi pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dikatakan Migdal, hal ini seperti yang terjadi di Filipina.
Gagasan Sidel ini (2005, h. 80) ditunjukkan dengan kemajuan yang dialami sejumlam provinsi seperti Cavite dan Cebu yang berhasil memajukan perekonomian lokal dengan cara menarik pemodal asing berbasis Manila untuk menanamkan modal sejak pemulihan pemilihan umum demokrasi sesudah 1986. Ini semua menurut pengamatannya tidak terlepas dari langkah-langkah besar yang dilakukan oleh para bos lokal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal. Fenomena ini menunjukkan langkah lebih maju dibandingkan Filipina saat berada di bawah rezim otoriter yang menjadikan sistem pemerintahan yang jauh lebih terpusat dan otonom dari pengaruh masyarakat, yang akhirnya Filipina mengalami kemunduran dramatis pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.
Lebih lanjut, Sidel (2005) melihat bahwa para bos lokal yang memperoleh kekuasaan dan kekayaan bukanlah dari kepemilikan tanah pribadi tetapi dari sumber-sumber negara dan perdagangan, dan banyak dari mereka golongan politikus dan “elite bertanah” itu yang mengumpulkan pundi-pundi kekayaan termasuk pemilikan tanah besar justru didapatkan setelah mereka memasuki atau menduduki jabatan, dan bukan sebelumnya.
Kemudian dalam perkembangannya, para bos lokal menjadi tumbuh subur dan tidak lagi bersandar pada kepemilikan tanah besar atau hubungan patron-klien sebagai penyangga kekuasaan mereka. Akan tetapi, para bos lokal itu melakukan kontrol terhadap pejabat terpilih untuk mendapatkan akses dan monopoli atas pengaturan sumber dan hak-hak istimewa negara. Sehingga acap kali untuk melanggengkan kekuasaannya para bos lokal melakukan kolusi dan perselingkuhan dengan para birokrat dan penegak hukum guna menjaga dan menutupi tindakan mereka yang keluar jalur perundang-undangan. Bahkan dalam pemilihan umum, mereka acap kali melakukan pembelian suara pemilih, kekerasan, intimidasi dan kecurangan dalam penghitungan suara dengan bekerja sama dengan mesin-mesin lokal demi melangengkan jabatan yang telah mereka miliki sebelumnya (Sidel 2005, h. 79).
Dari apa yang digagas oleh Sidel di atas, dapat dipahami bahwa kemunculan dan semakin menguatnya bos-bos lokal dalam menguasai resources pada dasarnya adalah dikarenakan lemahnya negara dalam memfungsikan perannya. Selian itu, ingin menunjukkan kalau bos-bos lokal langgeng mempertahankan eksistensinya dalam jabatan-jabatan bublik bukan karena kepemilikan tanah yang besar yang dimiliki sebelumnya, tetapi keberhasilan mereka dalam menjalin hubungan yang mirip jaringan kepada para birokrat atau pemerintah yang berkuasa. Pertanyaannya bagaimana kemudian bosisme di Indonesia?
Kehadiran orang kuat lokal (bosisme) dalam jabatan-jabatan publik di Indonesia mulai marak setelah runtuhnya rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini dikareanakan Rezim Orde Baru yang sangat sentralistik dan menerapkan cengkramannya hingga ke tingkat desa dengan menggunakan organisasi militer untuk mengontrol tatanan sosial, tidak memungkinkan para bos lokal untuk muncul dipermukaan pada masa sebelumnya. Dengan runtuhnya rezim otoriter dan beralih pada rezim reformasi menghantarkan orang-orang loka yang dulunya mendapatkan manfaat dari sistem yang dibangun Orde baru, seperti para pengusaha, Jawara, preman dan lainnya mulaui mengokohkan kekuasaan barunya atas tatanan sosial yang ada untuk mendapatkan alokasi economical resources dan political resources.
