Sabtu, 23 April 2011

Mencermati Kembali Representasi Parlemen di Indonesia (Studi Representasi Partai PDIP di Parlemen dalam Kebijakan Bailout Bank Century)

Oleh: Mahsun Muhammad


A.    Pendahuluan
            Studi ini bermaksud untuk mengkaji kembali bagaimana selama ini DPR sebagai agent of representative memfungsikan perannya dalam pengambilan kebijakan di level nasional. Kebijakan bailout century menurut penulis dapat dikatakan penting untuk digunakan sebagai kasus dalam melihat sejauhmana representasi politik parlemen berkorelasi positif terhadap pihak-pihak yang direpresentasikanya. Sehingga kebijakan yang digulirkan pemerintah benar-benar merupakan cermin dari kehendak masyarakat. Kenaapa harus kasus century? Menurut penulis karena kasus ini telah banyak merugikan uang negara dan berdampak pada kesejahteraan rakyat banyak, maka penulis melihat kasus ini dapat dijadikan sebagai sampel bagaimana DPR sebagai agent of representative memperjuangkan kepentingan rakyat tersebut. oleh karena itu, untuk melihat bagaimana representasi politik menjadi bagian penting dalam kiprah DPR membela masyarakat titik tekanya bukan hanya pada bagaimana DPR melakukan upaya-upaya yang dipermukaan terlihat membela kepentingan masyarakat saja. Namun, lebih dari itu penekananya adalah pada hasil dari upaya tersebut. Artinya, apakah kebijakan yang dikeluarkan, pada akhirnya, sesuai dengan kehendak masyarakat ataukah kebijakan itu tetap merupakan skemanya pemerintah.
Adapun fokus studi ini bukan berpretensi dalam melihat bagaimana anggota DPR RI secara keseluruhan memfungsikan dirinya sebagai agent of representative sebagaimana yang dikehendaki oleh rakyat, tetapi dalam studi ini penulis hanya ingin mengkaji bagaimana PDIP melalui anggotanya yang duduk di parlemen memerankan fungsinya sebagai agent of representative dalam kebijakan kasus bailout century yang dianggap telah merugikan negara.
Di sini isu representasi dan kebijakan menjadi penting untuk dibicarakan karena proses politik yang melahirkan ratusan anggota parlemen itu, termasuk dari PDIP, pada dasarnya dilandaskan pada keinginan agar DPR benar-benar berfungsi sebagai pemerjuang kepentingan masyarakat bukan pemerjuang kepentingan partainya sendiri. Dari sini kemudian menimbulkan dua pertanyaan pokok yang akan dijawab dalam studi ini. Pertama, bagaimana PDIP melalui fraksinya yang duduk di Parlemen memainkan perannya dalam kasus bailout century? Kedua, apakah peran yang dimainkan anggota PDIP di Parlemen mengkuatkan dirinya sebagai partai oposisi atau malah menunjukkan redupnya oposisi tersebut?  

B.     Representasi dan Oposisi Partai: Suatu Kajian Teoritis
b.1 Mempertimbangkan Representasi Parlemen
Pitkins membagi representasi menjadi empat bentuk yang berbeda. Pertama, representasi otoritas yaitu ketika representator secara legal diberi hak untuk bertindak. Kedua, representasi deskriptif yaitu  ketika representator membela kelompok yang memiliki watak politik yang sama. Ketiga, representator simbolis  ketika representasi menghasilkan sebuah ide bersama. Keempat, representasi substantif ketika representator  membawa kepentingan "ide" represented ke dalam area kebijakan publik ( Pitkin:1967 ).
Hanna Fenichel Pitkin (1967) mengemukakan bahwa representasi merupakan bentuk modern dalam demokrasi. Dalam konsepsi Pitkin, setidaknya ada empat cara memandang representasi politik (Kymlicka dan Norman, 1999). Pertama, perspektif otorisasi melihat bahwa representasi merupakan pemberian dan pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai orang yang diberi kewenangan untuk bertindak. Wakil memiliki hak untuk bertindak, yang sebelumnya tidak dimilikinya. Sebaliknya terwakil yang memberikan beberapa haknya, harus ikut bertanggungjawab atas konsekuensi tindakan yang dilakukan oleh wakil. Pandangan otoritas ini memusatkan pada formalitas hubungan keduanya atau yang disebut sebagai pandangan “formalistik”.
Kedua, representasi deskriptif yaitu seseorang dapat berpikir dalam kerangka sebagai “standing for” segala sesuatu yang tidak ada. Wakil bisa berdiri demi orang lain yang diawakili, menjadi substitusi untuk orang lain, atau mereka cukup menyerupai orang lain. Representasi deskriptif menggambarkan bahwa wakil mendeskripsikan konstituen, biasanya ditandai dengan karakteristik yang nampak seperti warna kulit, gender, atau kelas sosial. Model ini dipahami sebagai kesamaan deskriptif antara wakil dengan yang diwakili. Ciri pandangan ini kebanyakan dikembangkan di antara yang membela representasi proporsional, bahkan pandangan ini dianggap sebagai prinsip fundamental representasi proporsional yang berupaya menjamin bahwa badan perwakilan mencerminkan hitungan matematis “more or less” atas konstituenya. Proporsionalitas wakil ini terkkait dengan komposisi komunitas, sebagai kondensasi dari keseluruhan.
Ketiga, representasi simbolik berarti merepresentasikan sesuatu yang bukan merepresentasikan fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan peta atau potret, tetapi dengan simbol, dengan disimbolkan atau diwakili secara simbolik. Meskipun sebuah simbol merepresentasikan “standing for” segala sesuatu, tetapi tidak menyerupai apa yang diwakili. Symbol memiliki ciri yang membantu merasionalisasi signifikansi simboliknya, sehingga simbol mensubstitusi yang diwakili dan simbol mensubstitusi apa yang disimbolkan.
Baik pandangan formalistik maupun deskriptif tidak relevan dikaitkan dengan merepresentasi aktivitas tetapi lebih relevan dikaitkan dengan representasi karakteristik. Disamping itu representasi deskriptif maupun simbolik menjadi suplemen bagi pandangan yang formalistik. Representasi deskriptif memperkenalkan ide pentingnya wakil menyerupai konstituen. Sedangkan representasi simbolik masyaratkat memiliki keyakinan irasional, yang diabaikan oleh pandangan formalistik dan pentingnya penerimaan konstituen. Representasi deskriptif atau simbolik biasanya dekat dengan obyek bukan dekat dengan aktivitas maka wakil kerapkali tidak merepresentasi dengan melakukan sesuatu sama sekali. Artinya, representasi tidak dalam makna berbicara tentang peran, kewajibannya dan apa yang ditampilkan oleh wakil. Realisme tindakan representasi deskriptif dan simbolik ekuivalen dengan pandangan “standing for”, bukan pada aktivitas representasi yang “acting for”. Bahkan pandangan representasi formalistik dan deskriptif tidak memungkinkan untuk aktivitas merepresentasi sebagai “acting for” bagi orang lain. Dengan kata lain dalam realisme politik tidak ada ruang untuk aktivitas kreatif perwakilan legislatif (Pitkin:1967).
Pada sisi lain konsepsi merepresentasi sebagai “standing for” membawa pada pengertian lain representasi, yaitu representasi sebagai pembuatan atau “penciptaan” jenis aktivitas. Kalau representasi sebagai aktivitas maka representasi dimaknai sebagai “acting for” orang lain. Representasi “acting for” berbeda dengan pandangan yang formalistic, sebab representasi ini lebih memusatkan pada hakekat aktivitas itu sendiri menjangkau representasi substantif. Dalam konteks ini wakil berbicara, bertindak demi opini, keinginan, kebutuhan atau kepentingan substantif terwakil atau sering disebut dengan representasi “substantive acting for” orang lain.
Konsep substantif memandang representasi bukan sekadar sebagai cara berdiri seseorang demi orang lain (a way of standing for someone) tetapi representasi sebagai cara bertindak demi orang lain (a way of acting for someone). Acting for” memunculkan pemahaman yang berbeda tentang      hubungan termasuk representasi person lainnya. Orang dapat bertindak sebagai pengganti orang lain dengan bertindak sebagai trustee, agen yang menguasakan, sebagai yang dipercaya/fiduciary (dalam arti sebagai agen bebas) atau sebagai ahli. Masing-masing cara “acting for” menyangkut interpretasi yang berbeda dalam relasi antara wakil dan yang diwakili dan harapan yang berbeda (dan obligasi).Tantangan yang sangat berpengaruh terhadap konsep dan praktik representasi politik sebagai ide diletakkan oleh Anne Philips dalam the politics of presence. Phillips berargumentasi bahwa kita mesti mengubah interpretasi tentang representasi dari kerangka yang didasarkan pada politik ide (merepresentasikan opini warganegara dan preferensi kebijakan) ke kerangka yang didasarkan pada ‘the politics of presence’ atau politik kehadiran ( Pitkin:1967 ).