Dalam kasus bosisme di Indonesia Sidel (2005) melihat bahwa penggunaan kekerasan dan pembelian suara dalam pemilu juga terjadi sebagaimana di Filipina dan Thailand untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini Sidel memberi contoh peran bos lokal di Kota Medan, Jawa Tengah dan Lombok. Selain itu, kebanyakan bos-bos lokal guna melanggengkan kekuasaan maupun tetap terjaga atau aman sumberdaya ekonomi lokal yang mereka kusai, juga membangun hubungan erat dengan klik-klik pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian.
Dari gagasan Migdal dan Sidel tentang peran bos lokal di dunia ke tiga sebagaimana dibahas di atas, penulis pada makalah ini lebih cenderung untuk menggunakan dan merujuk konsep tentang bos lokal yang diusung oleh Sidel. Hal ini tidak terlepas dari realitas di lapangan yakni di OKU Timur, di mana pola bos lokal dalam memerankan dirinya dalam dunia politik dan ekonomi memiliki persamaan dengan gagasan yang diusung oleh Sidel. Meskipun juga terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Akan tetapi penulis melihat paling tidak di antara gagasan bos lokal dari kedua sarjana di atas, gagasan dan konsep Sidel lah yang lebih cocok dan mendekati untuk digunakan sebagai kerangka analisis dalam melihat pola bos lokal yang ada di Kabupaten OKU Timur.
Meskipun pada kenyataannya dalam tulisan ini penulis ingin menunjukkan wajah baru dari pola bos lokal pasca reformasi dalam mengelola pemerintahan daerah. Sehingga melalui tulisan ini penulis inginmenunjukkan kerangka analisis baru dalam melihat pola bos lokal di era demokratisasi di tingkat lokal yang telah berjalan sejak keruntuhan rezim Orde Baru.

Herman Deru (Orang Kuat Lokal) dan Kesuksesannya dalam Memimpin OKU Timur
Herman Deru adalah Bupati OKU Timur Sum-Sel yang menjabat untuk ke dua kalinya. Ia adalah termasuk seorang pengusaha yang cukup sukses dan terkaya di OKU Timur dengan kekayaan yang dia miliki lebih dari Rp 17,77 miliar, Sebagian besar adalah harta tidak bergerak, senilai Rp Rp 16.383.113.000. Ia diketahu memiliki perkebunan baik karet maupun sawit yang sangat luas. Selain itu, dia juga terkenal sebagai seorang pengusaha kaya raya yang bergerak dibidang kontruksi bangunan (Sriwijaya Post, 17 Mei 2010).
Sebagai seorang yang cukup kaya dan terpandang, Herman Deru sebelum menjabat sebagai seorang bupati, ia juga didapatkan sebagai seorang yang cukup disegani di daerahnya. Guna melindungi kekayaan yang ia miliki, dirinya juga membangun hubungan yang kuat dengan para preman yang ada di OKU Timur, bahkan ia juga termasuk orang yang disegani dan ditakuti oleh kalangan preman maupun perampok yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa Sumatera Selatan, terutama di daerah Kecamatan Blitang Kabupaten OKU Timur dulunya termasuk daerah yang sangat rawan akan kejahatan, perampokan dan tindakan premanisasi. Herman Deru melalui kekayaan yang ia miliki dan bangunan jaringan yang cukup kuat baik dengan kalangan preman dan kepolisian, menjadikan dirinya orang yang sangat disegani di kalangan masyarakat. Selain itu, dirinya juga terkenal dengan orang yang sangat memberikan perhatian kepada masyarakat cilik. Sampai-sampai ketika diundang acara kenduren oleh masyarakat bawah biasa ia pun akan menghadirinya. Hal ini ia lakukan baik ketika ia belum menjadi Bupati OKU Timur maupun sesudahnya (wawancara via telpn dg Andik warga OKU).