b.2 Melihat Oposisi Partai di Parlemen
Oposisi secara umum menurut Restianrick Bachsjirun dapat dimaknai sebagai kelompok kekuatan yang ingin mengontrol dan mengoreksi suatu kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau salah. Ada pula yang mengartikannya sebagai kekuatan yang semata-mata menentang setiap kebijakan dan langkah penguasa, tanpa menimbang apakah kebijakan tersebut masih dalam suatu kewenangan atau kesewenang-wenangan. Apa pun pengertian yang diberikan, oposisi merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari perbedaan pendapat di masyarakat dalam proses berbangsa dan bernegara (Bachsjirun, dalam http://jakarta45.wordpress.com/).
Adapun Oposisi secara literal dapat diartikan "berlawanan". Kata oposisi hadir dari khazanah Inggris, ketika di dalam parlemen terdapat dua pihak yang saling berhadapan, partai yang menjadi pemerintah dan partai yang menjadi oposisi di seberangnya. Intinya, oposisi ada karena dalam kenyataan politik ada yang berkuasa dan ada yang di luar kekuasaan. Nah, yang di luar kekuasaan bertugas mengontrol, atau memberikan alternatif kebijakan kepada mereka yang berkuasa, sehingga rakyat mempunyai pilihan-pilihan kebijakan (Roni Taborni, dalam http://roni-tabroni.blogspot.com).
Dari penjelasan di atas, beroposisi politik dapat dipahami sebagai tindakan melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada publik kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya. Sebaliknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktek kebenaran itu (Bachsjirun, dalam http://jakarta45.wordpress.com/).
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa salah satu komponen negara demokrasi yang membedakannya dengan negara non demokrasi adalah eksisnya unsur oposisi. Karena oposisi dapat menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam suatu negara, sehingga pemerintahan dan negara dapat dicegah untuk tidak terjerumus ke dalam keadaan abuse of power (penyelewengan kekuasaan). Oleh sebab itu, oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Selain itu, dilihat dari sudut pandang pentingnya mekanisme check and balance, oposisi semestinya tidak perlu dicemaskan dan kemudian menjadi takut untuk menerima kehadirannya. Justru adanya kekuatan oposisi untuk menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan dengan baik dan demokratis.
Dengan melihat keterangan di atas, penulis memahami oposisi partai politik di Parlemen adalah sebagai tindakan perlawanan dan pengawasan secara ketat yang dilakukan oleh partai politik non-koalisi melalui anggota-anggotanya yang duduk sebagai anggota DPR terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam kaitannya ini, Beroposisi menurut pengamat politik Eep Saefullah Fatah dalam bukunya Membangun Oposisi, berarti melakukan pengawasan atas praktik kekuasaan yang dilakukan oleh partai politik non-koalisi. Ketika kekuasaan melenceng, oposisi mengabarkan kekeliruan itu, seraya membangun perlawanan. Ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, oposisi menggarisbawahinya, seraya membangun kesadaran publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi.

C.    PDIP dan Sikapnya Terhadap Kebijakan Bailout Century
Setelah memberikan kajian secara teoritis prihal representasi dan oposis, dalam bagian ini penulis akan membahas bagaimana PDIP yang dikenal sebagai partai yang memiliki semboyan membela kepentingan wong cilik dan partai politik yang selalu menempatkan dirinya sebagai partai oposisi pemerintah, apakah dalam menyikapi kebijakan pemerintah tentang bailout century ini PDIP masih dapat memposisikan dirinya sebagai partai yang membela kepentingan wong cilik, atau malah bergabung ke dalam pandangan partai koalisi secara tidak langsung yang menyetujui kebijakan pemerintah dalam bailout century guna mendapatkan rente.
c.1 PDIP dan Idiologi Partai
Idiologi bagi sebuah partai politk adalah hal yang sangat penting dan fudamental dalam membangun identitas partai di tenggah-tengah masyarakat. Hal ini senada dengan yang dikatakan Firmanzah (2008: 105) bahwa idiologi sebuah partai politik dapat digunakan sebagai identitas atau karakteristik suatu partai politik, sehingga semua orang – terutama para pemilih yang berhak memberikan suara – dapat dengan mudah membedakannya dengan partai politik lain. Dalam kaitan ini, idiologi merupakan basis perjuangan atau cita-cita yang ingin dicapai suatu partai politik. Dengan demikian, idiologi seharusnya melekat pada kehadiran suatu partai politik. Agar dapat dikatakan sebagai penganut idiologi tertentu, suatu sistem nilai, kepercayaan, dan norma dalam semua aspek organisasi partai politik bersangkutan.
Guna membangun identitas diri partai di tengah-tengah masyarakt sebagaimana dikatan oleh Firmanzah di atas, PDI Perjuangan merupakan partai yang menjadikan Pancasila sebagai landasan atau acuan utama dalam gerakan partainya. PDI Perjuangan berusaha untuk mengejawantahkan nilai-nilai pancasila kedalam agenda-agenda partainya, tidak heran kemudian kalau selama ini PDI Perjuangan sering disebut sebagai partainya wong cilek melalui pengejawantahan nilai-nilai pancasila tersebut, yang salah satu poin pentingnya adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam artian, PDI Perjuangan di sini ingin menjadikan dirinya sebagai partai yang berusaha untuk membela dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan orang-orang yang ada di kelas bawah atau partai yang berusaha untuk mencapai kondisi-kondisi sosial yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat pada umumnya, terutama masyarakat yang berada pada lapisan bawah dalam setrata sosial. Hal ini akan kita buktikan jargon tersebut melalui sikap PDIP terhadap kasus bailout century, apakah memang benar sebagai partainya wong cilek atau malah sebaliknya.
Pancasila sebagai basis idiologi ini ditegaskan kembali pada kongres PDIP ke- III di Bali, sebagaimana dikatakan oleh pimpinan umum partai Megawati Sukarno Putri bahwa posisi politik PDI Perjuangan sebagai Partai ideologi dengan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pijakannya, berikut UUD 1945 dan Trisakti sebagai dasar-dasar operasionalnya. Artinya melalui statement Megawati ini, menegaskan kembali bahwa PDI Perjuangan ingin meneruskan apa yang menjadi perjuangan Bung Karno yang belum pernah usai, yakni mewujudkan idiologi pancasila sebagai idiologi yang hidup dan bekerja di tengah-tengah rakyat (www.pdiperjuangan-denpasar.org).
Dengan mengacu pada idiologi pancasila sebagai idiologi partai, PDI Perjuangan dalam banyak kesempatan demi memperjuangkan kepentingan rakyat kecil (wong cilek), ia selalu mengambil posisi sebagai partai oposisi. Sebuah partai politik non koalisi yang selalu bersikap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Apabila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah telah melanggar atau tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat pada umumnya, maka PDI Perjuangan melalui anggota Fraksinya yang ada di Parlemen melakukan penentangan keras dan bahkan perlawanan. Dan apabila kebijakan yang diambil oleh pemerintah benar, maka ia akan meminta masyarakat dan anggota partainya yang ada di Parlemen untuk meminta pemerintah menindaklanjuti kebijakan yang dibuatnya. Termasuk dalam hal ini adalah perlawanan PDI Perjuangan terhadap kebijakan pemerintah dalam soal bailout century, yang di dalam pembahasan berikutnya akan diulas lebih lengkap lagi.
Meskipun PDI Perjuangan selalu mendeklarasikan dirinya sebagai partai oposisi dan membela kepentingan wong cilek, tapi tidak menjamin seluruh anggota atau kader dari PDI Perjuangan untuk tidak melanggar idiologi partai. Ini artinya, tidak memungkinkan untuk adanya beberapa kader PDI Perjuangan yang dalam perkembangannya dapat dan telah melanggar idiologi partai.