Dengan melihat kekayaan, pengaruh dan jaringan yang ia bangun ini lah, penulis mengklasifikasikan Herman Deru sebagai bos lokal sebagaimana yang dibayangkan oleh Sidel. Di mana istilah “bos” dipahami sebagai pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis abadi terhadap koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing (Sidel 2005, h. 78). Dalam hal ini Herman Deru, sebagai bos lokal, juga memiliki kekuasaan untuk mengelola kekayaan ekonomi yang ada di daerahnya. Terlebih sejak dirinya menjadi Bupati pada tahun 2004 sampai sekarang, semakin memperluas geraknya dalam mengelola kekayaan tanah pribadi maupun sumber-sumber ekonomi lain yang ia miliki.
Sebagai seorang bos loka yang menduduki jabatan orang nomor satu di OKU Timur, Herman Deru meskipun memiliki jaringan yang kuat dengan para preman lokal tidak menjadikan dirinya menggunakan tindakan-tindakan represif, kekerasan maupun pengumpulan masa untuk mendapatkan suara pada saat pemilu berlangsung. Berdasarkan keterangan yang penulis dapatkan dan saksikan sendiri, wilayah OKU Timur sejak tahun 2004 hingga sekarang berada dalam kondisi yang cukup aman dan tingkat keamanannya semakin lama semakin membaik. Karena sebagai seorang bupati dirinya termasuk berhasil untuk mengendalikan para preman dan perampok lokal untuk tidak melakukan kekerasan dan perampokan kepada warga OKU Timur maupun yang lainnya. Jaringan yang cukup kuat baik dengan kalangan preman, militer dan kepolisian yang telah ia bangun sejak lama, tidak menjadikan Herman Deru untuk memanfaatkan mereka dalam menggalang suara atau memperkuat legitimasi alokasi sumberdaya ekonomi dan melanggengkan jabatan yang ia miliki. Akan tetapi sebaliknya, dengan jeringan yang ia bangun denga para preman dan kalangan keamanan itu melah menjadikannya untuk mengendalikan dan mengontrol mereka agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melukai atau merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, keberhasilan dalam mengendalikan bahkan menumpas tindakan para preman dan perampok ini telah menjadi simbol dan modal tersendiri dari keberhasilan Herman Deru dalam memimpin di OKU Timur. Kesuksesan dirinya sebagai bupati pertama OKU Timur dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat yang tinggal di wilayah setempat menjadikan dirinya berhasil untuk menjadi bupati untuk ke dua kalinya dengan meraup suara lebih dari 95 persen suara. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Herman Deru di OKU Timur mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat bukan karena permainan uang dan jaringan dengan para preman yang ia kembangkan, tetapi murni dari dukungan masyarakat yang merasa puas dengan kepemimpinan dirinya.
Selain itu, Herman Deru dalam pilkada tahun 2010 yang lalu dirinya juga berhasil membangun kesadaran masyarakat tentang politik. Ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah partisipasi pemilih yang datang ke TPS atau ikut memilih dalam pilkada di OKU Timur yang diadakan pada 5 Juni 2010 yang lalu, dan total pemilih yang telah menggunakan haknya mencapai 91, 11 persen dan tingkat kecerdasan pemilih 98,61 persen. Keberhasilan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu kada serta tingginya suara yang didapatkan oleh Herman Deru dengan pasangannya Cholid Mawardi membuat pasangan ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) (Sriwijaya Post 17 Mei 2010).
Keberhasilan lain yang telah dicapai Herman Deru sebagai orang kuat lokal yang telah menduduki jabatan sebagai Bupati OKU Timur sejak tahun 2005 – sekarang adalah keberhasilannya dalam mengentaskan atau mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah yang ia pimpin tersebut. selain itu, ia juga berhasil menggalakkan pembangunan mulai dari infrastruktur jalan sampai bangunan-bangunan lainnya. pembangunan jalan dengan aspal juga telah dilakukan hingga ketingkat-tingkat pedesaan. Dan fasilitas-fasilitas untuk masyarakat seperti puskesmas yang cukup memadai juga telah hadir di pedesaan-pedesaan yang cukup plosok sekali pun.