Yang lebih menakutkan lagi dalam perkembangannya idiologi partai pancasila saat ini telah dijadikan untuk membangun dinasti dalam internal partai PDI Perjuangan sendiri, dan apabila sistem kedinastian ini terjadi akan menjadikan timbulnya oligarki partai menjadi lebih mudah. Sitem dinasti yang terjadi dalam internal PDI Perjuangan ini sebagaimana yang dikatakan oleh Pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sujito bahwa "Saat ini yang lebih terlihat adalah spirit Soekarno dan Megawati yang hanya dimanfaatkan untuk membangun dinasti politik, dan ini akan membahayakan partai, karena politisi PDIP akan terjebak pada pengelompokan antarkader" (http://www.antaranews.com/berita/).
Lebih lanjut, perkembangan PDIP saat ini dalam internal parta mengalami dilematis. Dimana terdapat adanya pergeseran sepirit Soekarno dan Megawati ke arah yang lebih pragmatis melalui pembangunan sistem kedinastian dalam internal partai dan melalui agenda-agenda lainnya, tapi disisi lain juga ada kecenderungan dari beberapa kader partai yang ingin menjadikan dirinya menjadi anggota atau masuk kedalam lingkaran koalisi, meskipun hal itu terlihat sangat sulit dilakukan selama Megawati masih memimpin partai berlambang kepala banteng itu. Ini menunjukkan bahwa bagi Kader-kader PDIP yang berharap, bahkan main belakang untuk merapat ke koalisi, harus siap-siap berhadapan dengan Megawati. Meskipun ada salah satu dewan penasihat PDI Perjuangan Taufi Kemas yang sekligus suami ketua umum PDIP Megawati Soekarno Putri yang berprilaku pragmatis dengan menerima tawaran SBY untuk menjadi ketua MPR.
c.2 Bailout Bank Century dan Sikap Fraksi PDIP di Parlemen
Mengkaji kembali kasus Bank Century yang pernah menjadi isu politik yang paling menyita perhatian publik di penghujung tahun 2009 ini, setidaknya ada beberapa persoalan yang mendasar tentang kebijakan pemerintah bagi Bank Century yang terlebih dahulu perlu diuraikan di sini sebelum penulis mengkaji bagaimana PDIP melalui anggotanya yang ada di Parlemen memfungsikan perannya sebagai agent of representative. Adapun persoalan itu adalah, sebagai berikut.
Pertama, perdebatan tentang keluarnya Perppu No.4 Th 2008 sebagai dasar hukum Bailout Bank Century. Kedua, perdebatan dana Lembaga Penjamin Simpanan LPS adalah uang negara atau korporasi masyarakat yang tidak masuk dalam APBN. Ketiga, perdebatan urgensi penyelamatan melalui kebijakan bailout dengan asumsi Bank Century adalah bank gagal yang akan berdampak sistemik dan akan mempengaruhi stabilitas perekonomian nasional, dan keempat, masalah penyalah gunaan kebijakan bail out baik berupa ada kejanggalan dalam merger Bank Century pada tahun 2004, maupun dugaan kejanggalan dalam aliran dana Bank Century yang di sinyalir dimanfaatkan salah satu partai politik untuk dana pemilu 2009.
Problematikanya adalah ketika kasus Bank Century telah menjadi isu politik yang paling besar dan terkemas dalam opini besar akan rasa keadilan masyarakat terhadap dugaan penyalahgunaan uang negara di tengah himpitan ekonomi masyarakat menjadi wajar ketika harapan besar masyarakat itu di serahkan kepada wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR untuk segera melakukan investigasi mendalam atas kasus Bank Century melalui Panitia Khusus ( Pansus) Bank Century yang dibentuk oleh DPR dengan melibatkan perwakilan dari setiap fraksi di DPR proporsional sesuai dengan jumlah raihan kursi masing-masing fraksi di DPR dengan formasi  Panitia khusus (Pansus) Bank Century terdiri dari  Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar memperoleh jumlah anggota terbanyak masing-masing 8 orang (27%) dan 6 orang (20%), diikuti Fraksi PDIP 5 orang (17%),Fraksi PKS 3 orang (10%),Fraksi PAN 2 orang (6.7%),Fraksi PKB 2 orang (6.7%),Fraksi PPP 2 orang (6.7%),Fraksi Hanura 1 orang (3.3%) dan Fraksi Gerindra 1 orang (3.3%). Dalam tata tertib DPR disebutkan bahwa panitia pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu (pencarian fakta) dalam jangka waktu tertentu (dua bulan sampai Februari 2010) yang ditetapkan oleh rapat paripurna dan dapat diperpanjang oleh badan musyawarah apabila panitia khusus belum dapat menyelesaikan tugasnya. (http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com).
Setelah menjelaskan persoalan dasar dari adanya bailout century sebagaimana di atas, pertanyaannya kemudian bagaimana PDIP yang dikenal sebagai partainya wong cilik ini mengambil sikap atas kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut, melalui anggota-anggotanya di Parlemen. Dari data yang penulis dapatkan, menjelaskan bahwa PDIP sebagai partai oposisi melihat kebijakan bailout century yang dikeluarkan oleh pemerintah ini sebagai tindakan yang salah dan mengandung complex problem, meskipun Menteri Keuang berargumen bahwa bailout terhadap Bank Century ini perlu dilakukan mengingat century adalah bank gagal dan dapat berdampak sistemik pada perekonomian Indonesia.
Pandangan Fraksi PDIP di Parlemen yang menolak keras atas kebijakan pemerintah dalam bailout century ini dapat kita lihat dari sikap seluruh anggota DPR dari FPDIP yang menolak keras pada saat diadakan voting setelah pansus yang dibentuk DPR menyimpulkan adanya opsi A dan opsi C dalam menyikapi bailout century oleh pemerintah, sebagai berikut: Opsi A (Bailout (FPJP dan PMS) tidak bersalah) dan Opsi C (Bailout (FPJP dan PMS) bermasalah). Dari 90 anggota FPDIP yang hadir pada saat itu, keseluruhannya memilih opsi C. Dibawah ini adalah daftar aspirasi partai dalam pansus century.


Pernyataan tegas penolakan FPDIP atas bailout century selai dibuktikan secara kuantitatif di atas, Hal ini juga dapat kita simak dari pernyataan sikap Fraksi PDIP di Parlemen setelah penyelidikan pansus century selesai, sebagaimana yang dikatakan oleh Juru Bicara F-PDIP Puan Maharani, “Fraksi PDIP pada forum rapat paripurna mempertegas kembali sikapnya terkait kasus Bank Century. Terjadi kuat banyak pelanggaran dan penyimpangan pada tingkat kebijakan. Serta pelanggaran peraturan perbankan, tindak pidana umum serta money laundering (pencucian uang) dan tindak pidana korupsi. Semoga kebenaran akan terus terungkap, kami fraksi PDIP akan terus mengawal dan konsisten pada poin C. PDIP juga mendesak agar pihak-pihak yang terlibat langsung atau tidak diproses secara hokum” (Herdaru Purnomo, dalam http://www.detikfinance.com).
Tindakan yang dilakukan FPDIP di Parlemen dalam menyikapi kasus bailout century itu, menurut Maruara Sirait Politisi dari PDIP adalah untuk tidak mengurangi kepercayaan rakyat atas kinerja DPR. Maka, pansus dianggapnya sebagai pertaruhan untuk merebut kepercayaan rakyat. Lebih tegas ia mengatakan Bahkan dalam hal ini, PDIP siap untuk berdiri sendiri jika nanti sikapnya mengungkap kasus Century tanpa dukungan parpol lain. "Kami siap berdiri sendiri untuk menyampaikan kebenaran dalam kasus Century, meski tanpa dukungan parpol lain. Kami tidak bisa dinegosiasi dan sikap kami bukan untuk bargaining (http://www.inilah.com/read/detail/364002/).
Sikap Fraksi PDIP sebagaimana dijelaskan di atas, tidak terlepas dari upayanya untuk menarik kepercayaan rakyat yang selama ini menurun atau masih minim, dibandingkan kepercayaan rakyat pada pemilu tahun 1999. Dimana PDIP pada saat itu berhasil meraih suara mayoritas di Parlemen. Tidak heran kemudian kalau pada saat pansus century dijadikan sebagai ajang untuk memperebutkan kepercayaan rakyat kembali sebagaimana dulu telah dialami olehnya. Maka dari itu, dalam menyikapi kasus century ini Fraksi PDIP berusaha untuk setrasparan mungkin sebgai bentuk perwujudan diri sebagai agent of representative sebagaimana yang dikehendaki oleh rakyat yang diwakilinya.