Guna memajukan daerah OKU Timur, sebagai daerah pemekaran baru, Herman Deru juga termasuk bupati yang berhasil menciptakan lapangan pekerjaan baru yang cukup. Hal ini ia lakukan dengan mendatangkan berbagai investor baik dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri (wawancara dengan Aris 15 Februari 2011) . Bahkan Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatra Selatan (Sumsel), juga menjadi sentra industri gula di Indonesia, di mana pabrik gula milik Grup Salim melalui anak perusahaannya, PT Laju Perdana Indah, di daerah OKU Timur telah mulai beroperasi sejak April 2010 (Trijaya FM Palembang 2010).
Dengan berbagai keberhasilan yang dicapai oleh OKU Timur selama kepemimpinan Herman Deru (bos lokal) sebagaimana diuraikan di atas, menjadikan dirinya menerima berbagai penghargaan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tanda penghargaan yang ia dapatkan, bahkan tercatat hingga 29 lebih jenis penghargaan dari negara, dari angka ini 18 penghargaan langsung diberikan Presiden SBY di istana negara. Dan ia juga mendapatkan penghargaan berupa Satya Lencana Wirakarya untuk bidang keluarga berencana dari presiden RI. Berkaitan dengan ini, Herman Deru mengatakan bahwa penghargaan Satya Lencana Wirakarya diberikan Presiden RI karena keberhasilannya sebagai Bupati menurunkan angka kemiskinan (Pra sejahtara) dari 12,81 persen di tahun 2008 kini menjadi 10 persen di tahun 2009. Menurutnya, penurunan ini bukan diukur seberapa banyak kondam atau alat kontrasepsi di sebarkan tetapi tingakt kesehajteraan masyarakat yang menjadi ukuran. "Kerja keras dilakukan sejak menjabat bersama mitra kerjadi OKU Timur (Sriwijaya Post 28 Februari 2011).
Apa yang dilakukan oleh Herman Deru sebagai “orang kuat lokal” yang telah berhasil menguasai kekuasaan di daerah OKU Timut, dapat menunjukkan bahwa tidak selamanya bos lokal itu memiliki stereotip negatip sebagaimana dalam pandangan Migdal dan Sidel dalam melihat peran bos-bos lokal di dunia ke tiga. Orang kuat lokal yang ada di OKU Timur ini ketika memegang tampuk kekuasaan malah menunjukkan tindakan dan kinerjanya yang cukup bagus dalam membangun dan mengendalikan tatakelola pemerintahan daerah. Dirinya sudah tidak lagi mengandalkan kekerasan dan money politics dalam mendapatkan dukungan suara pada saat pemilu kada berlangsung. Akan tetapi, dengan kemajuan dalam bidang pembangunan dan keberhasilannya dalam memberikan keamanan, serta meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat menjadikan masyarakat OKU Timur memilihnya kembali untuk menjadi bupati yang kedua kalinya atau untuk memenangkan dalam kompetisi pilkada.

Lahirnya Bosisme, Pola Kerja dan Perannya dalam Mengelola Pemerintahan di OKU Timur
Lahirnya bos lokal di OKU Timur hampir sama dengan kelahiran bos-bos lokal dibeberapa daerah. Di mana ketika krisi ekonomi terjadi pada tahun 1997 dan berujung pada jatuhnya Soeharto yang menandai runtuhnya rezim otoriter, maka liberalisasi politik dengan ditandai dengan pemilihan kepala daerah dan pejabat legislatif secara langsung oleh rakyat dan dapat diikuti oleh seluruh warga negara mulai lahir seiring dengan hadirnya rezim reformasi. Pada masa ini lah para bos-bos lokal di beberapa daerah Indonesia, termasuk di OKU Timur mulai menampakkan dirinya kepermukaan untuk ikut berkompetisi dalam memperebutkan jabatan-jaban publik yang dulunya dikuasai oleh militer dan para birokrat.