Konsekwensi logis dari sikap PDIP yang telah menyatakan bahwa dalam kebijakan bailout century penuh kejanggalan dan kesalahan sebagaimana dijelaskan di atas, adalah banyaknya tekanan yang datang, terutama ditunjukkan dari langkah-langkah dan sikap penguasa. Tindakan yang dilakukan oleh penguasa dalam menghalangi atau memberikan peringatan-peringatan terhadap partai oposisi yang melakukan perlawan terhadapnya adalah seperti yang dialami oleh salah satu politisi PDIP Dudhie Makmun Murod yang ditahan karena permainan politik, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sekjen DPP PDIP Pramono Anung, bahwa penahanan kadernya, Dudhie Makmun Murod, tak terlepas dari sinyalemen politis di baliknya. "Semua bisa saja, kalau melihat rentetannya, setiap akan ada peristiwa besar, selalu saja begini (penahanan kader)" (http://dellimanusantara.com/index.php?option=com).
Meskipun PDIP mendapatkan banyak tekanan dari berbagai pihak prihal sikapnya dalam kasus century, menurut Pramono tidak akan mempengaruhi atau mengubah apa pun keputusan PDIP. Sikap kritis juga akan tetap dipertahankan hingga akhir perjalanan Pansus Hak Angket Bank Century. Sebagaimana yang ia katakan "Saya kira fraksi-fraksi lain juga tidak akan mengubah apa-apa. Yang jelas, PDIP tidak akan bisa ditekan, dalam kasus apa saja tidak bisa ditekan" (http://dellimanusantara.com /index.php?option=com).

A.    Analisis Terhadap Sikap PDIP di Parlemen
Pada bagian ini penulis akan menimbang tentang sikap PDI Perjuangan terhadap bailout century sebagaimana di jelaskan pada pembahasan sebelumnya. Dari pembahasan sebelumnya prihal sikap PDI Perjuangan yang menolak keras kebijakan pemerintah tentang kasus bailout century, penulis melihat adanya konsistensi dari PDI Perjuangan untuk memposisikan dirinya sebagai partainya wong cilek. Atau dengan kata lain, PDI Perjuangan dalam kasus century ini telah menunjukkan dirinya sebagai partai yang mau membela kepentingan-kepentingan masyarakat yang diwakilinya, terutama jargonnya sebagai wakil atau representator dari kepentingan masyarakat kelas bawah.
Sikap yang ditunjukkan oleh PDI Perjuangan melalui anggotanya yang ada di Parlemen, dalam pandangan penulis anggota DPR dari Fraksi PDIP telah atau dapat dikatakan sebagai agent of representative yang telah memfungsikan perannya sebagai lembaga yang mewakili aspirasi rakyat. Ini artinya konsep representasi yang digagas oleh Pitkins mendapatkan bentuknya dalam kasus century ini melalui keberadaan anggota Fraksi PDI Perjuangan yang ada di Parlemen. Ini artinya salah satu model representasi yang digagas oleh Pitkins, telah hadir dalam diri anggota DPR dari FPDIP yang khusus dalam kasus century ini. Penulis lebih melihat bahwa dalam kasus ini Fraksi PDIP di Parlemen menunjukkan fungsinya sebagai representasi substantif, dimana representator  membawa kepentingan "ide" represented ke dalam area kebijakan publik. Dalam hal ini Fraksi PDI Perjuangan berusaha untuk membawa kepentingan dari masyarakat melalui sikapnya terhadap kasus century, yang menunjukkan perlawanan atas tindakan keliru dan salah yang dilakukan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan pada kasus century ini, meskipun telah memberikan pembenaran tindakannya tersebut melalui klarifikasi yang diberikan baik oleh Mentri Keuangan maupun oleh Presiden sendiri sebagai kepala negara yang memiliki tanggung jawab penuh akan segala yang terjadi atas masalah-masalah yang berkenaan dengan sosial ekonomi politik negara.