Herman Deru, sebagai orang kuat lokal, juga ikut menikmati liberalisasi politik yang terjadi pasca reformasi 1998 ini. Sebagai orang kuat loakal, dirinya termasuk orang yang telah memiliki kekayaan yang cukup besar di daerahnya sebelum menjabat sebagai bupati. Luasnya tanah perkebunan karet dan kelapa sawi telah ia miliki sebelum dirinya menjabat sebagai bupati. Selain itu, dirinya juga sebagai pengusaha besar lokal yang bergerak dalam jasa kontruksi bangunan yang memiliki alat-alat pembangunan sendiri. Kemudian dengan modal ekonomi yang cukup besar serta kepercayaan masyarakat, karena dirinya terkenal dimata masyarakat akan kebaikannya, maka pada saat OKU Timur dimekarkan dari daerah induknya OKU Induk pada tahun 2003 yang ditetapkan dengan undang-undang nomor 37 tahun 2003, dan diadakan Pilkada OKU Timur secara langsung Herman Deru akhirnya memenangkan kompetisi pada pemilu kada tersebut. Kemenangannya ini ia dapatkan setelah mengalahkan tiga pasangan kandidat lainnya.
Dengan berbagai kesuksesan dan kemajuan yang berhasil ia bawa atas OKU Timur sebagaimana di jelaskan pada bagian sebelumnya, akhirnya pada pemilu kada yang kedua kalinya di OKU Timur pada tanggal 5 Juni 2010 Herman Deru bersama pasangannya Cholid Mawardi berhasil mengalahkan pasangan Marsyal Rustam Wahab- Rustaman dengan perolehn suara yang cukup memuaskan lebih dari 95 persen dari total suara yang ada. Hal ini juga pada dasarnya juga tidak lepas dengan banyaknya parpol besar yang mengusung dirinya untuk kembali menjadi bupati OKU Timur di antaranya, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera dan didukung dengan banyak parpol-parpol kecil lainnya (Berita Lampung, 7 Juni 2010).
Dukungan yang cukup besar dari parpol-parpol besar kepada Herman Deru menunjukkan kalau ia adalah orang yang memiliki pengaruh yang besar, serta jaringan yang cukup luas dalam dunia ekonomi dan politik keberbagai kelompok. Pertanyaan kemudia, bagamana bos lokal ini menjalankan bisnisnya disaat dirinya selama memegang tampuk kekuasaan nomor satu di Kabupaten OKU Timur?
Meskipun Herman Deru (bos lokal) tidak melakukan kekerasan dan money politics dalam mendapatkan dukungan suara untuk memenangkan Pilkada dan melanggengkan kekuasaannya, tetapi dalam mengendalikan bisninya Herman Deru memiliki pola yang hampir mirip atau bahkan bisa dikatakan dengan kajian Agustino (2011), Hadiz (2005) dan Sidel (2005) tentang bos-bos lokal dalam mendapatkan monopoli atas kekayaan negara. Hal ini dapat dilihat dari tender proyek pembanguna jalan yang ada hampir semua di OKU Induk didapatkan atau dijalankan oleh perusahaan kontruksi yang dimiliki oleh herman Deru. Dengan kata lain, pembangunan seperti prasarana jalan hampir semuanya dikerjakan dengan menggunakan alat-alat seperti buldoser dan lainnya yang dimiliki oleh Bupati.
Penulis melihat hal demikian dilakukan demi tetap terjaganya alokasi ekonomi tetap di tangan bupati. Sealin itu, Herman Deru juga menempatkan kroni-kroni dan keluarganya dalam jabatan-jabatan penting di daerahnya. Tidak hanya itu, bahkan anaknya yang perempuan juga didorong maju untuk mewakili OKU Timur di DPD pusat Jakarta. Dengan modal ketenaran dan kewibawaan orang tuanya, anaknya pun dapat lolos dari kompetisi dalam memperebutkan kersi sebagai DPD. Bahkan berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dia mendapatkan suara terbanyak untuk daerah Sumatra Selatan.
Dari penjelasan di atas memberikan kepada kita bagaimana gambaran atau bentuk yang cukup unik dari bosisme lokal. Di mana bosisme di OKU Timur sudah mulai menunjukkan wajah barunya untuk menjadi lebih baik dibandingkan pola-pola kerja bos-bos lokal di daerah-daerah yang lain. Meskipun dalam alokasi sumber ekonomi masih melakukan monopoli atas kekayaan negara di tingkat lokal. Tetapi menurut penulis setidaknya Herman Deru, sebagai bos lokal, sudah menunjukkan kinerjanya yang cukup bagus dalam mengelola pemerintahan daerah OKU Timur yang baru saja dimekarkan. Hal ini lah yang kemudian menjadikan OKU Timur masuk dalam jajatan daerah pemekaran yang tergolong sukses.
Selain itu, fenomena ini juga memberikan gambaran dari corak demokratisasi di tingkat lokal Indonesia dengan wajah barunya yang berbeda. Di mana liberalisasi politik yang merupakan bentuk konsekuensi logis dari dugunakannya demokrasi sebagai sistem politi, yang memberikan hak yang sama pada warga negara untuk berkompetisi menduduki jabatan-jabatan publik termasuk kepala daerah tapi masih saja kita dapatkan seseorang yang dapat mendulang suara hampir 100 persen. Di mana biasanya seperti di kebanyakan daerah dan negara lainnya, dengan adanya persaingan yang bebas dan adil cukup sulit dan jarang untuk mendapatkan suara yang dominan, sebagaimana yang didapatkan oleh Herman Deru.

Kesimpulan
Dari pembahasan panjang sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kemenangan Herman deru sebagai bos lokal dalam pemilu kada untuk ke dua kalinya di OKU Timur, lebih dari pada karena keberhasilannya untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat daerah setempat. Selain itu, dijuga telah berhasil memajukan daerah yang ia pimpin selama lima tahun sebelumnya dan tanpa menggunakan kekerasan sebagaimana bos-bos lokal yang ada di daerah-daerah lainnya.
Adapun dari segi teoritis, dari tulisan ini dapat menunjukkan kepada kita bahwa tidak selamanya bos lokal dalam mendapatkan dan mempertahan kekuasaannya harus menggunakan masa, kekerasan dan politik uang, sebagaimana kajian Migdal dan Sidel.[]

Daftar Bacaan
Mubarok, Ahmad Husni 2008, Pilkada dan Shadow State, dalam Gregorius Sahdan dkk (Ed), Negara Dalam Pilkada Dari Collapse State ke Weak State, IPD Press, Yogyakarta.
Sidel, John T. 2005, Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailan dan Indonesia, dalam John Harriss dkk (Ed), Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, Demos, Jakarta.
Hadiz, Vedi R. 2005, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, LP3ES, Jakarta.
Hidayat, Syarif 2007, ‘Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten’, dalam Henk Schulte dan Gerry van Klinken (Ed.), Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Internet
“Herman Deru Raih 29 Penghargaan Negara” dalam Sriwijaya Post - Senin, 9 November 2009.
“OKU Timur Jadi Sentral Industri Gula” dalam Trijaya FM Palembang, 18 Januari 2010.
“OKU Timur Terbaik dari 238 Kabupaten Pemekaran di Indonesia” dalam Buana sumsel, 6 januari 2010.
“Bupati dan Wabub OKU Timur mendapat Penghargaan rekor Muri” dalam Berita Lampung, 8 Juni 2010.

2 komentar:

  1. Blognya serius nian dindo. Biar idak tegang, coba main ke sini: www.kelakarbetok.wordpress.com. Ditunggu kalu ado tulisan lucu :D.

    BalasHapus
  2. bosisme politik tu apaan sich? coba jelaskan pengertiannya.

    BalasHapus