Representasi yang ditunjukkan anggota PDIP yang ada di Parlemen dalam menanggapi kasus century ini, sesuai harapan masyrakat terhadap anggota DPR sebagai representasi dari pemilihnya bukan hanya  untuk standing for tetapi juga acting for untuk menyuarakan kepentingan pemilihnya. Meskipun dalam dinamika yang terjadi dalam perjalanan kasus Bang Century ketika PDIP yang dari awal merepresentasikan secara tegas pemilih yang menghendaki perubahan pemerintahan dan memilih berada di luar pemerintahan hampir tejebak dalam pragmatisme politik praktis ketika Taufik Kiemas, suami Mega yang kini duduk sebagai ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP (” http://fkim-langsa.blogspot.com/2010/02/), sering mengambil jalan berbeda dengan rekan-rekan yang duduk di pansus Century. Seperti saat Maruarar Sirait dan Gayus Lumbuun sangat bersemangat menyebut nama langsung Boediono dan Sri Mulyani sebagai penanggung jawab bailout Rp 6,7 triliun, Kiemas justru berusaha menghalangi. Sehari sebelum pandangan akhir fraksi itu, Kiemas berusaha mengingatkan rekan-rekannya bahwa tidak ada urgensi menyebut nama. Namun maruar sirait akhirnya menyebut nama Boediono dan Sri Mulyani.
Dari sikap anggota PDI Perjuangan dalam kasusu century itu selain menunjukkan dirinya sebagai partainya wong cilek, ini juga semakin mempertegas posisi PDI Perjuangan sebagai partai oposisi pemerintah. Sikap PDI Perjuangan yang mentang dan mengkritik pedas bahkan memberikan perlawannya kepada kebijakan-kebijakan dalam contoh kasus century ini sesuai dengan konsep oposisi sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya dalam kerangka teori makalah ini. Dimana oposisi dimaknai sebagai kelompok kekuatan di luar koalisi partai pemerintah yang ingin mengontrol, mengoreksi, melawan dan menentang suatu kebijakan pemerintah yang dianggap keliru atau salah.
B.     Epilog
Dari seluruh pembahsan di atas dapat disimpulkan bahwa dari halis pansus century yang dibentuk oleh DPR untuk mengoreksi kebijakan pemerintah tentang bailout Bank Century menghasilkan opsi A Bailout (FPJP dan PMS) tidak bersalah) dan Opsi C (Bailout (FPJP dan PMS) bermasalah). Dalam hal ini, sikap yang ditunjukkan oleh PDI Perjuangan melalui anggotanya yang ada di Parlemen, anggota DPR dari FPDIP telah menunjukkan fungsinya sebagai agent of representative dari masyarakat yang diwakilinya. Artinya anggota DPR dari FPDIP tidak hanya mewakili kepentingan partai saja dalam kasus ini, tapi ia juga malah lebih dominan untuk mewakili kepentingan masyrakat yang diwakilinya.
Adapun secara teoritis, fungsi representasi anggota DPR dari FPDI Perjuangan telah membuktikan konsep representasi yang dibangun oleh Pitkin dalam kasus-kasus tertentu, yang dalam hal ini adalah kasus bailout century. Dan tindakan PDI Perjuangan ini juga semakin mempertegas dirinya sebagai partai oposisi, sebagaimana dipahami secara teoritis di dalam pembahasan sebelumnya.[]
Daftar Bacaan
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Idiologi Politik di Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008).
Pitkin, Hannah, The Concept of Representation, (Berkeley: California university Press, 1967).
Data dari Internet
Bachsjirun, Restianrick, Politik : Oposisi Adalah Rahmat, http://jakarta45.wordpress.com/2009/09/22/politik-oposisi-adalah-rahmat/, diakses pada tanggal 29 Januari 2011 jam 22:15.
Hasworini, Fidela, PDIP Tak Mau Gadaikan Kepercayaan Rakyat, dalam http://www.inilah.com/read/detail/364002/
Purnomo, Herdaru, Mayoritas Fraksi DPR Anggap Bailout Century Bermasalah, dalamhttp://www.detikfinance.com/read/2010/03/03/141419/1310305/5.
Taborni, Roni, Oposisi Dan Dinamika Demokrasi Di Indonesia, dalam http://roni-tabroni.blogspot.com/2007/06/oposisi-dan-dinamika-demokrasi.html. diakses pada tanggal 29 Januari 2011 jam 22: 34.
“Pansus Angket Century dagelan politik baru”, dalam  http://ridwansyahyusufachmad.wordpress.com/2009/12/20/pansus-angket-century-dagelan-politik-baru/
“Perpecahan parpol dalam pusaran Bank century” http://fkim-langsa.blogspot.com/2010/02/perpecahan-parpol-dalam-pusaran-pansus.html.
“Idiologi Partai Pancasila 1 Juni 1945” dalam www.pdiperjuangan-denpasar.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar